PERNAH mendengar orang kesulitan mencari pekerjaan hanya karena agama yang dianutnya? Tanyakan kepada jemaat Ahmadiyah atau Syiah yang ada di negeri ini. Mereka kemungkinan besar pernah mengalami diskriminasi seperti itu. Hanya karena kepercayaan mereka dianggap beda dengan mayoritas warga lain, jemaat Ahmadiyah dan Syiah sulit mencari pekerjaan.
Itu baru satu bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas di negeri ini yang dilakukan oleh publik. Masih ada lagi diskriminasi yang dilakukan oleh negara kepada kelompok minoritas yaitu pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk atau KTP. Coba lihat KTP yang anda punya, setelah alamat dan sebelum status perkawinan ada kolom agama.
Kolom ini hanya boleh diisi dengan enam agama yang diakui oleh negara. Enam agama yang dimaksud adalah Islam, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Katolik, dan Konghucu. Lalu bagaimana dengan warga negara yang menganut aliran kepercayaan? DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk mengosongkan kolom agama di KTP. Intinya, penganut aliran kepercayaan tidak boleh mencantumkan “agamanya” itu di dalam KTP.
Padahal, Indonesia adalah negara yang multietnis dengan kepercayaan yang berbeda-beda. Berdasarkan data dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), ada 245 organisasi aliran kepercayaan di negeri ini. Salah satu contohnya adalah aliran Kepercayaan terhahap Tuhan Yang Maha Esa. Data ICRP tahun 2005 menyebut, ada 400.000 orang yang menjadi penganut aliran tersebut. Selama ini mereka mengosongkan kolom agama di KTP.
Di Kalimantan, ada 6.000-an warga Dayak yang menganut aliran Kaharingan. Sebagian besar dari mereka tidak mencantumkan agama di KTP, tetapi ada juga yang terpaksa menulis Islam agar mudah mendapatkan pekerjaan. Mengosongkan kolom agama di KTP sepertinya masih menjadi hal yang belum bisa diterima oleh sebagian besar orang.
Yang menjadi pertanyaan, haruskah kolom agama di KTP tetap dipertahankan? Dan, apa urgensi kolom agama di KTP?
Sebagian besar mungkin berpendapat kolom agama tetap diperlukan di KTP. Bagi mereka yang punya pendapat seperti itu, tentu sah-sah aja. Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa penganut aliran kepercayaan tak boleh mencantumkan kepercayaannya di KTP? Pertanyaan lain,Indonesia adalah negara yang menentang penggunaan isu SARA yaitu Suku, Agama, Antarras dan Antargolongan. Kenapa agama tetap dimasukkan di KTP sedangkan suku, ras dan juga golongan tidak ada.
Semboyan negara ini adalah Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya beraneka ragam tetapi tetap satu. Semboyan ini juga yang digunakan untuk menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia di era penjajahan. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 terlaksana berkat bersatunya para pemuda yang berasal dari budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan yang berbeda. Ketika itu, semua mempunyai status dan derajat yang sama yaitu warga negara Indonesia.
Ironis, ketika sudah puluhan tahun merdeka, semboyan Bhinneka Tunggal Ika seperti luntur hanya karena perbedaan agama dan kepercayaan. Kelompok mayoritas tak mau menerima perbedaan yang dijalani kelompok minoritas. Karena itu, negara seharusnya menghentikan bentuk diskriminasi dengan menghapus kolom agama di KTP.
—
Sumber: PortalKBR.com (opini; rilis: 27 November 2013, 13.05; akses: 27 November 2013, 19.10 WIB). Gambar ilustrasi dari PortalKBR.com.