Perempuan Muslim Ahmadiyah (Lajnah Imaillah) menghadiri undangan Workshop Pengarusutamaan Gender dalam Kebebasan Beragama & Berkeyakinan. Jakarta, (08/08/22).
Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan AMAN Indonesia. Di wakili oleh Evy affiati dan Eva Hanifa yang merupakan Pengurus Pusat Lajnah Imaillah Indonesia, Husna Arifa (Perempuan Ahmadiyah), Sofia Farzanah (Media Center Nasional dan Mahasiswi Ahmadiyah).
Workshop juga mengundang penyintas kebebasan beragama dan berkeyakinan lainnya seperti IJABI dan GKI Yasmin, yang pada saat itu berhalangan hadir. Sementara itu Forum diskusi melibatkan AMAN Indonesia, diantaranya Ruby Kholifah, Hanifah, dan AMAN Tim lainnya, Thowik dari KabarSejuk, Syera Anggreini Buntara-Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan SETARA Institute, dan beberapa peneliti lainnya.
Menurut keterangan Hanifah, koordinator program AMAN, Pertemuan diadakan dengan tujuan untuk menyusun standar perarusutamaan gender yakni panduan penanganan kasus untuk membantu penyintas pelanggaran HAM khususnya perempuan dan anak.
Pada sesi pertama, telah diadakan diskusi serupa yakni identifikasi pengalaman dari pelanggaran HAM Kebebasan Berekspresi.
Kemudian dilanjutkan dengan forum yang berbeda yakni identifikasi Pengalaman Korban atas kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan – FGD bersama penyintas KBB (Kelompok Agama dan Kepercayaan).
“Kita ingin menggali bagaimana pengalaman perempuan penyintas, sejauhmana trauma membekas hingga apa yang dilakukan organisasi dan dirinya sendiri dalam pemulihan atau trauma healing. Agar sama-sama dapat kita buat panduan advokasi KBB yang berperspektif gender” Ujar Ruby Kholifah.
Dalam diskusi, Tim peneliti mengidentifikasi permasalahan hingga stratergi dengan meminta penyintas menceritakan bagaimana pengalaman pribadi menjadi penyintas diskriminasi dan keadaan teman-teman yang berada di pengungsian maupun yang baru terjadi konflik. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui pengalaman-pengalaman perempuan dalam isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta upaya-upaya advokasi dalam pemenuhan hak korban.
“Kalau bicara menyintasi trauma, saya bisa membagi kepada dua hal, penyintas secara fisik yakni anggota ahmadi yang mengalami penyerangan, pengusiran, pembakaran rumah dan rumah ibadah secara langsung. Dan Ahmadi yang mengalami diskriminasi non fisik yakni ujaran kebencian, stigma, di jauhi, di perlakukan tidak adil di suatu tempat atau lembaga. Semuanya bermuara pada pengalaman trauma yang berbeda dan tetap perlu penanganan khusus. Teman-teman di Transito sangat jelas kehilangan hak tumbuh kembang yang baik bahkan kesehatan reporduksi yang terganggu karena ada di tempat yang dihuni banyak orang. Perempuan dan anak disana jelas menjadi memikul beban traumatik ganda. Sementara teman-teman yang lain saat muda merasakan pengusiran di rumah ibadah ataupun menerima diskriminasi di lingkungannya mengakibatkan anak muda khususnya sempat menutup diri karena ketakutan dan trauma”. Ujar Sofia dalam kesempatannya menyampaikan pendapat.
Menurutnya, perempuan ahmadi juga kerap menjadi sasaran pelecehan verbal, ujaran kebencian yang membawa identitasnya sebagai perempuan dan stigma masyarakat. Seperti “Cantik tapi sayang Ahmadiyah” dan sebagainya. Hal ini menjadi penting diperhatikan oleh setiap organiasi keagamaan dan keyakinan, bahwa isu perempuan dan anak masih belum sepenuhnya diperhatikan
Thowik dari KabarSEJUK menjelaskan bahwa Ahmadiyah sudah cukup progresif memperhatikan jamaahnya termasuk menangani anggota yang mengalami penyerangan dan pengusiran. Dia juga berbagi pengalaman mendampingi advokasi beberapa organisasi lain yang termajinalkan disuatu tempat. Karena setiap daerah berbeda kasus dan akar masalah, tapi lagi-lagi perempuan sering tidak dilibatkan dalam upaya-upaya advokasi pemenuhan dan pemulihan hal termasuk trauma healingnya.
Salah satu peneliti bertanya mengenai Bagaimana Ahmadiyah tidak memiliki masalah dalam beberapa kasus, dimana jika perempuan di organisasi tertentu sangat direndahkan dan rentan pelecehan. “Khalifah Ahmadiyah selalu mengajarkan ajaran Rasulullah untuk menghormati perempuan, mengajarkan tingginya derajat perempuan termasuk mendukung perempuan untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya” Jelas Evi saat menjawab pertanyaan tersebut.
Sesi dilanjutkan dengan Pemetaan Pengalaman Korban untuk Penyusunan Konsep PUG (pengarusutamaan gender) dalam merespon kasus KBB dilakukan setelah berdiskusi dan mendengarkan pengalaman perempuan yang didiskusikan setelah mengakhiri diskusi dengan penyintas.
Semoga pertemuan ini membawa hasil baik untuk membantu perempuan dan anak Indonesia mendapatkan Hak-Hak nya.