Madina. Tanpa disadari banyak orang, saat ini sebenarnya ada ratusan warga muslim Indonesia yang hidup dalam pengungsian di tanah Indonesia sendiri. Mereka adalah jemaat Ahmadiyah yang sudah sembilan tahun lamanya hidup di Wisma Transito , Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak mengungsi pada 2006, sekitar 500 jemaat Ahmadiyah hidup dalam penderitaan dan ketidakpastian. Dan ini terjadi antara lain dipicu oleh fatwa hasil munas Majelis Ulama Indonesia pada Juli 2005 yang menghakimi Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan pemeluknya murtad.
Sebelum tinggal dan menetap di Wisma Transito, jemaat Ahmadiyah layaknya warga biasanya yang memunyai kehidupan normal. Mereka hidup di sejumlah lokasi di NTB dan secara ekonomi mereka mapan. Namun, karena pandangan keislaman mereka dianggap berbeda dengan pandangan Islam pada umumnya, mereka diusir, rumah mereka dibakar, harta mereka dijarah, dan selanjutnya penderitaan akrab dengan mereka.
Di Wisma Transito yang mirip dengan barak itu, mereka hidup dalam keterbatasan yang tidak manusiawi. Mereka umnya tinggal di ruangan berukuran 3×3 meter bahkan 2×3 meter yang disekat dengan lembar kain atau pemisah seadanya. Ruangan itu diperuntukkan bagi setiap satu keluarga. Di petak sempit dan pengap itu mereka berbagi tidur, memasak, dan melakukan aktifitas keluarga lainnya di ruangan yang sama.
Para pengungsi menyebut lingkungan itu dengan istilah pakumis, yaitu padat, kumuh, dan miskin. Selama di Wisma Transito, mereka hidup bergantung pada uluran tangan pemerintah setempat. Namun, sejak 2007 uluran tangan itu tidak ada lagi.
Berikut petikan wawancara Redaksi Madina Online, Irwan Amrizal, dengan Juru Bicara Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) Yendra Budiana tentang nasib jemaat Ahmadiyah yang mengungsi di Wisma Transito pada Jumat (19/6) di Masjid An Nur, masjid yang dikelola Pengurus Jemaat Ahmadiyah Bukit Duri yang pada beberapa hari terakhir mengalami gangguan keamanan dari kelompok intoleran (baca: Kultur Masyarakat Jakarta itu Mudah Menerima Keberagaman)
Setelah 9 tahun mengungsi di Wisma Transito, bagaimana kondisi jemaat Ahmadiyah yang tinggal di sana?
Masih sama seperti di masa-masa awal. Layaknya barak yang melebih kapasitas, Transito tentu tidak layak bagi kehidupan para pengungsi. Bila dulu sekat ruangan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain hanya dengan lembar kain, kini sekat itu dibuat dari papan. Itupun atas inisiatif dan dana jemaat Ahmadiyah sendiri. Pendek kata, perhatian dari pemerintah masih sangat minim.
Perhatian kepada jemaat Ahmadiyah di Transito justru datang dari kelompok sipil pro-keberagaman dan LSM. Pemerintah pernah beberapa kali menjanjikan ini dan itu kepada pengungsi jemaat Ahmadiyah, seperti akan membuatkan pemukiman dan lain-lain. Tapi sampai kini janji itu belum terealisasi satu pun.
Pemerintah di level mana yang menjanjikan itu?
Pemda Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sembilan tahun tinggal di tempat pengungsian tentu itu waktu yang sangat lama. Bagaimana kehidupan jemaat Ahmadiyah di sana, khususnya anak-anak?
Sebagian anak-anak yang tinggal di sana, dikirim ke saudara-saudara kami yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di wilayah-wilayah itu, anak-anak pengungsi Transito bisa tinggal dan bersekolah dengan layak. Yang saya maksud saudara-saudara itu adalah bukan saudara sedarah, tapi dengan sesama jemaat Ahmadiyah, kami menyebutnya saudara. Yang tinggal di pengungsian sekarang umumnya orang-orang dewasa.
Bagaimana komunikasi anak-anak itu dengan orangtuanya di pengungsian?
Sejauh ini tetap berkomunikasi. Tapi untuk tuntutan sekolah yang lebih baik, anak-anak itu harus dititipkan dengan saudara-saudara kami. Sebab, seperti diketahui, anak-anak itu sering mendapatkan perlakuan diskriminatif di sekolahnya di sekitar Transito. Dengan perlakuan diskriminatif itu anak-anak dikhawatirkan tidak bisa berkembang dengan baik.
Memang ada sebagian kecil anak-anak yang tidak dititipkan karena orangtuanya tidak ingin berpisah dengan anaknya. Selama 9 tahun ini, pengungsi jemaat Ahmadiyah di Transito terus mendapat support dari PB JAI dan anggota yang lain.
Men-support selama 9 tahun itu tentu bukan hal yang mudah…
Pasti. Karenaa bagaimana pun kami harus memenuhi kebutuhan saudara-saudara di Transito. Padahal, sebelumnya jemaat Ahmadiyah yang ada di Transito itu rata-rata orang yang sukses secara ekonomi. Namun karena mendapat tekanan, mereka kemudian berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian dari mereka bahkan sudah berpindah sekitar 7 tempat. Karena lelah pindah dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya memutuskan tinggal di Transito. Yang tinggal di Transito, tidak hanya berasal dari Lombok Timur, juga dari Lombok Barat.
Saat ini, ada berapa jiwa yang tinggal di Transito?
Mungkin sekarang sekitar 500 jiwa. Tapi ada juga pengungsi yang kini hidup di luar Transito.
Mereka yang hidup di luar Transito tidak mendapat tekanan?
Mereka yang tinggal di Kota Mataram umumnya aman. Yang mendapat tekanan biasanya jemaat Ahmadiyah yang tinggal di luar kota atau perdesaan.
Selama tinggal di Transito, apa aktivitas para pengungsi?
Normal saja. Seperti kehidupan biasa. Ada yang jualan, ada yang berdagang, atau umumnya wiraswasta. Sebagian lain melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Dan mereka menjual barang dagangan mereka ke masyarakat non-Ahmadiyah.
Itu artinya, ketika berdagang mereka bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang. Dan apa barang dagangan mereka dibeli masyarakat?
Iya, barang mereka dibeli masyarakat umum. Dan hal ini menarik bagi kami. Karena pada saat mereka jualan ke luar, kebencian terhadap jemaat Ahmadiyah itu ternyata hanya muncul sesaat saja. Artinya, kita bisa melihat bahwa apa yang dianggap dengan kebencian kepada jemaat Ahmadiyah itu tidak mendalam laten.
Pada saat provokasi kebencian kepada jemaat Ahmadiyah menurun, misalnya, pada saat yang sama tidak ada masalah antara masyarakat dengan jemaat Ahmadiyah. Berbeda bila kebencian terhadap jemaat Ahmadiyah itu muncul dari hati. Tentu kebencian itu sulit untuk dihilangkan bahkan mungkin saja terus tumbuh. Masyarakat sadar bahwa jemaat Ahmadiyah itu berbeda dengan umat Islam pada umumnya, tapi mereka tidak menghakimi atau melakukan kekerasan.
Jadi, dengan kata lain, berdagang itu bisa menjadi jembatan untuk menyatukan masyarakat dengan jemaat Ahmadiyah ya….
Iya. Bahkan sekarang jemaat Ahmadiyah sering terlibat untuk kegiatan-kegiatan sosial yang ada di sekeliling Transito, seperti kerja bakti dan gotong royong. Masyarakat sekitar juga biasa saja dengan jemaat Ahmadiyah.
Namun, proses penyatuan masyarakat dengan jemaat Ahmadiyah bukan tanpa kendala. Tak hanya jemaat Ahmadiyah distigma sebagai orang sesat, masyarakat sekitar yang bersahabat dengan jemaat Ahmadiyah pun distigma sebagai sahabat orang sesat. Karena stigma itu, masyarakat takut bersahabat dengan jemaat Ahmadiyah.
Stigma itu datang dari mana?
Stigma itu datang dari MUI, kan. Datangnya pasti dari otoritas keagamaan, baik MUI daerah maupun MUI Pusat. Sebab, sebelum keluar fatwa sesat dari MUI, hubungan masyarakat dengan jemaat Ahmadiyah biasa saja. Masyarakat sudah tahu kok bahwa kegiatan jemaat Ahmadiyah itu salat, mengaji, dan lain-lain. Dan masyarakat biasa saja dengan kegiatan itu. Stigma dari otoritas keagamaan itu yang kemudian merusak hubungan-hubungan sosial.
Tadi anda mengatakan bahwa pengungsi Transito itu rata-rata orang yang sukses secara ekonomi. Lalu, bagaimana nasib properti mereka, seperti rumah dan tanah?
Dijarah dan dibakar. Hilang, tidak jelas. Banyak juga yang ditinggalkan begitu saja.
Pengurus PB JAI tidak mengurus kepemilikannya lagi?
Sangat sulit secara pendataan. Sebab, surat rumah, surat tanah, dan surat-surat penting lainnya sudah hilang. Parahnya lagi, mereka saat ini tidak diberikan KTP. Para pengungsi ini hidup di sebuah negara, tapi tanpa identitas.
Tadi juga anda mengatakan bahwa Pemda NTB tidak memberikan perhatian terhadap para pengungsi di Transito. Bagaimana dengan Pemerintah Pusat?
Selama Pemerintahan SBY tidak perhatian yang diberikan. Kami juga tidak melihat ada political will dari Presiden SBY untuk menyelesaikan permasalahan di Transito. Kini, kami berharap Presiden Jokowi mau ikut menyelesaikan permasalahan ini. Dan kami optimistis Presiden Jokowi mau membantu.
Sudah ada pendekatan terhadap Presiden Jokowi?
Kami sudah melakukannya dengan jalur yang kami bisa akses. Semoga dalam setahun ke depan nasib pengungsi Transito bisa lebih baik lagi.
Bagaimana komunikasi dengan Menag soal Transito?
Kami sudah beberapa kali bertemu dengan Menag, seperti dalam forum open house yang diadakan Menag saat Hari Raya. Dalam pertemuan-pertemuan itu, beliau menjanjikan. Tapi implementasinya yang kami tunggu.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, Menag menjanjikan apa?
Menag menjanjikan akan menyelesaikan permasalahan soal Transito. Seperti apa riilnya penyelesaian itu, belum clear menurut kami. Di luar solusi yang belum clear, kami berharap Menag mau mengunjungi Transito. Bila itu terjadi, itu hal yang luar biasa bagi kami.
Pengurus PB JAI sudah mengundang Menag untuk berkunjung?
Sudah. Tapi mungkin jadwal beliau masih belum memungkinkan untuk hadir di Transito. Selain hadir di Transito, kami juga mendorong Menag agar mau hadir di tempat pengungsian Syiah Sampang di Sidoarjo. Lebih dari itu, yang kami inginkan bukan ceremoninya, tapi solusi yang lebih strategis yang bisa menyelesaikan permasalahan ini.
Namun, kami juga tidak ingin menyelesaikan permasalahan ini dengan merelokasi di tempat yang tidak diharapkan para pengungsi. Misalnya, merelokasi ke tempat yang jauh dari pusat-pusat ekonomi atau menjauhkan mereka dari masyarakat.
Tempat yang diharapkan para pengungsi Transito yang seperti apa?
Kami mau dipindahkan pada lokasi yang kami bisa menyatu dengan masyarakat. Kenapa, karena dengan menyatu dengan masyarakat tentu membuat kami lebih kuat, nyaman, dan merasa aman sehingga bisa saling mendukung satu sama lain. Pengungsi Transito itu harus memulai hidup dari nol, maka sudah pasti membutuhkan bantuan masyarakat untuk memulai kehidupan yang normal lagi. Soal di mana lokasinya, kami serahkan sepenuhnya kepada pemerintah.
Terakhir, beberapa bulan terakhir, Kemenag tengah menggodok RUU PUB. Bagaimana tanggapan PB JAI?
Saat ini kan baru publikasi tentang RUU itu, tapi draftnya belum diketahui yang mana.
Anda sudah pernah membaca naskahnya?
Saya bahkan belum sama sekali melihatnya. Saya cek ke teman-teman yang lain juga belum mendapatkannya. Jika kamu sudah membacanya, kami tentu bisa mengkritisi mana poin-poin yang tidak menguntungkan bagi kelompok minoritas.
Lebih dari itu, apa iya kita butuh UU baru. Bukankah sudah ada UU yang melindungi umat beragama. Namun, masalahnya, UU itu tidak diterapkan oleh aparatur pemerintah.
Tapi UU PUB ini diklaim lebih memberikan jaminan perlindungan….
Karena kami belum membaca naskahnya, kami belum bisa memberikan komentar. Tapi kami yakin yang lebih penting adalah aparatur pemerintahnya, dibandingkan dengan UU itu sendiri.
Artinya, tidak perlu UU baru?
Sebagai contoh, mengapa jemaat Ahmadiyah di satu tempat merasa aman, tapi di tempat yang lain tidak aman. Di Wonosobo, Jawa tengah, misalnya, jemaah Ahmadiyah hidup dengan aman. Bupati Wonosobo bahkan sering hadir dalam forum yang kami adakan. FPI di sana juga tidak seperti di Jawa Barat. Artinya, di Wonosobo dan di Jawa Tengah secara umum jemaat Ahmadiyah diterima. Padahal RUU PUB belum ada, kan?
Dengan demikian yang terpenting adalah sikap aparatur negara yang tunduk pada konstitusi dan menjalankannya, sehingga mereka bisa berbuat adil dan tegas kepada kelompok-kelompok yang intoleran. Kami kira, itu yang lebih penting.