Bandung, (13/5). Jalan di Bandung agak macet. Mln. Ridwan Buton, saya dan Hakim serta crew MTA tiba pukul 14.30. Aula Kampus masih lengang. Crew MTA menyiapkan teknis shooting, narasumber kita, memanfaatkan waktu dengan memperbaiki bahan presentasi. Tidak lama kemudian, datang seorang bapak separuh baya, berpeci putih dengan wajah Timur Tengah. Bapak itu tanpa bicara lagi, langsung mengambil ‘mic’, melantunkan sholawat Nabi serta syair-syair bahasa Arab.
Saya simak isi syair itu menyanjung Nabi Muhammad saw serta Hadhrat Ali ra. Durasinya cukup panjang. Jeda sebentar ketika azan Ashar berkumandang. Lantas disambung lagi. Tampaknya ia sesepuh yang dihormati di kalangan Ijabi. Saya tanya ke Ustad Miftah yang duduk di samping saya, bapak itu siapa? Dijawabnya, ia seorang Habaib bernama AA (inisial). Singkat cerita, Mln. Ridwan Buton tampil sebagai pembicara. Diawali dengan ucapan terima kasih kepada tuan rumah, sapaan kepada narasumber dan hadirin atas kesediaan mendengarkan paparan Imam Mahdi menurut faham Ahmadiyah.
Bahasa Arab nya sangat fasih. Materi disampaikan berdasar al Qur’an, hadis pendapat ulama salaf, dengan bahasa Arab yang fasih. Saya perhatikan respon para narasumber dan para hadirin. Tidak berlebihan kalau saya katakan, mereka terpesona (menghindari diksi tersihir), atas bahasa Arab dari narasumber Ahmadiyah.
Setelah acara usai, ditutup dengan foto bersama. Apa yang terjadi ? Mln. Ridwan Buton diserbu hadirin, mencium tangan, meminta no hp, selfi foto seraya mengucap; “Terima kasih Ustad, ilmunya sangat bermanfaat bagi kami”.
Bagaimana dengan Habaib tadi? Beliau tidak ketinggalan menghampiri Mln. Ridwan dan menundukan kepala dengan dalam ke narasumber kita. Dari momen ini ada pelajaran yang dapat diambil. Pertama, para ahli Ijabi itu begitu Tawadhu kepada tamu apalagi jika tamu itu orang berilmu. Kedua, cium tangan adalah bentuk ekspresi penghornatan mereka pada tamu dan orang yang dihormati. (MM)