Bandung – Rawat silaturahmi antar komunitas, Lajnah Imaillah Bandung Raya atau Jabar 5 mengirimkan 1 orang perwakilannya mengikuti training of trainer (ToT).
Kegiatan ini tujuan mempromosikan moderasi beragama, kebebasan beragama, dan nilai-nilai inklusi, perdamaian, serta toleransi di masyarakat Jawa Barat.
Sekolah Inklusi Perempuan merupakan program kerjasama INFID dan Fatayat NU guna menghadapi ancaman bagi keberagaman dan menjawab tantangan dalam menjaga persatuan serta keharmonisan sosial.
Kegiatan yang digelar secara intensif selama 3 hari di Favehotel Bandung, 23-25 Agustus 2024 ini, mempertemukan 25 peserta perempuan mulai dari kelompok minoritas keagamaan, gender, dan penyandang disabilitas dari berbagai kota di Jawa Barat.
Semua turut aktif menimba ilmu memahami sedikitnya delapan topik bahasan yang dipaparkan para narasumber dari USAID, Komnas HAM, Rahima, dan Jakatarub.
Peserta juga berlatih keterampilan organisatoris lewat studi kasus dan game simulasi yang difasilitasi oleh Siti Hanifah Haris.
Isu Ahmadiyah sendiri kerap menjadi contoh kasus dalam kegiatan ini.
“Pernah saya mendampingi suatu kelompok keagamaan mengunjungi Markaz Ahmadiyah di Parung. Mereka semangat sekali saat masuk waktu salat Zuhur, karena katanya Ahmadiyah itu kalau solat tidak pakai baju. Ternyata saat shaf berbaris mereka bingung dan bertanya ‘loh, mana orang Ahmadiyahnya?’ ungkap Hanifah.
“Ya itu orang Ahmadiyahnya yang sedang salat berbaris pakai baju,” tutur Hanifah yang sudah familiar dengan Ahmadiyah.
Menurutnya, masih banyak masyarakat percaya buta pada berita keliru tentang Ahmadiyah yang disebarkan pemuka agamanya tanpa melakukan tabayyun.
Selaras dengan semangat “Love for All, Hatred for none,” pemimpin komunitas perempuan diharapkan mampu menjadi pelopor dalam menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan setara bagi semua lapisan, termasuk kelompok-kelompok rentan dan terdampak dengan menerapkan konsep Islam rahmatan lil ‘alamin dan perspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI).
Peserta diberi pemahaman tentang perbedaan tindakan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme agar lebih melek terhadap gejala fenomena sosial tersebut di sekitar sehingga mampu mengatasinya.
Sebagai pemimpin organisasi juga perlu bersikap lebih sabar dan fleksibel supaya tercipta komunitas yang inklusif, partisipatif, berdaya, dan mandiri. *
Kontributor: Amatul Shafi
Editor: Talhah Lukman A