Yogyakarta – ISAIs menggelar Seminar dan Bedah Buku ‘Perjuangan Belum Berakhir Membela Hak Kunstitusional Muslim Ahmadiyah’.
Bedah buku ini dimoderatori oleh Ibu Nur Q. Imzastini, M.A. serta menghadirkan tiga narasumber yaitu Abdul Aziz Faiz, M.Hum., DR. Inayah, dan Fitri Sumarni, S.H. Kegiatan berlangsung di Gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 27 November 2019.
Abdul Aziz Faiz, M.Hum. mengulas apa yang dijelaskan Prof Al-Makin di buku tersebut tentang bagaimana diskriminasi agama di Indonesia mengakar pada definisi agama yang didasarkan pada sisi teologis yang dibuat oleh pemilik kebijakan atau yang berkuasa yang menghasilkan UU yang diskriminatif.
Padahal kita hidup dalam beragam teologis termasuk agama-agama lokal yang berbeda konsep keTuhanan dengan pengertian agama besar. Maka kelompok – kelompok minoritas dan kelompok yang baru muncul itu semua dianggap menyimpang atau tidak diakui, dan hal tersebut berdampak juga pada internal agama atau kelompok minoritas di dalam agama itu sendiri, seperti Ahmadiyah yang dianggap kelompok baru yang menyimpang dari Islam.
Pandangan tersebut kemudian diatur oleh sebuah peraturan untuk Ahmadiyah seperti adanya SKB yang muncul dari fatwa dan desakan ormas.
Padahal jika kita menggunakan pengertian dengan pendekatan Sosio-Antropologis dan Historis seperti di kampus – kampus seperti kampus UIN ini maka kita akan melihat lebih dalam dan objektif praktik yang dilakukan oleh minoritas ini sebagai gerakan sosial yang memberi banyak sumbangsih bagi bangsa dan negara.
ISAIs sendiri sudah melakukan beberapa penelitian lapangan ke Ahmadiyah dan mereka berpraktik keagamaan seperti Islam pada umumya bahkan dalam gerakan sosial mereka sangat aktif langsung menyentuh hal paling dibutuhkan manusia seperti donor darah dan donor mata, padahal jumlah mereka sedikit. “Jadi kita berharap dalam mengeluarkan kebijakan dan fatwa hendaknya menggunakan pendakatan Sosio-Antropologi Historis”, ujarnya.
Fitria Sumarni S.H menjelaskan perspektif hukum, dengan dibuatnya UU penodaan agama banyak yang menjadi korban dan meningkat pasca reformasi, SKB Ahmadiyah yang muncul tahun 2008 juga didasarkan atas UU yang dibuat tahun 1965 tersebut dan fatwa MUI tahun 1980 dan tahun 2005. Padahal dalam UU dasar pasal 28 disebutkan setiap warga negara berhak beribadah dan berkeyakinan sesuai yang dianutnya dan negara menjamin itu, namun pada praktiknya banyak diskriminasi, dan kelompok minoritas salah satunya mencoba melakukan judicial review ke MK seperti yang dilakukan oleh Gusdur, Syiah dan Ahmadiyah yang baru pertama kalinya tahun lalu.
Kekerasan yang dialami Ahmadiyah disampaikan di MK akibat dari adanya peraturan yang banyak ditafsirkan melarang aktivitas Ahmdiyah (SKB) yang didasari dari UU PNPS 1965, namun MK masih menimbang dan kita semua masih berjuang karena rule UU itu bisa diubah oleh DPR dimana disana banyak kepentingan juga.
Perusakan jelas melanggar hukum seperti kelompok atau masyarakat yang melakukan pengrusakan terhadap rumah dan mesjid Ahmdiyah, termasuk penyegelan mesjid oleh pejabat yang harusnya ditindak seperti warga Ahmadiyah di Bangka yang akan diusir oleh bupatinya tetapi dari pusat Mendagri langsung turun tangan hingga warga ahmadiyah tidak jadi diusir oleh bupati.
Dr Inayah Rohmaniyah, M.A menjelaskan kontestasi antara hubungan agama dan negara, pasca reformasi politisasi agama meningkat dimana banyak kelompok yang menggunakan simbolisasi agama, kelompok tersebut di era Orde Baru berada di underground dan sekarang mereka muncul bersuara dan menarik banyak peminat.
Tarik menarik kontestasi ini mempengaruhi kebijakan – kebijakan yang dibuat termasuk kebijakan yang diskriminatif terhadap apa yang dianggap berbeda dengan mengunakan perspektif teologis mayoritas. Kemudian dari segi pemahaman yang menolak adanya keberagaman terutama di sesama internal agama menguat dan bahkan ditemukan di lembaga pendidikan seperti di riset yang dilakukan institut DIAN INTERFIDEI, maka untuk memberikan pemahaman yang inklusif mulai dari kurikulum dan yang paling penting adalah para pengajarnya.
Maka dari segi politik dan pendidikan ini bagaimana kita terus berupaya dimulai dari diri sendiri mengajarkan tentang menghargai keberagaman dan kita belajar dari proses itu dan kita harus terus berjuang bersama karena perjuangan itu belum selesai.
Kontributor : AMSA Jogja