ORDE Baru tidak hanya mewariskan penyakit kronis korupsi, tetapi juga cara pandang keseragaman. Cara pandang yang terakhir ini telah membuat sebagian anak bangsa ini tega membantai penganut Ahmadiyah dan kaum Syiah. Orang-orang seperti ini harus disadarkan bahwa keberagaman bukan hanya keniscayaan, tetapi juga modal sosial yang luar biasa.
DETIK.com (4 halaman)
Jakarta – Sebagai seorang yang mendalami ilmu penyuluhan pembangunan, Penulis memahami revolusi mentalnya Joko Widodo (Jokowi) bisa sebagai perubahan perilaku yang menyeluruh dan mendasar. Dari perspektif penyuluhan pembangunan, rakyat tidak mungkin kita biarkan untuk mengalami perubahan perilaku yang menyeluruh dan mendasar tanpa pendampingan.
Penyakit Kronis, Penanganan Akut
Era reformasi kita identik dengan era keterbukaan, era kebebasan. Namun di era inilah kita sadar betapa penyakit yang melanda mayoritas anak bangsa sudah demikian kronis. Berangkat dari kegalauan yang luar biasa inilah Jokowi hari-hari ini kerap mengemukakan bahwa penyakit kronis ini memerlukan penanganan segera (akut). Jokowi menyebut penanganan akut ini dengan istilah “revolusi mental.”
Orde Baru tidak hanya mewariskan penyakit kronis korupsi, tetapi juga cara pandang keseragaman. Cara pandang yang terakhir ini telah membuat sebagian anak bangsa ini tega membantai penganut Ahmadiyah dan kaum Syiah. Orang-orang seperti ini harus disadarkan bahwa keberagaman bukan hanya keniscayaan, tetapi juga modal sosial yang luar biasa.
Penanganan Akut yang Bermutu atas Penyakit Kronis ala Penyuluhan Pembangunan
Menurut Margono Slamet (1995), ilmu penyuluhan pembangunan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan mengggantinya dengan perilaku baru yang mengakibatkan mutu kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. Margono menyebutkan, bila kita menginginkan perubahan itu mencapai hasil yang baik dalam waktu singkat, kita perlu melakukan usaha-usaha yang bersistem dan berstrategi di bidang pendidikan nonformal (penyuluhan) yang berfungsi sebagai fasilitator bagi rakyat yang perlu mengalami proses pembelajaran guna memperbaiki diri sendiri.
Sebagaimana tampak pada subjudul di atas, dalam konteks revolusi mental, Penulis ingin mengganti istilah Margono perihal ‘usaha-usaha yang bersistem dan berstrategi di bidang pendidikan nonformal (penyuluhan pembangunan)’ dengan ‘penanganan akut yang bermutu atas penyakit kronis ala penyuluhan pembangunan’. Dengan kata lain, bila Jokowi menginginkan revolusi mental harus menjadi gerakan nasional, kita harus memanfaatkan ilmu penyuluhan pembangunan.
Mengingat aktualisasi revolusi mental tidak akan terjadi di ruang hampa, cara pandang dan cara bertindak kita pun tidak hanya harus memperhatikan lingkungan lokal dan nasional kita, tetapi juga lingkungan regional dan internasional. Dari perspektif ini kita menggabungkan dua hal sekaligus, ‘berpikir lokal, bertindak global’ dan ‘berpikir global, bertindak lokal’. Artinya, visi bangsa kita yang selaras dengan ‘Trisakti Bung Karno’ (yang disingkat sebagai ‘berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya’) kita capai melalui misi ‘berpikir lokal, bertindak global’ dan ‘berpikir global (berwawasan lingkungan, demokrasi, dan HAM universal), bertindak lokal’.
Trisakti Bung Karno bisa dikatakan selaras dengan filosofi penyuluhan pembangunan melalui penyelenggaraan kegiatan/program ‘helping people to help themselves’ (yang dalam bahasa politik diterjemahkan sebagai ‘membantu rakyat menjadi mandiri’). Bila ditilik secara mendalam dan seksama, dalam Trisakti Bung Karno dan filosofi penyuluhan pembangunan (yang dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan/progam membantu rakyat menjadi mandiri) terkandung visi (yakni rakyat yang berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya) (menjadi manusia Pancasilais) dan sekaligus misi (yakni melalui program membantu rakyat sehingga rakyat sebagai representasi bangsa dan negara berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya).
Rakyat yang berdaulat secara politik antara lain tampak ketika rakyat dalam pemililhan kepala daerah, pemilu legislatif, dan pemilu presiden memilih secara mandiri (berdasarkan hati nurani), tanpa intimidasi dan tidak terpengaruh dengan kampanye hitam dan politik uang. Rakyat yang berdaulat secara ekonomi antara lain tampak ketika rakyat memiliki penghasilan halal bukan dari korupsi, pekerjaan ilegal, dan bukan pula dari pemberian atau penerimaan gratifikasi.
Rakyat yang berdaulat secara budaya tampak ketika rakyat mau bekerja keras (utamanya dalam mengejar prestasi), ulet (pantang menyerah), menghargai kearifan lokal, memiliki tanggung jawab sosial pribadi, mandiri, mendahulukan kemampuan sendiri (tanpa mengabaikan semangat kebersamaan, gotong royong, dan saling ketergantungan), agamis (namun tetap toleran dan inklusif), jujur, disiplin, kreatif, demokratis, nasionalis, kosmopolitan, dan lain-lain.
Pemanfaatan yang Sudah Ada
Menurut Penulis, menjadikan revolusi mental sebagai gerakan nasional tidak perlu dengan membentuk semacam Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) (yang di masa Orde Baru ditunjuk sebagai penyelenggara penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)).
Gerakan nasional revolusi mental (GNRM) dapat melahirkan rakyat yang berdaulat dengan memanfaatkan sub-subsistem yang sudah ada, yakni subsistem lembaga (kementerian dan lembaga negara tingkat nasional, provinsi, dan daerah, serta lembaga pendidikan (negeri dan swasta), subsistem agen perubahan (Aparatur Negara (Aparatur Sipil Negara (ASN), jaksa, anggota Polri dan TNI), pejabat negara, pegawai BUMN, dosen dan guru non-ASN, dan aktivis LSM dan tokoh masyarakat), subsistem komunitas (bisa berupa kelompok formal dan informal), dan subsistem anggota komunitas.
Dalam penyuluhan, lazimnya sasaran perubahan adalah anggota komunitas. Dalam konteks revolusi mental, sasaran perubahan adalah semua subsistem dengan bobot dan derajat peranan dan tugas yang khas. Mengingat hampir seluruh warga negara adalah rakyat, sasaran utama revolusi mental tentu saja adalah rakyat itu sendiri (subsistem anggota komunitas).
Meski sasaran utama revolusi mental adalah rakyat, subsistem yang mengawali perubahan adalah subsistem agen perubahan. Dari subsistem ini, yang paling awal lagi berubah adalah aparatur negara, khususnya pegawai ASN, jaksa, anggota Polri dan TNI, dan hakim. Pasal 12 UU Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan, “Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.”
Bila GNRM di kemudian hari merupakan bagian dari pembangunan nasional dan kebijakan negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) memiliki posisi yang strategis, garda terdepan, dan menjadi sokoguru dari revolusi mental dalam mendidik dan melahirkan aparatur negara yang mentalnya berubah positif.
Bagi Penulis, aparatur negara tidak hanya menjadi inisiator, tetapi juga teladan dan konduktor orkestra perubahan. Mereka harus menjadi inisiator, teladan, dan konduktor karena merupakan konsekuensi logis dari ‘kehidupan’ mereka yang tergantung dari ‘darah dan keringat’ rakyatnya. Karena itu tidak logis jika aparatur negara masih meminta dan/atau menerima gratifikasi dari rakyat. Sangat tidak logis pula bila mereka sebagai pelayan publik (public servant) memposisikan dirinya sebagai tuan dari rakyatnya.
Dalam merevolusi mental aparatur negara, Kemenpan dan LAN merupakan subsistem lembaga yang bertanggung jawab menyusun grand design kurikulum revolusi mental aparatur negara. Kurikulum turunan dari grand design kurikulum revolusi mental aparatur negara yang akan digunakan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan kementerian dan lembaga dibuat oleh badan SDM kementerian dan lembaga tersebut.
Kurikulum yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentu saja berlaku bagi guru dan dosen non-ASN. Penyusunan kurikulum revolusi mental bagi aparatur negara di provinsi, kabupaten, dan kota dapat dibuat dengan perguruan tinggi (PT) dan lembaga pendidikan dan latihan non-PT. Sebagai catatan, di luar PT, melalui pendidikan pengembangan karakater, sudah ada lembaga yang telah mencoba menangani penyakit kronis bangsa kita, antara lain Neuro Associative Conditioning (NAC) Polri.
Subsistem agen perubahan berikutnya yang harus menjadi inisiator, teladan, dan konduktor kedua adalah pejabat negara, pegawai BUMN, dosen dan guru non-ASN. Mereka, utamanya pejabat negara serta dosen dan guru non-ASN, ‘mendapat kehormatan’ sebagai inisiator, teladan, dan konduktor kedua lantaran seluruh atau sebagian penghasilannya berasal dari ‘uang rakyat’.
Pegawai BUMN, seperti aparatur negara serta guru dan dosen non-ASN, meski menjadi inisiator, teladan, dan konduktor, namun tidak boleh mendapatkan penghasilan tambahan dari tugas mereka sebagai inisiator, teladan, dan konduktor perubahan karena ini menjadi bagian dari tanggung jawab sosial mereka. Sejalan dengan hal di atas, kurikulum bagi inisiator, teladan, dan konduktor pertama dan kedua ini harus memuat penyadaran tentang sumber dari seluruh atau sebagian penghasilan mereka.
Untuk melahirkan aparatur negara yang bersih, mulai dari eselon III, mereka sebaiknya ditempatkan dan dipromosikan di luar daerah asalnya. Sistem merit (berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja) serta penempatan dan promosi ke daerah lain akan membuat mereka ‘loyal’ mengejar prestasi, bukan loyal pada atasan (kepala daerah) dalam wujud setoran, dan ini bisa mencegah kepala daerahnya korupsi. Sejauh ini, mayoritas aparatur negara menganggap penghasilan mereka bersumber dari pemerintah.
Aktivis LSM dan tokoh masyarakat ‘layak’ menjadi inisiator, teladan, dan konduktor ketiga mengingat visi mereka tentang pentingnya pengembangan karakter dan kemandirian rakyat. Menyangkut subsistem komunitas, subsistem ini ini menjadi penting lantaran setiap hari bersentuhan dan menjadi wadah subsistem keempat (rakyat).
Komunitas sosial dan ekonomi (subak, arisan, jimpitan, dan lain-lain) yang di masa lalu mengandung nilai-nilai luhur (karena memiliki solidaritas, kebersamaan, gotong-royong, dan kekeluargaan yang kuat), melalui GNRM harus kita dapatkan kembali (Biddle dan Biddle menyebutnya ‘regaining community’) dan kita tumbuh kembangkan menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi rakyat merevolusi mentalnya.
Bagaimana sistem ini bekerja melalui keempat subsistem?
Pertama, sistem ini bekerja melalui agen perubahan (AP) yang menyuluh di subsistem komunitas tempat AP sehari-hari melibatkan diri dalam kegiatan sosial dan/atau ekonomi. Pengaturan agenda kegiatan dan home base (AKHB) AP dibuat oleh Kemenpan dan LAN berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, dan instansi di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Kemenpan dan LAN misalnya dapat menunjuk dinas/kantor pendidikan kabupaten/kota setempat mengatur AKHB guru dan dosen, menunjuk dinas/kantor koperasi dan UKM mengatur AKHB aktivis LSM keuangan mikro, dan lain-lain. Guna menjamin efektivitas penyuluhan revolusi mental (PRM) ini, maka promosi ASN, anggota Polri dan TNI, dan perolehan tunjangan sertifikasi guru dan dosen (ASN dan non-ASN) harus memperhitungkan kinerja mereka melakukan PRM yang diukur dari perubahan positif anggota komunitas binaan mereka.
Kita berharap, Kemenpan dan LAN bisa menciptakan sebuah sistem yang bekerja dengan baik sehingga revolusi mental AP dan rakyat berhasil melalui pendayagunaan subsistem lembaga dan subsistem komunitas serta kerjasama antar subsistem.
*) Henrykus Sihaloho adalah Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan dosen pada Universitas Katolik Santo Thomas, Medan.
—
LIHAT juga Revolusi Mental yang dipaparkan Karline Supelli, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta di Jokowi.id.