Jakarta – Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Tim Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) melakukan audiensi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bertempat di Kantor Kemenko Polhukam RI, Jakarta, Rabu, (5/1/2022).
Pertemuan tersebut dilakukan guna memberikan masukan terkait pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinaan di Indonesia. Salah satunya mengenai kebijakan diskriminatif yang masih berlaku hingga saat ini, misalnya Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, SKB 2 Menteri 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah.
Pada kesempatan tersebut, Juru Bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menyampaikan, bahwa SKB 3 Menteri justru memicu lebih banyak banyak peraturan daerah yang melarang ibadah, kegiatan organisasi, menutup paksa masjid, bahkan persekusi oleh kelompok intoleran.
“SKB 3 Menteri banyak ditafsirkan secara salah oleh birokrat, aparat dan masyarakat sehingga itu berdampak pada kebijakan diskriminatif dan persekusi terhadap Ahmadiyah,” kata Yendra.
Oleh karena itu, Yendra meminta Menkopolhukam untuk membuat surat edaran kepada para pihak bahwa SKB 3 Menteri tidak melarang aktifitas dan pembangunan masjid yang dikelolah oleh Ahmadiyah.
“Agar aksi diskriminatif ini tidak berlanjut, Menkopolhukam harus membuat surat edaran bahwa SKB 3 Menteri tidak melarang Ahmadiyah, dan pemerintah daerah dilarang untuk menutup paksa masjid atau harta milik organisasi serta pengikut Muslim Ahmadiyah,” ujarnya.
Senada dengan Yendra, Ketua Komite Hukum PB Jamaah Ahmadiyah Indonesia Fitria Sumarni mencatat kenaikan kasus yang tajam setelah penerapan SKB 3 Menteri.
“Pasca SKB 3 Menteri lebih dari 15 masjid yang dibangun secara swadaya oleh Ahmadiyah tidak bisa digunakan hingga saat ini, ada yang ditutup paksa, diserang, dirusak, dibakar, bahkan rumah-rumah anggota diserang dibeberapa titik di Jawa Barat dan NTB,” ungkap Fitria.
Fitria memohon agar Menkopolhukam bisa turun langsung untuk membantu menyelesaikan kasus intoleransi ini.
“Negara harus menjamin setiap warga negara mendapatkan haknya untuk beribadah dan mendapatkan pemulihan secara menyeluruh,” pungkasnya.
Tim koalisi terdiri dari KontraS, YLBHI, Sejuk, Setara Institute, Yayasan Inklusif, Imparsial, Human Rights Watch (HRW), Paritas Institute, Aman Indonesia, dan Ahmadiyah.
Semoga membawa manfaat