Tasikmalaya – Kebutuhan akses bantuan hukum di tengah masyarakat sangat tinggi. Namun di sisi lain, keberadaan advokat maupun paralegal masih minim.
Untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat rentan dan marginal, DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Tasikmalaya membentuk Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Desa.
Ketua DPC Peradi Tasikmalaya Andi Ibnu Hadi mengungkapkan, berdasarkan jumlah masyarakat Kabupaten Tasikmalaya menurut data BPS, mencapai 1,8 juta jiwa sedangkan pemberi bantuan hukum sangat terbatas.
“Advokat yang tergabung di Peradi saja hanya sekitar 80 orang. Berdasarkan data ini, maka 1 orang advokat harus melayani sekitar 43 ribuan orang pencari keadilan. Ketimpangan ini menjadi salah satu alasan rendahnya kesadaran hukum serta terbatasnya access to justice,” kata Andi saat ditemui di sela-sela Jambore Paralegal di Jabal Nur, Tasikmalaya, Kamis, (6/1/2022).
Andi melanjutkan, mayoritas masyarakat Kabupaten Tasikmalaya bertempat tinggal di desa sehingga kesulitan mengakses pemberi layanan bantuan hukum.
“Akhirnya masyarakat mencari alternatif penyelesaian masalah hukum melalui perorangan dan organisasi yang tidak profesional,” ujarnya.
Bentuk Posbakum sebagai perpanjangan tangan Peradi hingga ke wilayah pedesaan
Andi menjelaskan, gagasan tentang Posbakum Desa ini tidaklah tanpa dasar hukum.
Hal ini sesuai dengan Permendagri No. 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). Seperti halnya dalam Pasal 6 ayat (1) disebutkan setidaknya Lembaga kemasyarakatan Desa terdiri dari Rukun Tetangga, Rukun Keluarga, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, Karang Taruna, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Lembaga Perberdayaan Masyarakat. Namun kemudian Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa ”Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk LKD selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan”, sehingga dengan demikian maka Posbakum Desa dapat dibentuk berdasarkan kebutuhan peningkatan kesadaran hukum masyarakat Desa melalui layanan bantuan hukum.
Untuk saat ini Peradi Tasikmalaya mempunyai 30 Posbakum dan menjadi Desa Sadar Hukum.
“Kami memastikan keberadaan Posbakum Desa dan Paralegal Desa yang merupakan binaan DPC Peradi Tasikmalaya akan selalu diasistensi dalam pengembangan organisasi dan penanganan perkara,” ungkapnya.
Latih 150 paralegal desa se-Tasikmalaya
Peradi Tasikmalaya telah memberikan pelatihan bagi 150 paralegal yang berada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Mereka diberikan pembekalan pengetahuan lanjutan untuk memperkuat kemampuan dan keterampilan terkait kerja-kerja pendampingan hukum. Paralegal ini yang nantinya akan menjalankan Posbakum Desa.
“Kami mempunyai modalitas yang cukup besar untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat rentan dan marginal,” ungkapnya.
Tidak hanya berhenti di lingkup kerja pendampingan hukum, namun paralegal juga melakukan tugas-tugas lainnya seperti sosialisasi hukum dan pemberdayaan masyarakat sebagai upaya mitigasi kekerasan, seperti pelatihan keterampilan kreatif dan pemberdayaan ekonomi.
Diharapkan menjadi jembatan bagi warga Tasikmalaya dalam menyelesaikan kasus intoleransi
Andi menyampaikan, tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) masih banyak terjadi di Tasikmalaya. hal itu berdasarkan aduan yang masuk ke Pusat Bantuan Hukum (PBH Peradi Tasikmalaya).
“Tindakan intoleransi di Tasikmalaya masih sangat tinggi, seperti pengamal sholawat wahidiyah di Taraju yang akan menggelar musyawarah kerja, mereka didatangi pemerintah daerah yang kemudian meminta acaranya ditunda, kemudian sampai saat ini warga JAI masih kesulitan dalam mendapatkan akses layanan nikah, dan di beberapa tempat masjid mereka ada yang ditutup secara paksa,” tutur Andi.
Ke depan, menurut Andi Paralegal akan didorong untuk meminimalisir narasi dan kasus intoleransi yang ada di Tasikmalaya.
“Ini merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai bagian dari kesadaran hukum,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Desa Tenjowaringin Usama Ahmad Rizal yang juga merupakan anggota Pemuda Ahmadiyah menyampaikan, salah satu faktor yang mendorong terjadinya intoleransi di tengah masyarakat ialah karena adanya penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik.
“Kita bisa lihat dalam kasus terakhir dimana pemerintah daerah tunduk dalam otoritas tokoh agama tertentu untuk menutup paksa Masjid yang dikelola Ahmadiyah. Harusnya negara tunduk terhadap aturan bukan tekanan,” pungkasnya.