Madina. Masjid An Nur yang dikelola Jemaat Ahmadiyah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, tiba-tiba jadi isu nasional. Pada Jumat (12/9) sekelompok massa dengan atribut Front Pembela Islam (FPI) dan segelintir orang setempat mendatangi aset jemaat Ahmadiyah Bukit Duri itu. Mereka menyuruh jemaat Ahmadiyah yang ada di dalam untuk keluar dan menghentikan salat Jumat.
Jemaat Ahmadiyah mencoba untuk bernegosiasi. Namun, kata sepakat tak kunjung didapat. Khawatir terjadi bentrokan fisik, jemaat Ahmadiyah mengalah. Mereka keluar dan menggelar salat Jumat di tengah jalan, tepat di depan masjid An Nur. Tindakan intoleransi anggota FPI dan simpatisannya itu dipertontonkan persis beberapa hari sebelum bulan Ramadhan tiba. (baca:Kasus Pelarangan Shalat Jumat di Bukit Duri).
Beberapa minggu sebelum peristiwa itu terjadi, Juru Bicara Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) Yendra Budiana menyempatkan salat Jumat di bangunan nomor 13 itu. Kala itu, cerita Yendra, usai melaksanakan salat Jumat, segelintir orang mendatangi masjid An Nur. Mereka mempersoalkan keberadaan jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri. Bagi mereka, keyakinan yang dianut jemaat Ahmadiyah itu berbeda dengan keyakinan umum komunitas Muslim di Bukit Duri.
Motor kelompok yang mempersoalkan keberadaan jemaat Ahmadiyah Bukit Duri itu adalah Ustad Ahmad Syakir, pemuka agama dan orang lama di Bukit Duri. Dia dan segelintir orang setempat mempengaruhi masyarakat untuk menolak dan membenci jemaat Ahmadiyah. Ada yang terpengaruh, tapi banyak yang tidak mempersoalkan keberadaan jemaat Ahmadiyah.
“Pada intinya mereka tidak suka dengan keberadaan Ahmadiyah di sini. Mereka juga takut kelompok Islam radikal dari luar mempermasalahkan kenapa Ustad Syakir tidak bisa mengatasi kehadiran Ahmadiyah yang ada di sini,” ujar Yendra kepada Redaksi Madina Online Irwan Amrizal Jumat (19/6) menirukan ucapan Ustad syakir saat itu. “Mungkin yang dimaksud Ustad Syakir kelompok Islam radikal dari luar itu FPI, yang melarang kami salat Jumat pada 12 Juni lalu”.
Diakui Yendra, sejak jemaat Ahmadiyah mengalami persekusi pada 2005 di banyak wilayah, jemaat Ahmadiyah di Jakarta masih dibilang beruntung bila dibanding jemaat Ahmadiyah yang berada di Jawa Barat, misalnya. Ini, lanjutnya, tak lepas dari karakter masyarakat Jakarta yang terdidik, mudah mengakses media, dan bisa menerima keragaman. Hal inilah yang membuat jemaat Ahmadiyah di Jakarta secara umum tidak menghadapi masalah berarti.
Kepada Redaksi Madina Online, pria yang merangkap jabatan sebagai Seketaris Pers PB JAI itu menuturkan bagaimana hubungan jemaat Ahmadiyah dengan warga sekitar dan langkah-langkah yang tengah ditempuh Pengurus Jemaat Ahmadiyah Bukit Duri terkait pelanggaran kebebasan beragama yang dialami jemaat Ahmadiyah Bukit Duri. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di dalam masjid An Nur itu.
Bagaimana hubungan jemaat Ahmadiyah Bukit Duri dengan warga secara umum?
Beberapa hari yang lalu, Pak RT di sini menyatakan di salah satu televisi swasta bahwa warga secara umum tidak ada masalah dengan jemaat Ahmadiyah.
Di televisi mana?
Di TV One untuk salah satu program. Dan saat bicara dengan kami, Pak RT mengharapkan hubungan yang harmonis antara komunitas Ahmadiyah dengan komunitas yang lain di sini. Kami kira Pak RT sebagai pemimpin di wilayah terkecil di sini sudah bertindak sebagaimana mestinya.
Persisnya kami tidak tahu. Barangkali sudah dilakukan.
Sudah berapa lama jemaat Ahmadiyah ada di Bukit Duri?
Kami sudah ada di sini 1980-an. Dan bangunan yang sekarang menjadi masjid An Nur ini sudah lama juga digunakan untuk salat, mengaji, baik untuk anak-anak sampai orang dewasa. Artinya, warga sudah sangat tahu dengan keberadaan Ahmadiyah di sini. Hubungan kami dengan warga juga biasa saja. Artinya, kami menghargai warga dengan keyakinannya, dan begitu juga sebaliknya. Jadi, kehidupan kami dan warga normal-normal saja.
Apa jemaat Ahmadiyah di sini terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial?
Kami, misalnya, selalu terlibat ketika warga di sini terkena musibah banjir. Seperti diketahui, sebagian area di sini lebih rendah dan karena itu sering dilanda banjir. Saat musibah banjir terjadi, kami selalu memberikan sembako dan terlibat di dapur umum. Atau saat kesulitan air bersih, masjid ini terbuka untuk warga yang butuh.
Artinya, warga tahu bahwa kami adalah Ahmadiyah, tapi hubungan antara kami dengan warga sangat baik dan tidak ada masalah. Dan bayangkan itu berlangsung sejak tahun 1980. Bila, dalam beberapa tahun terakhir, kami dianggap bermasalah, tentu muncul pertanyaan di sana. Yang bermasalah itu siapa.
Jika kemudian keberadaan Ahmadiyah di sini dipersoalkan oleh Ustad Syakir itu karena apa?
Pada intinya mereka tidak suka dengan keberadaan Ahmadiyah di sini. Mereka juga takut kelompok Islam radikal dari luar mempermasalahkan kenapa Ustad Syakir tidak bisa mengatasi kehadiran Ahmadiyah yang ada di sini.
Apa Ustad Syakir juga mempersoalkan izin Masjid An Nur, seperti umumnya rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah yang sering dipersoalkan?
Sejauh ini, kami tidak pernah mendengar soal izin yang dipersoalkan. Yang mereka persoalkan hanya keberadaan jemaat Ahmadiyah di sini dan mereka tidak ingin ada keyakinan yang berbeda dengan mereka. Itu saja.
Kalau dilihat dalam konteks yang luas, jemaat Ahmadiyah kan sudah mengalami persekusi secara massif sejak 2005. Apa di sini kena dampaknya?
Kami kira lebih karena soal SKB (Surat Keputusan Bersama; red) yang kemudian menimbulkan banyak masalah. Muncul salah paham tentang SKB yang seolah-olah larangan dari pemerintah untuk melaksanakan ibadah. Padahal dalam SKB tidak ada larangan itu.
Persekusi itu umumya diikuti dengan stigma terhadap jemaat Ahmadiyah. Apakah stigma itu berdampak pada warga di sini?
Secara umum, di Jakarta kecil. Yang sangat terdampak di wilayah Jawa Barat. Dan itu paling signifikan. Kalau di Jakarta, mungkin karena masyarakatnya terdidik, akses media mudah, dan kultur masyarakatnya yang mudah menerima keberagaman.
Dan juga yang lebih penting adalah kepala daerah yang tegas. Tegas dalam artinya setia pada konstitusi dan tidak bermain politik dalam isu-isu keagamaan, umumnya kepala daerah yang seperti itu tidak membawa masalah.
Dibanding Jumat lalu (12/6), Jumat ini (19/6) tidak tampak massa yang melarang jemaat Ahmadiyah salat Jumat di sini. Dan tadi, salat Jumat bisa dilaksanakan dengan aman dan khusyuk. Tapi bagaimana hari-hari ke depan? Apa jemaat Ahmadiyah di sini masih khawatir?
Kami optimistis pemerintah, dalam hal ini kepolisian lebih siap dan lebih tegas. Jika kepolisian lebih siap dan lebih tegas, umumnya konflik berlatar perbedaan cara pandang agama bisa diredam. Selanjutnya, tugas pemerintah daerah. Kami sudah mengirim surat ke Walikota Jakarta Selatan untuk membuka ruang dialog dan meminta mereka untuk memfasilitasi mengatasi permasalahan ini dengan pendekatan kultural.
Komunikasi dengan pihak kepolisian di level mana? Level Polsek Tebet atau Polres Jakarta Selatan?
Kami sudah berkomunikasi dengan dua level kepolisian itu. Juga support dari Polda Metro Jaya. Dari komunikasi itu, pihak kepolisian menyampaikan bahwa mereka akan bekerja sesuai dengan tugas dan wewenang mereka. Pada intinya mereka akan menindak pihak-pihak yang yang melanggar hukum. Jika tidak ada tindakan yang melanggar hukum, pihak kepolisian berjaga-jaga untuk antisipasi saja.
Tapi bukankah menurut UU berdemonstrasi di depan tempat ibadah itu dilarang? Dengan begitu, bukankah seharusnya pihak kepolisian menindak tegas pelanggaran itu?
Ya, itu tantangan bagi pihak kepolisian. Tapi, untuk menjalankan tugasnya itu pihak kepolisian juga perlu didukung oleh kita semua, khususnya para pemuka agama. Para pemuka agama harus memberikan pencerahan kepada para pengikutnya untuk taat pada UU.
Lalu, bagaimana komunikasi Pengurus Jemaat dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta?
Kami sudah melakukan komunikasi dengan Ketua FKUB DKI Jakarta dan beliau mengatakan sedang mencari jalan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kebetulan beliau dalam beberapa hari terakhir sedang kurang sehat. Kita doakan semoga beliau lekas sembuh dan bisa membantu menyelesaikan masalah ini.
Hasil komunikasi dengan pihak kotamadya Jakarta Selatan sudah ada?
Rencananya pekan depan, Insya Allah, kami dijanjikan untuk bertemu dan berdialog dengan Walikota. Sebelum kejadian intoleransi Jumat itu, kami sebenarnya sudah melayangkan surat untuk beraudiensi dengan Pak Ahok. Selain ingin bersilaturahim, kami juga ingin menyampaikan laporan kegiatan kami, khususnya, yang di Jakarta.
Artinya, segala upaya sudah ditempuh Pengurus Jemaat Ahmadiyah Bukit Duri…
Semua upaya untuk menyelesaikan persoalan ini, sejauh ini sudah kami lakukan. Tadi Anggota Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat juga datang ke sini dan memberikan dukungan pada kami.