Sebuah bus bercorak merah putih dengan logo palang merah berhenti tepat di halaman Masjid Al-Muhajirin, Jema’at Ahmadiyah Penyabangan. Sejenak setelah kedatangan bus ini, masjid yang tadinya lengang berubah seketika menjadi ramai. Seolah ada daya tarik magis dari bus ini yang membuat orang-orang berkumpul di sekitarnya.
Sepintas tidak ada yang istimewa dari bus ini, hanya seonggok barang didominasi besi yang berfungsi mengantar manusia dari satu tempat ke tempat lain. Tunggu dulu, ternyata ada yang berbeda di dalam bus ini, 4 buah tempat tidur nyaman dipasang di dalamnya, lengkap dengan AC dan layar TV LCD yang non-stop memutar musik, sangat nyaman untuk sekedar leyehan di tengah terik matahari yang kala itu mencapai suhu 33 derajat celcius.
Tapi benarkah orang-orang itu berdatangan hanya untuk sekedar rebahan di tempat tidur yang nyaman? Tidak juga rasanya. Selidik punya selidik, bus ini adalah wadah kebaikan. Orang-orang yang baik itu berdatangan untuk mengisinya dengan kebaikan. Kebaikan yang harganya tidak bisa dinilai uang, tak berlebihan rasanya jika mengatakan bahwa harganya sebanding dengan nyawa. Kebaikan itu adalah pengorbanan darah.
Menyakiti diri sendiri, membiarkan darah yang berharga mengalir dari tubuh demi keselamatan orang lain, tanpa dibayar sepeser pun, rasanya hanya mereka yang berhati malaikat yang mampu melakukannya. Dan aku beruntung telah menjadi saksi, bahwa ternyata masih banyak orang-orang seperti itu di sini, sebuah desa kecil di pesisir Bali Utara, Penyabangan.
Orang-orang ini menyebut diri mereka Perhimpunan Donor Darah (PDDI) Darma Insani. Mereka berkomitmen setiap 3 bulan sekali untuk datang ke sini menyumbangkan darah mereka, membantu meringankan tugas PMI Buleleng yang harus mensupply kebutuhan darah di 8 rumah sakit di Kabupaten Buleleng. Identitas keagamaan mereka sebagai Muslim, Hindu, Kristen, Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah, mereka tinggalkan di rumah. Identitas kesukuan mereka sebagai orang Bali, Jawa, Sunda dan Madura mereka tanggalkan, kemudian bersatu membaur dengan mengenakan hanya satu pakaian universal, yaitu kemanusiaan.
“Apa yang saya bayangkan sebelumnya itu terjadi semua. Sakitnya! Waktu ditusuk itu saya teriak, waktu dicabut jarumnya juga saya teriak lagi.” Ucap Komang, salah satu relawan menceritakan rasa sakitnya ketika pertama kalinya mendonorkan darahnya. Anehnya dia menceritakan rasa sakit itu sambil tertawa bahagia. Itu lah ajaibnya kekuatan kebaikan. Kedepannya dia juga berjanj akan mengajak karyawan-karyawan di tokonya untuk bisa ikut juga donor darah secara rutin.
Komang hanya salah satu dari sekian banyak orang yang untuk pertama kalinya menyumbangkan darahnya dalam kegiatan tersebut. Nampaknya mata rantai kebaikan ini akan terus berlanjut, membesar bagai bola salju yang terus bergulir.
Terakhir kegiatan donor darah ini diselenggarakan, partisipan berjumlah sebanyak 45 orang. Sedangkan yang berasal dari Jam’ah Mesjid Al-Muhajirin sendiri hanya berjumlah 10 orang. Jama’ah masjid ini hanyalah inisiator yang menyediakan wadah kebaikan. Mereka sadar bahwa jumlah mereka tidaklah seberapa. Maka sejak tahun 1996 mereka mulai rajin mensosialisasikan kegiatan ini kepada mereka yang mempunyai frekuensi kebaikan yang sama. Demikianlah mata rantai kebaikan ini terus berlanjut dengan cerita dari mulut ke mulut. Konsistensi komunitas kecil ini pun berbuah piagam penghargaan dari PMI Buleleng kepada warga Desa Penyabangan yang dengan konsisten menyumbangkan darah mereka setiap tiga bulan sekali. Kantor kelurahan pun dengan bangganya memajang piagam tersebut di kantor mereka, di paling depan.
“Nanti kita coba sosialisikan ke staf-staf di kantor supaya bisa ikut kegaiatan ini. Kalau memang kegiatan ini bisa dibawa ke Balai Desa, kenapa tidak?”. Ujar Nyoman Sudiarta, Kepala Desa Penyabangan yang baru terpilih yang juga turut menyumbangkan darah untuk pertama kalinya.
Nampaknya kegiatan ini akan terus berkembang. Akan semakin banyak orang yang berjiwa kemanusiaan berdatangan, bukan untuk uang, bukan pula untuk pencitraan atau aktualisasi diri, mereka akan datang semata atas dasar kesadaran mereka akan kewajiban untuk memberikan manfaat bagi sesama manusia.
“Barang siapa mempunyai sumbangan pada kemanusiaan dia tetap terhormat sepanjang jaman, bukan kehormatan sementara. Mungkin orang itu tidak mendapatkan sesuatu sukses dalam hidupnya, mungkin dia tidak mempunyai sahabat, mungkin tak mempunyai kekuasaan barang secuwil pun. Namun umat manusia akan menghormati karena jasa-jasanya.” Demikianlah tutur dari Pramoedya Ananta Toer.