Apakah Membangun Masjid Sebuah Kejahatan?[1]
Saya Hajar Ummu Fatikh, 20 tahun, warga negara Indonesia yang berdomisili di Kendal dan bagian dari komunitas Ahmadiyah di Gemuh – Kendal, Jawa Tengah. Saya masih kuliah di UIN Walisongo Semarang.
Saya lahir dan besar di Gemuh, sejak saya kecil sampai umur 7 tahun kami belum memiliki masjid, kami komunitas Ahmadiyah Gemuh melaksanakan ibadah shalat Jumat berjamaah dan tarawih di bulan Ramadhan serta kegiatan mengaji di rumah anggota secara bergiliran.
Seiring berjalannya waktu, jumlah komunitas Ahmadiyah Gemuh kian bertambah dan rumah kami tidak muat lagi untuk menampung jamaah. Oleh karena itu, merupakan suatu kebutuhan bagi kami untuk mendirikan sebuah masjid. Pada tahun 2003 Kami mencari lahan yang cocok untuk dibangun masjid. Lahan yang kami pilih letaknya strategis, tak jauh dengan para jamaah, sehingga perjalanan menuju masjid tidak susah, kebetulan pula di daerah itu belum ada masjid.
Pengurus Ahmadiyah Gemuh mendatangi kantor balai desa dan bertemu dengan Pak Lurah mengutarakan niatan bahwa ingin membeli tanah dan membangun masjid. Pak Lurah menyetujuinya dan menyarankan agar terlebih dahulu mempunyai surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kami pun mengikuti saran dari beliau. Beberapa hari setelahnya, Pengurus segera berangkat ke kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) untuk mengurus IMB. Dalam proses pembuatan IMB, dibutuhkan surat pengajuan permohonan, surat yang dibuat oleh DPU dan di tandatangani Kepala Desa, ini merupakan syarat agar IMB bisa terwujud.
IMB resmi telah kami dapatkan pada tahun 2004, kamipun mulai membangun masjid. Dana pembangunan masjid kami kumpulkan swadaya dari seluruh jamaah tanpa menerima sumbangan atau bantuan dari pihak luar sepeserpun. Secara rutin kami menyisihkan uang perbulan dari pendapatannya. Beberapa dari kami bekerja sebagai tukang jahit, petani, buruh tani, pedagang kayu dan bambu, dan juga ojek. Dana yang kami pembangunan masjid ini adalah hasil cucurat keringat kami, semata-mata untuk meraih ridha-Nya.
Proses pembangunan masjid Al-Kautsar – begitu kami menamainya – tidak berjalan dengan mulus dan mengalami pasang surut. Ada saja kendala, entah itu kendala dalam dana maupun masalah-masalah lain sehingga proses pembangunan sempat terhenti. Tetapi kami memiliki kendala lain. Tahun 2005 terjadi penyerangan ke pusat Ahmadiyah di Parung, Bogor, oleh massa yang mengatasnamakan gabungan umat Islam. Praktis dampaknya juga merembet ke cabang-cabang Ahmadiyah di daerah, termasuk Ahmadiyah di Gemuh. Ruang gerak kami dipersulit lantaran selalu dicap sesat oleh masyarakat. Dana sejatinya sudah terkumpul kembali, tetapi proses pembangunan tak bisa diteruskan, kami selalu dihalang-halangi.
Bahkan yang membuat kami sedih, banyak dari antara para tukang bangunan yang takut dalam mengerjakan pembangunan masjid karena kondisi yang tidak kondusif ini, kami memahami hal itu, tetapi di sisi lain kami juga tidak bisa membangun tanpa para tukang bangunan karena mereka adalah ahli di bidangnya.
Masjid Beratapkan Bintang
Tahun 2006 bangunan masjid sudah berdiri tegak namun belum dipasang atap. Pembangunan masjid baru 50% namun kami sudah menggunakannya untuk kegiatan shalat berjamaah dan mengaji. Kami terpaksa menggunakannya, karena kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kami menggelar tikar sebagai ganti dari ubin lantai, sedangkan untuk berlindung dari panas maupun hujan, kami mengakalinya dengan memasang terpal sebagai atap. Ketika hujan turun, terpal menjadi cekung ke bawah karena menampung air hujan sehingga mengharuskan kami untuk mendorong terpal menggunakan bambu-bambu agar air jatuh kebawah melalui bagian samping. Beberapa bagian terpal telah sobek sehingga bocor dan menggenangi tempat sujud kami. Jika subuh, kami sudah akrab dengan suasana dingin yang merasuk hingga tulang, wajar saja angin itu masuk dari segala penjuru karena masjid kami belum dipasang pintu maupun jendela. Bahkan sebelum kami memasang atap terpal, masjid kami ini beratapkan bintang pada malam hari. Hal-hal tadi merupakan hal yang paling kami kenang.
Ketika anak-anak kami begitu bersemangat mengaji membaca kalam Allah Ta’ala walaupun dengan penerangan seadanya seperti “damar nyamplik”, walaupun tak jarang darah kami dijadikan santapan nyamuk, walaupun hujan membasahi dan udara dingin menusuk tulang kami, walaupun petir bergemuruh menakuti anak-anak kami yang sedang mengaji, sungguh kami begitu merindukan rumah Allah Ta’ala ini lekas berdiri dengan tegaknya. Sehingga kami dapat terus memakmurkan masjid bahwa kami dan anak-anak kami datang semata-mata untuk berjumpa dengan-Nya.
Karena kami begitu merindukan masjid ini lekas berdiri, maka pada tahun 2010 sampai dengan 2012 kami membangun masjid bagian belakang untuk dijadikan tempat beribadah sementara. Tanpa tukang bangunan yang dahulu merasa takut, kami bergotong royong membangun; mulai dari yang tua hingga muda, bahkan anak-anak kecil ikut serta dalam pekerjaan mulia itu. Anak-anak kecil itu dengan tangannya sendiri, begitu bersemangat mengestafetkan kayu-kayu dan bambu. Kami bahu membahu membangun masjid – tempat kami bersujud, menyembah Keagungan Allah Ta’ala.
Tahun 2012 Setelah bagian belakang selesai 90% dan tinggal genting yang akan dipasang, kami disuruh untuk turun dan menghentikannya oleh beberapa orang, termasuk dari perangkat desa. Mereka berteriak dan juga berkata kasar. Kami akhirnya turun dan berhenti melanjutkan pembangunan masjid. Lalu ayah saya dan paman saya, bapak Abdul Aziz datang ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Sebelum isya’ tiba ayah saya ditangkap dengan alasan diamankan karena jiwanya terancam. Di Polres ayah saya disuruh untuk menandatangani surat yang isinya tidak akan melanjutkan pembangunan masjid dan melakukan kegiatan ibadah lainnya seperti shalat serta mengaji oleh Ketua Satpol PP. Tentu saja beliau menolak karena itu merupakan hak setiap manusia untuk menyembah Tuhannya. Di sana beliau digertak, dibentak, diancam dan dikatakan “samin”. Tapi hal tersebut tak menyurutkan niat beliau begitu juga kami untuk terus beribadah di mesjid. Tahun 2012-2016 kami ibadah di masjid bagian belakang.
Hancurnya Masjid Al-Kautsar
Pada tahun 2016, kami melanjutkan kembali pembangunan masjid. Karena dana sudah terkumpul kembali. Hati kami berdebar-debar, membayangkan masjid yang kami tunggu sekian lama sebentar lagi tertutup dengan atap. Mata kami juga berbinar-binar membayangkan kami shalat dan bisa mengaji di dalamnya. Tak hentinya hati dan mulut kami bershalawat memantulkan syukur yang begitu besar kepada Allah Ta’ala yang sudah sejauh ini memberikan kenikmatan karunia bagi kami untuk melewati proses yang panjang ini. Bayangkan saja semenjak 2003 hingga 2016 kami menunggu, tiga belas tahun sudah, dari saya kecil hingga saya beranjak dewasa. Namun selalu saja kami dihalangi lagi untuk melanjutkan pembangunan masjid. Padahal kami sudah mengantongi IMB sesuai hukum.
Tanpa kami sangka pada bulan Mei 2016 massa yang tak dikenal menggempur, menghancurkan masjid al-Kautsar. Al-Qur’an berserakan dan puing-puing masjid menyisakkan perih tersendiri.
Apakah membangun masjid suatu bentuk kejahatan sehingga mereka menghancurkan bangunan itu? Mengapa harus rumah Allah Ta’ala yang dijadikan sasaran? Hati kami lebih tersayat, dada kami lebih sesak melihat rumah Allah Ta’ala yang dihancurkan. Sungguh, seakan hati kami yang sudah kami tautkan pada masjid seperti pecah dan tak utuh lagi. Untuk bernafas saja seakan susah bagi kami dengan melihat semua itu.
Kami tak pernah mengusik ataupun mengganggu yang lain. Tapi mengapa mereka bertindak demikian? Mengapa saat kami mengajak berdialog pada mereka yang konon katanya mengatasnamakan masyarakat itu mereka tidak mau? Mengapa saat kami diundang FKUB Kendal untuk menghadiri acara di kecamatan yang membahas masalah masjid, kami tidak diberi kesempatan meskipun mengacungkan tangan berkali-kali? Mengapa hanya mereka saja yang mempunyai kesempatan? Mengapa kami tidak? Mengapa mereka menghalangi kami yang sama-sama menuju surga kita yakni Allah Ta’ala sendiri? Mengapa kebanyakan orang mengambil hak Tuhan? Dengan menentukan benar dan salah?
Saya masih mahasiswa. Tapi saya memberanikan diri untuk bersaksi memberikan keterangan tentang kerugian hak konstitutional yang kami alami di Gemuh, Jawa Tengah. Karena kami dituduh melakukan penodaan agama, sehingga distigma sesat. Padahal kami tidak melakukan penodaan agama, tidak mengganggu dan memusuhi kelompok lain. Yang kami lakukan di masjid hanya beribadah sesuai keyakinan agama kami yaitu Islam.
Saya sering membaca UUD 1945 di sana banyak kalimat-kalimat indah yang menyatakan melindungi hak setiap warga negara untuk beribadah. Tetapi sampai sekarang kalimat-kalimat indah dalam konstitusi tidak kami rasakan. Kami tidak bisa beribadah dengan tenang. Kami selalu dihalangi dalam membangun masjid, padahal masjid kami bangun dengan dana sendiri. Kapankah kami bisa menikmati hak Konstitutional kami? Melalui forum ini kami berharap Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memulihkan hak konstitutional kami dan memberikan jaminan tegaknya konstitusi.
LAMPIRAN FOTO
Masjid Al-Kautsar di Police Line
Pasca perusakan oleh massa Bulan Mei 2016
Bagian dalam Masjid Al-Kautsar porak poranda di hancurkan massa
Warga Ahmadiyah melaksanakan Sholat Idul Fitri Tahun 2017
di masjid yang dirusak massa
[1] Tulisan ini disampaikan oleh penulis ketika bersaksi dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Mahmakah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat (7/11/2017)