Pandangan Jemaat Ahmadiyah Terhadap Sufisme.
Penanya:
Bagaimana pandangan Jemaat Ahmadiyah terhadap Sufisme?
Hazrat Mirza Tahir Ahmad:
Sufisme sebenarnya baik, namun tergantung pada ketulusan niatnya. Pertama, kita harus memahami dulu apa yang dimaksud dengan Sufisme. Jika Sufisme berarti pemahaman yang lebih mendalam akan kehendak Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam Kitab-kitab-Nya maka saya percaya kepada Sufisme seperti halnya semua nabi-nabi Tuhan juga.
Yesus Kristus as meyakini Sufisme dengan pengertian bahwa beliau memahami makna tersembunyi dari pesan atau risalah yang tidak dimengerti orang-orang lainnya. Nabi suci Muhammad saw juga memahami pesan tersembunyi yang terkandung dalam Al-Quran dan beliau menjelaskan maknanya kepada kita. Suatu hal yang patut diperhatikan ialah ketika Nabi Muhammad saw mempraktekkan Islam, adapun shalat beliau merupakan satu-satunya bentuk yang bisa dilihat oleh yang lainnya, sedangkan apa yang terlintas di hati beliau tidak diketahui orang lain. Bukannya tidak bisa dilihat tetapi lebih kepada tidak dimengerti karena semua itu bergantung pada perasaan dan kedalaman batin seseorang dalam mengindera sesuatu.
Karena itu ketika beliau tegak berdiri menjalankan shalat, bentuk pemahaman beliau tentang fitrat Ilahi serta perwujudan kasih beliau dalam terminologi yang mungkin tidak kita pahami. Bagaimana cara beliau menyembah Tuhan, cara beliau mengasihi Tuhan, bagaimana beliau tenggelam dalam Wujud-Nya semua itu merupakan aspek yang tersembunyi dari mata dunia dan inilah yang dimaksud dengan Sufisme hakiki. Jika yang namanya Sufisme bukan demikian maka saya pun tidak percaya kepada Sufisme.
Pada dasarnya Sufisme adalah suatu gerakan yang menentang apa yang disebut sebagai ‘mukminin’ yaitu para ulama yang kaku terpaku pada formalitas Islam. Pernah dalam sejarah Islam suatu masa ketika ada orang yang menganggap penafsiran kaku dari Islam yang ditekankan kepada mereka adalah suatu bentuk tanpa makna, tanpa ruh. Akibatnya, bandulan bergerak ke arah sebaliknya sehingga muncul penekanan berlebihan pada ‘ruhani’ sebagai relatif terhadap bentuk sedangkan ‘sarana’ yang mengandung ruhani diabaikan. Ibadah formal (yaitu shalat) lalu ditinggalkan karena orang mulai mempertanyakan kegunaan dari ibadah tersebut. Mereka bertanya, apakah tujuannya untuk ‘mencintai dan mengenali Tuhan?’ Jawab mereka ‘kami mencintai dan mengenali Tuhan’ sehingga shalat lalu dianggap sebagai suatu hal yang tidak diperlukan lagi.
Begitu itulah salah satu bentuk argumentasi mereka. Tetapi nyatanya dalam proses itu mereka melupakan satu hal penting. Mereka melupakan bahwa Nabi Muhammad saw sebagai pendiri Islam sungguh mencintai Islam lebih daripada mereka. Beliau mencintai Allah lebih lagi dari swt mereka, tetapi beliau tidak pernah mengabaikan formalitasnya. Hanya seorang anak tolol yang bisa menyukai minumannya tetapi membenci wadah yang berisi minuman itu.