Jakarta – Media Center Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyambut baik hasil survei lembaga Remotivi “Bagaimana Kekerasan Terhadap Kelompok Ahmadiyah Diberitakan”.
Dalam survei tersebut dikatakan, dibandingkan sepuluh tahun silam, media sudah melakukan perbaikan dalam memberitakan Ahmadiyah.
Dari seluruh media, liputan6 melakukan peliputan yang paling ideal dibanding media lainnya. Media daring milik grup Emtek ini sama sekali tidak menyediakan ruang bagi narasumber yang menyalahkan Ahmadiyah dalam insiden penyerangan di Cikeusik. Baik di tahun 2011, 2018, maupun yang teebaru 2021 di Sintang Kalimantan Barat, pemberitaan Ahmadiyah yang diproduksi oleh Liputan6 mayoritas memfasilitasi ruang bagi para pembela Ahmadiyah.
Liputan6 juga tidak melakukan labelling kepada Ahmadiyah di dalam pemberitaan yang mereka produksi.
Sementara itu, Okezone dan Tempo sama-sama melakukan pembenahan terhadap pemberitaan Ahmadiyah. Di tahun 2018 dan 2021, kedua media daring ini sudah tidak lagi menghadirkan pernyataan narasumber yang mendelegitimasi hak Ahmadiyah ataupun mengasosiasikan kelompok tersebut sebagai aliran sesat atau menyimpang. Dalam aspek pemberian labelling, kedua media tersebut juga tidak mengulang kesalahan di tahun 2011. Pemberitaan Okezone dan Tempo yang masih bermasalah pada tahun 2011 dapat dilihat di artikel ini dan ini.
Perubahan pola pemberitaan terkait Ahmadiyah juga terjadi di Republika. Di tahun 2011, Republika memproduksi enam berita yang hanya berisi pernyataan dan pendapat para narasumber yang melegitimasi penganiayaan Jemaah Ahmadiyah. Keenam berita tersebut sama sekali tidak mengutip keterangan dari pihak Ahmadiyah, bahkan kepolisian.
Republika melakukan perubahan di tahun 2021 dengan memasukkan keterangan dari kedua pihak yang berseberangan. Dalam konteks pemberitaan tahun 2021, Republika mengutip pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengasosiasikan Ahmadiyah sebagai aliran menyimpang dengan pendapat dari Juru Bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana.
Sayangnya, apa yang dilakukan Republika tidak mengatasi permasalahan dan terjebak dalam Bothsideism alias keseimbangan palsu. Menghadirkan pihak Ahmadiyah di dalam pemberitaan tidak serta merta menjadikan Republika sebagai media yang objektif. Misalnya, dalam pemberitaan yang memuat keterangan dari perwakilan MUI dan JAI. Berita tersebut sama sekali tidak menunjukkan keberimbangan karena sejak awal sudah ada ketimpangan relasi kuasa antara MUI yang dinilai punya otoritas dalam menetapkan fatwa dengan Ahmadiyah yang sudah berkali-kali didelegitimasi oleh kelompok mayoritas.
Remotivi menilai, wartawan semestinya tidak terpaku pada narasumber yang hanya dianggap memiliki otoritas tetapi tidak punya pemahaman mendalam atau bahkan bias terhadap kasus penyerangan Ahmadiyah. Seharusnya, wartawan mencari data yang akurat dan dapat diverifikasi kebenarannya sehingga mampu memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada para pembaca.
Terlepas dari permasalahan yang masih terjadi dalam pemberitaan, penelitian yang dilakukan remotivi menemukan adanya langkah pembenahan positif yang dilakukan media secara umum. Semakin minimnya pemberian ruang pada narasumber yang melegitimasi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah adalah salah satu tandanya.
Bagi Remotivi, temuan penelitian ini menunjukkan dua poin penting. Dari sisi internal redaksi, media sudah melakukan pembenahan dalam liputan-liputan mengenai kelompok marjinal sehingga kita perlu mengapresiasi langkah yang sudah ditempuh. Sementara itu dari pihak Ahmadiyah, upaya mereka membuka diri dan menjalin komunikasi membuahkan hasil. Dengan semakin terbukanya ruang diskusi, terbuka juga peluang untuk saling memahami. Remotivi percaya, ini adalah kabar baik bagi kelompok marjinal lainnya.
Menanggapi survei tersebut, Sekretaris Pers dan Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menyadari bahwa selama ini publik masih banyak menghakimi Ahmadiyah karena media yang salah melakukan interpretasi atas fakta tentang Ahmadiyah.
“Kami dihakimi oleh publik karena opini di media, karena kami dicap sesat atau bahkan dianggap keluar dari mainstream,” kata Yendra, Minggu, (20/2/2022).
Menurut Yendra, kata “sesat” atau “kafir” akan dijadikan pembenaran oleh publik untuk melakukan tindakan diskriminasi dan inkonstitusional.
“Pemberitaan media yang cenderung menyudutkan Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan. Membuat kekerasan terhadap Ahmadiyah sebagai sebuah akibat saja,” ujar Yendra.
“Kami tentunya tidak ingin lagi terdapat berita yang salah tentang Ahmadiyah, dan publik mengetahui Ahmadiyah bukan dari sumbernya,” lanjutnya.
Selaras dengan survei Remotivi, Yendra melihat pemberitaan media sudah jauh lebih baik dan ramah terhadap kelompok minoritas.
“Kini pemberitaan media cenderung membela hak korban dan mempertanyakan di mana peran negara dalam melindungi hak-hak warganya untuk beribadah. Media juga sudah lebih baik dengan tidak banyak mengakomodir para narasumber yang bermasalah,” ungkapnya.
Perubahan ini tentunya tidak lepas dari upaya Ahmadiyah untuk membuka diri dan menjalin komunikasi dengan media.
“Beberapa tahun terakhir ini, Ahmadiyah gencar melakukan silaturahmi, media ghatering, dan membuat program live in untuk teman-teman wartawan atau media,” pungkasnya.