LEBIH dari 40 mahasiswa lintas kampus dan lintas iman, termasuk dua orang dari Ahmadiyah, hadir dalam acara “Konferensi Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” di The Energy Tower SCBD Lot Jakarta Selatan, Senin (3/3). Acara berlangsung lima hari berturut-turut.
Wakil Menteri Agama RI Profesor Doktor Nasaruddin Umar menyempatkan diri hadir. Ia menjadi Keynote Speaker dalam acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) bekerja sama dengan Pusat HAM Universitas Muhammadiyah Malang dan The Asian Foundation tersebut.
Dalam konferensi, Nasaruddin Umar didampingi Budhy Munawar-Rachman. Budhy merupakan PO dari The Asian Foundation.
Sebagai wamen agama, Nasaruddin mengatakan bahwa toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia dapat diukur dengan dua cara, yaitu kualitatif dan kuantitif.
Secara kuantitatif, menurutnya, memang hasil penelitian tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia menunjukan data yang negatif atau menunjukan trend yang tidak diharapkan.
Namun, jika kita melihat secara kualitatif, negara kita merupakan negara yang toleran dibanding dengan negara-negara muslim lainnya. Seperti Malaysia yang hanya membolehkan islam asy’ariyah saja secara teologi dan syafi’iyah secara fiqih.
Indonesia beruntung, Harun Nasution mengenalkan aliran-aliran teologi dari yang jabariyah (deterministik, fatalistik dan anti free will ) hingga muktazilah dan pemikiran Muhamad Abduh yang liberal.
Dalam Fikih, masih menurut Nasaruddin, Indonesia membuka mazhab-mazhab lain selain syafi’iyah untuk diikuti oleh umat Islam. Kata “Allah” di negara kita dibolehkan disebut oleh pemeluk agama lainnya selain agama Islam. Hal ini beda dengan negara Malaysia dan Brunai yang membolehkan kata “Allah” disebut hanya oleh umat Islam.
Selain dengan Brunei dan Malaysia, Nassarudin juga membandingkan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah dan negara-negara muslim di Afrika, kecuali Yordania.
Menurut Nasaruddin, Indonesia cendurung toleran dibanding negara-negara tersebut yang tingkat intoleransi, diskriminasi, serta kebebasan beragamanya ‘buruk’.
Pancasila adalah faktor penting dalam tumbuhnya kebebasan beragama di Indonesia. Nasarudin bersyukur dan berterimakasih kepada para founding fathers negara ini yang merumuskan Pancasila dan lebih memilih Pancasila dibanding dengan Piagam Jakarta.
Hal positif terkait kebebasan beragama di Indonesia tersebut, bukan berarti kebebasan beragama sudah selesai. Kita harus terus mengusahakannya untuk menciptakan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia.
Berbicara kebebasan beragama, Nasaruddin Umar pertama-tama ingin mengungkap rahasia kenapa Islam begitu cepat menyebar luas ke belahan dunia dalam waktu singkat. Ini artinya, Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam seperti penilaian para sarjanawan, Nabi sebagai orang paling berpengaruh di dunia. Ia mengubah wajah dunia.
Menurutnya Nabi memiliki rahasia terkait penyebaran Islam secara cepat, rahasia yang terekam dalam tsirah Ibnu Ishak, yang menceritakan Nabi sering melakukan dialog dengan pemuka-pemuka agama dari berbagai agama. Pada suatu pertemuan, Nabi mengundang tokoh-tokoh lintas agama ke sebuah masjid. Di tengah pertemuan, Salah seorang pemeluk agama lain harus melakukan kebaktian, ia pun minta izin kepada Nabi. Nabi mengiziinkan kebaktian di sekitar masjid. Selain itu Nabi juga pernah membantu pembangunan gereja.
Tsirah tersebut mengingatkan Nasaruddin pada pengalaman dia ketika kuliah di New York. Ia tinggal di asrama. Di asrama tersebut terdapat hall room yang pada awal tahun baru 1995 sedianya akan dijadikan acara kebaktian. Saat itu Nasaruddin menjumpai beberapa orang yang minta tolong padanya untuk diberikan izin untuk buang air kecil di asramanya. Ternyata mereka bukan hanya buang air kecil, tapi juga melakukan sholat di hall room, ia pun ikut sholat. Pada saat sholat, terdengar suara koor nyanyian kebaktian dari lorong menuju hall room: jama’at kebaktian akan melakukan kebaktian di hall room tersebut. Para jam’at kebaktian mendapati Nasaruddin dan tamunya sholat. Nasaruddin meminta maaf dan menyampaikan penyesalannya pada Romo kebaktian tersebut. Romo tersebut tidak marah, justru memberikan izin pada Nasaruddin dan tamu-tamunya yang sudah melakukan sholat di hall room untuk acara kebaktian.
Pengalaman tersebut menyentuh Nasaruddin, bahwa toleransi adalah hal yang indah. Apakah hal ini, jika terjadi sebaliknya, di Indonesia, apakah bisa ditoleransi oleh mayoritas? Seandainya ada orang minoritas agama melakukan kebaktian di masjid ketika akan sholat Jumat, apakah bisa ditoleransi?
Pengalaman lainnya bersentuhan dengan toleransi di tempat dia kuliah, di New York, adalah ketika ia memutuskan mengambil kursus Bahasa Inggris di sebuah gereja, yang biaya kursusnya murah, cocok untuk keterbatasan uang yang Nasaruddin miliki. Ia kursus di tempat itu selama 6 bulan. Selama enam bulan itu otomatis ia melakukan sholat di gereja itu.
Menurutnya, kita semua harus membuka mata dan wawasan kita. Orang yang tidak pernah berada di luar negeri, cenderung intoleran. Karena mereka tidak pernah mengalami sebagai minoritas. Mereka nyaman sebagai mayoritas. Imam Syafi’i menurutnya lebih toleran dan berpandangan terbuka daripada Imam mazhab lainnya seperti Imam Malik dan Hambali. Imam Syafi’i berkeliling dunia, termasuk Eropa.
Menurutnya salah satu upaya untuk berpikiran terbuka, kita perlu membentuk komunitas seperti yang dilakukan dalam kegiatan Konferensi Kebebasan Beragama yang dilaksanakan selama lima hari tersebut, yang telah mendatangkan mahasiswa-mahasiswi lintas agama agar terjadi dialog, agar kita memahami hal lain selain apa yang kita percayai.
Bersama Kementerian Agama, Nasaruddin berupaya menghadirkan toleransi dan kebebasan beragama. Dengan Kementerian Agama, apapun agamanya di negara ini, warga Indonesia jangan sampai tidak bisa menjalankan aktivitas agama yang dianutnya karena alasan teknis. Itu mengapa Kementerian Agama sedang berupaya membuka Bimas Tionghoa dan upaya lain demi terciptanya kerukunan umat beragama di Indonesia.
Aamiin.
SH/LSAF/DMX/WA