Apakah Islam bisa berjalan seiringan dengan demokrasi liberal?
Dapatkah hukum Syariah diubah menjadi undang-undang untuk dijalankan di politik pemerintahan?
Dalam beberapa tahun terakhir , pertanyaan-pertanyaan macam ini menguat . Orang-orang di Barat bertanya-tanya apakah umat Muslim mampu bertoleransi , mampu hidup dalam masyarakat majemuk , dan apakah Islam itu sendiri memungkinkan umat Islam untuk hidup berdampingan secara damai dalam suatu masyarakat di mana semua orang dari semua kepercayaan melebur . Dalam sebuah artikel baru-baru ini di The Economist berjudul ‘Memimpikan Kekhilafahan’ ( 12 September 2011 ) , penulis menyatakan bahwa ” Telah menjadi jamak menyatakan bahwa Islam sulit untuk hidup berdampingan dengan demokrasi liberal ” dengan kata lain , semakin banyak orang percaya bahwa Islam – dan dengan demikian ,umat Muslim -tidak mendukung hak sekuler dan kebebasan , tidak dapat mendukung demokrasi , dan tidak dapat mendukung pluralisme . Artikel ini menanyakan apakah Islam dan Khilafah Islam – bisa berharmoni dengan hak dan kebebasan dari demokrasi liberal sekuler .
Ini adalah isu serius yang harus dijawab. Dalam artikel Economist , tuduhan ” Islamosceptics ” yang muncul adalah keinginan umat Islam untuk menghidupkan kembali Khilafah pasti memiliki implikasi politik. Mereka melihat Khilafah sebagai ” sebuah sistem otoritas agama – cum – politik, yang memegang kekuasaan atas seluruh dunia Islam – sebagai bentuk ideal pemerintahan. Jika itu terjadi , demokrasi liberal yang otoritas kekuasaannya berasal dari orang-orang yang tidak dikaitkan dengan keimanannya, akan dianggap sebagai hal yang sulit”. Kekhawatiran lain yang mereka miliki adalah tentang keselarasan hukum pidana Islam dan hukum keluarga Islam dengan ide-ide liberal tentang kesetaraan gender dan hukum yang proporsional, dan bahwa umat Islam ingin memberlakukan hukum syariah mereka kepada non Muslim.
Ada beberapa pertanyaan yang perlu kita tilik – pertama, apakah sifat dasar dari Khilafat ? Pasti bersifat politik , atau hanya rohani? Dan apa yang Islam katakan tentang pemerintah yang kewenangannya berasal dari orang-orang tidak terkait dengan keagamaan mereka ? Lalu, mampukah hukum keluarga dan hukum pidana Islam benar-benar hidup berdampingan dengan hak-hak liberal dan konsep kesetaraan ? Pertanyaan-pertanyaan ini sepatutnya kita kaji dari Al-Qur’an , Hadits , dan teladan Nabi (saw ) . Pada kenyataannya , Khilafah adalah sebuah system spiritual, bukan politik. Dan Islam tidak melarang , Islam mendukung pemerintah di mana otoritas “berasal dari orang-orang yang tidka terkait dengan keagamaannya. ” Pun, Islam melarang pemaksaan keyakinan seseorang kepada yang lain.
Khilafat – Politik atau Spiritual?
Salah satu pertanyaan yang paling penting adalah mengenai sifat dasar Khilafat. Banyak Muslim dan non-Muslim tidak melihatnya sebagai semata lembaga spiritual, tapi juga politik. Ini adalah pemahaman yang salah akan Khilafat, yang berasal dari kurangnya pengetahuan tentang makna dan pentingnya Khilafat Islam. Jadi, siapa itu Khalifa? Dalam bahasa Arab, kata ‘Khalifa’ berarti penerus, wakil . Dengan kata lain, seorang Khalifa ditunjuk oleh Allah, sebagai suksesor nabi Allah untuk melanjutkan misinya. Adalah kesia-siaan belaka saat ini banyak organisasi Muslim di seluruh dunia berusaha untuk mendirikan sebuah khilafah Islam dengan usaha mereka sendiri saja.
Pertanyaan selanjutnya: apa misi khilafat? Apakah politik ? Atau hanya spiritual ? Nabi Allah tidak diutus untuk menaklukkan suatu wilayah ataupun membentuk pemerintah . Mereka datang untuk menyebarkan ajaran tauhid, menyembah satu Tuhan serta meningkatkan kesadaran spiritual dan moral masyarakat. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan tujuan dari seorang Nabi :
“Kami telah mengirim kepadamu seorang utusan dari antara kamu, yang membacakan ayat-ayat /tanda-tanda Kami kepada kalian, dan menyucikanmu , dan mengajarkanmu Kitab dan kebijaksanaan , dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui” . ( Al-Quran 2 : 152 )
Tujuan diutusnya seorang Nabi – dan dengan demikian kekhalifahan penerusnya juga – adalah untuk membacakan tanda-tanda Allah , untuk menyucikan dan mereformasi masyarakat , untuk mengajarkan kepada orang-orang perihal agama, dan untuk menanamkan kebijaksanaan, juga meningkatkan kesadaran moral . Khalifa tidak memerlukan negara dan kekuatan politik untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut- seperti halnya Paus tidak memerlukan kekuasaan politik untuk memimpin jutaan umat Katolik . Di sisi lain , orang mungki berpendapat bahwa fungs-fungsi tersebut tidak menghalangi peran politik bagi seorang khalifa. Namun, pertanyaannya adalah , apakah perlu bagiseorang khalifah memiliki kekuasaan atas suatu negara? Dari kajian Al-Qur’an , tampaknya tidak. Yesus (as ) juga seorang nabi , dan ia tidak memiliki kekuasaan politik . Pada tahun-tahun awal Makkah , Nabi (saw ) , meski ia adalah pemimpin spiritual umat Muslim ,tidak membuatnya berusaha mencapai kekuatan politik . Selanjutnya , pada zaman Hadhrat Ali ( ra ) , kekuatan politik berada di tangan Amir Muawiyyah , meskipun Hadhrat Ali ( ra ) adalah pemimpin spiritual umat Muslim . Ada banyak bukti bahwa kekuasaan politik sama sekali tidak perlu ada di tangan Khalifa . Meski demikian, masih ada kekhawatiran bahwa, bahkan jika kekuasaan politik tidak perlu ada di tangan Khalifa , umat Islam tetap meyakini bahwa kekuasaan politik harus berada di tangan mereka , dan hanya oleh mereka.
Kajian yang mendalam terhadap Islam ini akan menunjukkan bahwa demokrasi liberal tidak hanya diterima –tapi juga dijadikan preferensi .
Islam , Demokrasi , dan Demokrasi Liberalisme
Apa yang Islam katakan mengenai kenegaraan dan pemerintahan ? Pertama,Islam mendukung premis utama demokrasi – bahwa setiap orang harus mengambil peran dalam pemerintahan di negara-negara mereka tinggal:
Dan selesaikanlah perkara-perkara dengan musyawarah bersama. (Al- Qur’an , 42 : 40 )
Di sini , penekanannya terdapat pada musyawarah bersama – bukankah ini merupakan dasar demokrasi? Voting merupakan salah satu bentuk demokrasi . Islam juga meletakkan dua pedoman dalam bernegara. Pertama, meminta masyarakat berhati-hati atas tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya :
“ Sesungguhnya , Allah memerintahkanmu untuk memberikan kepercayaan kepada mereka yang berhak. Dan ketika kalian memutuskan suatu perkara di antara kaluan, putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya peringatakan allah amatlah baik. Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. ( Al- Qur’an , 2 : 266 )
Jadi dalam setiap proses pemilihan demokrasi harus didasarkan pada asas kepercayaan, kejujuran dan integritas . Pemilik suara bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa , oleh karena itu ia harus memilih orang-orang yang paling bertanggung jawab dan mampu dalam posisi tersebut dan yang tidak melanggar kepercayaan .Ayat tersebut tidak mengatakan bahwa Muslim harus menyerahkan kepercayaan hanya kepada umat Islam . Sebaliknya , umat Islam diwajibkan untuk memberikan kepercayaan kepada orang yang paling mampu melakukan pekerjaan tersebut, terlepas dari imannya. Pertanyaannya kemudian, jika benar demikian : mengapa hanya ada sedikit negara demokrasi Islam, apalagi negara demokrasi liberal islam? Dalam artikel The Economist dinyatakan bahwa menurut Freedom House , sebuah organisasi yang mengkaji demokrasi di seluruh dunia , hanya ada tiga negara di mana umat Islam sebagai mayoritas yang ‘ menikmati kebebasan politik ‘ . Cukup mengejutkan Indonesia termasuk salah satu dari negara-negara mayoritas Muslim yang ‘menikmati ‘ kebebasan politik. Mengejutkan karena di Indonesia baru-baru ini ada anggota komunitas Ahmadiyah disiksa tanpa ampun sampai mati tersebab keyakinannya yang tampaknya berbeda dengan penafsiran arus utama Islam lainnya. Terlepas dari itu, hal tersebut tak serta merta membuat kita berkesimoulan Islam tidak kompatibel dengan demokrasi.
Islam memiliki kualitas unik menjadi agama universal dan cocok bagi segala bentuk masyarakat . Karena masyarakat yang berbeda akan memerlukan sistem yang berbeda dari pemerintahan , Al-Qur’an menyebutkan banyak sistem politik. Sebagaimana Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ( rh ) ( 1928-2003 ) , Pemimpin Spiritual Komunitas Muslim Ahmadiyah , menjelaskan:
” Menurut Al-Quran , orang dapat bebas memilih mengadopsi sistem pemerintahan yang sesuai dengan mereka . Demokrasi , kedaulatan ,sistem feodal asalkan disetujui oleh rakyat. Namun, tampaknya demokrasi lebih disukai dan sangat dipuji oleh Al-Qur’an . Kaum Muslim disarankan untuk memilih sistem demokrasi meskipun tidak persis dengan pola demokrasi gaya barat . ‘1
Catatan di sini , orang-orang memiliki otoritas untuk tidak memilih melulu sistem demokrasi , tetapi tetap harus mendapat persetujuan rakyat . Al-Qur’an tidak sistem politik manapun . Namun , lebih memilih demokrasi sebagai bentuk ideal pemerintahan . Jadi apa masalahnya ? Faktor sosial dan ekonomi memang merupakan hal penting . Dalam arti bahwa , “masalah ” demokrasi Muslim adalah masalah yang dimiliki oleh banyak negara di mana tingkat melek huruf dan kesejahteraan amat rendah . Tapi masalah intinya dalah : bahwa maulawis ( ulama Muslim ) dan mullah demi kekuasaan politik berusaha untuk memonopoli otoritas keagamaan . Usaha mereka semakin mendapat jalan saat penduduknya banyak buta huruf dan tidak memiliki pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan Hadits . Karena itu , Hadhrat Mirza Tahir sebagai Ahmad ( rh ) menulis:
” Orang-orang bingung. Apakah kalian lebih condong kepada Firman Allah serta Nabi ( saw) atau lebih memilih pemimpin yang tak bertuhan dan tak kenal takut untuk memimpin perpolitikan kalian ? ‘2
Meski masyarakat Muslim mencintai agamanya , mereka tidak yakin bagaimana ajaran Islam akan bentuk pemerintahan seharusnya. Mullah dan maulawis sama sekali tidak membantu. Mereka malahsemakin membuat sistem yang kuat untuk melindungi kekuasaan politik mereka.
Liberalisme
Prinsip penting kedua kenegaraan Islam adalah bahwa pemerintah harus mengelola segala urusan dengan prinsip keadilan. Hanya dengan demikian kita bisa mengatakan, ketika prinsip-prinsip tersebut dipatuhi oleh setiap masyarakat , bahwa suatu negara benar-benar ” pemerintahan dari rakyat , oleh rakyat , untuk rakyat. ” Keadilan dan kesetaraan merupakan elemen yang sangat penting dalam setiap bentuk masyarakat. Al-Quran suci dalam banyak ayatnya mengingatkan kita untuk berpegang pada nilai-nilai ini dalam setiap perkara .
Yang lebih penting lagi, ayat di atas tidak memerintahkan umat Islam untuk bertindak adil hanya dengan sesama Muslim , ayat tersebut mengajarkan kita untuk bersika adil kepada semua orang . Dengan demikian , Pluralisme dan toleransi agama adalah nilai-nilai disokong oleh Al-Qur’an . Tapi para “Skeptisis Islam” mungkin bertanya : apa prinsip keadilan ? Apakah harus selalu prinsip Islam ? Apakah berbuat adil hanya disebut adil jika sesuai dengan prinsip-prinsip Islam . Dalam hali ini, Al-Qur’an meletakkan prinsip yang sangat penting :
” Tidak boleh ada paksaan dalam agama ” ( Al-Quran 2 : 257 )
Tak seorang boleh dipaksa untuk mematuhi suat aturan agama jika ia tak meyakininya. Jika kita mengkaji ayat ini dengan serius , hal ini akan menyingkirkan berbagai ketidakadilan dan pemaksaan yang saat ini terjadi di yang disebut sebagai negara-negara muslim . Tidaklah adil memaksa , melalui legislasi atau cara lain ,kepada mereka yang bukan Muslim untuk mematuhi hukum Islam . Bahkan tetap akan sulit untuk menerapkan hukum Islam bila semua warga Muslim, sebab ada 73 sekte dalam Islam, di mana masing-masing berbeda pandangan tentang berbagai isu termasuk definisi seorang Muslim . Siapa yang memutuskan mana sekte diberi wewenang dan dianggap layak untuk dikuti ?
Selain itu, pemisahan agama dari negara dianjurkan oleh Islam , hal ini juga berlaku kepada “musuh” Anda . Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ( aba ) , Khalifatul Masih V , pemimpin dunia komunitas Muslim Ahmadiyah saat ini telah berulang kali menekankan hal ini dalam pidatonya di seluruh dunia :
” Allah telah mengatakan bahwa persyaratan untuk pemerintahan yang adil adalah harus memisahkan urusan agama dari urusan Negara, dan setiap warga negara harus diberikan hak haknya . Prinsip ini mutlak tanpa pengecualian. Anda harus bertindak adil bahkan dengan orang-orang yang telah menunjukkan kebencian terhadap Anda . Juga kepada pihak oposisi yang telah menganiaya Anda berulang-ulang dengan segala cara .
Alquran menyatakan: Hai orang yang beriman ! Bertakwalah di jalan Allah , bersaksilah dengan keadilan, dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu bertindak tidak adil kepada mereka. Senantiasa dekatkanlah diri kepada kebenaran. Dan bertakwalah kepada Allah . Sesungguhnya , Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan . (Al-Quran 5 : 9 )
Ini adalah prinsip utama untuk menjalankan pemerintahan , agama seharusnya tidak terlibat di dalamnya. Perbedaan agama seharusnya tidak menjadi hambatan untuk menjalankan keadilan. Sekarang , setelah mendengar semua ini , bagaimana bisa orang menyatakan bahwa ajaran Islam tidak adil? Saya tidak percaya bahwa mereka yang menganggap dirinya bersikap adil dan berpendidikan bisa berkesimpulan ajaran Islam tidak adil setelah mereka mengkajinya dengan mendalam. “
Nabi Suci ( saw) telah memberi contoh kepada kita . Di Madinah Nabi ( saw) diterima oleh umat Islam , Yahudi dan anggota masyarakat lainnya sebagai Kepala Negara. Setiap kali seseorang datang kepadanya dengan perselisihan yang harus dipecahkan , Nabi (saw ) , meski ia seorang Nabi yang datang dengan hukum Islam yang sempurna, tetap selalu bertanya kepada mereka ” Apakah Anda ingin perselisihan ini diselesaikan sesuai dengan hukum Yahudi atau dengan hukum Islam atau sesuai dengan arbitrase ? ” Itu karena ia tidak hanya seorang Nabi tetapi juga Kepala Negara dan menghargai hak-hak mereka sebagai anggota masyarakat . Merpukan hal yang aneh para mullah dan “Skeptisis Islam” meyakini bahwa Islam mengizinkan hukum Islam dan pemaksaan atasnya karena tidak sesuai dengan contoh Nabi saw. Hadhrat Khalifatul Masih IV ( rh ) mengemukakan bahwa:
‘ Islam mendukung jenis pemerintahan sekuler lebih dari agama apapun dan sistem politik manapun… Hakikat sekularisme adalah bahwa keadilan mutlak harus dilakukan terlepas dari perbedaan iman dan agama, warna, keyakinan ,kelompok … dan ini adalah yang Al-Qur’an ajarkan mengenai tata negara. ”
Dengan demikian, Islam tidak mengakui demokrasi liberal – di mana otoritas datang dari warga , ” terlepas dari iman ” sebagai kompromi di mana umat Muslim harus di dalamnnya dengan enggan. Sebaliknya ,Islam mengakuinya sebagai bentuk yang benar-benar pemerintahan Islam . Sebuah kajian yang mendalam terhadap prinsip-prinsip Al Qur’an dan praktik Nabi ( saw) membawa kita sampai pada kesimpulan ini.
Hukum Islam
Ada kekhawatiran lain mengenai hukum Islam . Kekhawatiran pertama adalah bagaimana hukum dan praktik Islam dapat didamaikan dengan aspek-aspek negara liberal .Umat muslim percaya bahwa hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an berdasar atas asas keadilan. Al-Quran menyatakan:
” Sesungguhnya Allah memerintahkanmu berbuat adil, dan berbuat baik kepada orang lain ,memberi seperti kepada kerabat , dan melarang perbuatan keji , dan kejahatan yang nyata , dan perbuatan dosa. Dia mengingatkan supaya kamu sekalianmengambil pelajaran” (Al-Quran 16 : 91 )
Namun beberapa ajaran Islam mungkin tampak tidak adil di mata luar . Misalnya , jika kita melihat pada hukum warisan , perempuan menerima setengah bagian dari saudara laki-lakinya. Hal ini terlihat seperti memperlakukan wanita dengan tidak adil . Tapi warisan yang tidak merata merupakan refleksi dari tanggung jawab yang berbeda yang ditanggung oleh pria dan wanita . Pria bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya . Sedangkan perempuan dapat menghabiskan warisan mereka untuk diri mereka sendiri , tidak diwajibkan untuk membaginya dengan yang lain . Bagian pria dibagi dengan keluarganya , sedangkan bagian perempuan tetap utuh . Mengingat faktor-faktor ini , Islam percaya bahwa ini hanyalah perkara distribusi warisan . Namun , Islam mengakui bahwa ada orang lain mungkin tidak setuju. Dan oleh sebab itulah hukum-hukum ini hanya berlaku bagi umat Islam saja – tidaklah adil memaksakan hukum tersebut terhadap non-Muslim. Al Qur’an juga menahan kami untuk melakukannya.
Mengenai hukum pidana , bagaimana misalnya hukuman untuk perzinahan atau mencuri ? Secara umum ini merupakan masalah undang-undang di mana negara memiliki hak untuk mengontrol . Haruskah hukum tersebut diatur dengan pedoman Islam ? Hadhrat Khalifatul Masih IV ( rh ) menulis :
“Agama tidak perlu menjadi kekuasaan legislatif dalam urusan politik negara ‘3. Saat kita memberi tempat bagi agama untuk turut campur dalam perkara undang-undang , maka kita juga harus mengakui negara lain – yang mungkin berbeda praktik agama untuk mengatur hukum agama masuk ke dalam undang-undang . Lebih lanjut ia menulis :
” Seorang penganut agama manapun dapat menjalankan keyakinannya di bawah hukum sekuler . Dia bisa mengikuti keyakinannya sendiri tanpa campur tangan hukum negara. Dia dapat beribadah dan melakukan praktik keagamannnya tanpa perlu undang-undang tertentu yang mengizinkan untuk melakukannya.” 4
Umat muslim tidak memerlukan undang-undang Islam . Mereka – dan orang-orang dari setiap agama manapun- hanya perlu diizinkan untuk mempraktikkan agama mereka seperti yang mereka yakini. Ini adalah semangat sekularisme . Ini adalah semangat kenegaraan Islam.
Khilafat Saat Ini : Khilafat Jemaat Ahmadiyah
Banyak pembaca Economist yang mungkin mengatakan bahwa argumen di atas terdengar baik dalam teori , akan berbeda hasilnya dalam kenyataan. Argumen di atas mungkin muncul hanya sebagai argumen murni teoritis . Namun banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa Komunitas Muslim Ahmadiyah , yang telah berdiri di 200 negara di dunia , telah memiliki Khilafat yang telah berkembang selama lebih dari 100 tahun . Sekarang ini telah sampai ada era Khalifah kelima, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ( aba ) , Khalifatul Masih V. Dia adalah penerus Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ( as) — Hadhrat Masih Mau’ud dan Imam Mahdi yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh kitab suci agama sebelumnya. Dan yang dikatakan Nabi (saw ) yang akan datang untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang benar .
Hadhrat Ahmad ( as) adalah seorang Nabi yang tak membawa syariat baru, yang datang hanya untuk meneruskan ajaran tuannya ,yakni Nabi Muhammad (saw ) . Dia tak membawa sesuatu yang baru . Kitab-Nya adalah Al Qur’an dan agamanya Islam. Allah mngutusnya sesuai dengan nubuatan Alquran akan datangnya seorang pembaharu . Nabi Muhammad (saw ) mengatakan bahwa pembaharu ini akan datang pada saat ajaran Islam yang sebenarnya telah terlupakan . Jika Al Qur’an tidak lagi ditaati oleh umat Islam , dan ketika ulama Muslim menyerupai kaum yang terburuk . Pada saat yang demikian Hadhrat Masih Mau’ud dan Imam Mahdi akan datang untuk membangun kembali hubungan antara manusia dan Tuhan dan menjelaskan ajaran Islam yang benar . Hadhrat Ahmad ( as) mengklaim dirinya sebagai pembaharu tersebut. Tanda-tanda ilahi telah terpenuhi dalam mendukung kedatangannya. Ia juga memberikan bukti logis untuk menguatkan klaimnya . Dia menulis lebih dari 80 buku yang menguraikan wacana profesional dan argumen yang menggambarkan wajah asli , indah dan rasional doktrin Islam . Setelah kematiannya , sistem Khilafat — seperti yang dijanjikan dalam Alquran dan Hadis, yang didirikannya berlanjut sampai saat ini. Masih Mau’ud menulis dalam bukunya Syahadatul Qur’an tentang kedatangan Mesias bahwa:
‘Teologi Kristen akan berakhir di tangan Mesias dan ia akan mematahkan salib . Ia ( Nabi Suci ( saw) ) tidak mengatakan bahwa ia akan menghancurkan pemerintahan mereka . Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan Hadhrat Masih Mau’ud tidak ada hubungannya dengan pemerintah duniawi apapun … ‘5 Oleh karena itu , tidak ada khalifah yang pernah mencoba untuk mengambil kekuasaan politik . Tidak ada yang berusaha untuk memaksakan Islam terhadap non-Muslim . Sebaliknya , kekhalifahan telah membangun sebuah wadah di mana Ahmadi Muslim dan lain-lain di seluruh dunia bersatu dengan bimbingan rohani melalui sarana kasih dan damai. Sehingga Khilafat bisa berjalan seiring dengan segala bentuk pemerintahan .
Khalifa Muslim Ahmadiyah saat ini, dalam salah satu khotbahnya , menyatakan:
” Untuk berdirinya Khilafat ini, tidak diperlukan kekerasan ataupun pemberontakan, tidak juga diperlukan perluru dimuntahkan . Khilafat hanya dapat dibentuk dengan rahmat Allah , dan telah ditetapkan melalui berkat-Nya , bukan melalui upaya dan scenario manusia belaka ” 6
Di sini kita contoh langsung bagaimana model Khilafat sejatinya yang telah berdiri: untuk tujuan spiritual , bukan politik. Damai, tidak ada kekerasan . Menghormati semua agama ,taka da pemaksaan. Di Simposium Kedelapan Tahunan Perdamaian di London , Hadhrat Khalifatul Masih V ( aba ) mengatakan :
” Kami selalu menerapkan ajaran Islam, di mana kami berusaha tidak melawan hukum , selalu menjadi yang terbaik bagi negara Anda dan tidak pernah membuat kekacauan , karena hal tersebutlah yang diperlukan sebagai wujud cinta kepada negara. Di mana pun Ahmadiyah berada , tidak peduli dari mana mereka berasal … demi mendapat ridho Allah mereka selalu menghindari segala bentuk kekacauan. Ini adalah sebuah sikap yang tidak hanya menyelamatkan dunia dari kekacauan, tapi juga bagi terbangunnya perdamaian dunia …. Kami Jama’at Muslim Ahmadiyah , bersiteguh pada niatan kamu untuk membangun perdamaian dan mengakhiri kekejaman dengan cahaya ajaran Islam yang benar ”
Penejemah : Fatimah Zahrah
Sumber : http://reviewofreligions.org/5303/islam-democracy-and-khilafat-a-response-to-the-economist/
Apakah Islam bisa berjalan beriringan dengan Demokrasi Liberal. lah bukannya emang islam mengajarkan kebebasan, kemerdekaan kepada umatnya?
lalu bagaimana dengan islam yang mengedapankan kekerasan kepada pemeluk agama yg berbeda paham?
lalu apa sebenarnya yang dilajukan oleh ahmadiyah indonesia untuk mewujudkan demokrasi liberal?