Mobil itu tidak menuju ke kota melainkan masuk ke arah Cepogo menuju Candisari, Kec. Ampel. Perjalanan dari kaki Gunung Merbabu ke Getasan ditempuh dalam waktu dua jam. Rute jalan yang berputar dan monoton terasa tidak nyaman.
Danau Rawa Pening, di Tuntang Kabupaten Semarang di kejauhan tampak terlihat dari Puncak Kenteng Songo, puncak tertinggi Gunung Merbabu di ketinggian 3142Mdpl. Begitu juga Gunung Merapi yang mengepulkan asap setiap saat, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gn. Sumbing dan Gn. Sundoro yang kelihatan sangat jelas dan indah, seolah-olah menantang untuk didaki. Gunung Telomoyo dan Ungaran tampak lebih dekat lagi. Dari kejauhan arah timur tampak Gunung Lawu dengan puncaknya yang memanjang.
baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/jamiah-ahmadiyah-indonesia/feed/” number=”3″]
Setelah sampai di Puncak Kenteng Songo, rombongan Jamiah mulai mengabadikan sunrise dan pemandangan di sekelilingnya. Beberapa di antaranya tampak bergerak ke berbagai sudut untuk mengambil view yang menarik. Puncak Kenteng Songo pagi itu memang dipadati oleh para pendaki. Jumlahnya terhitung ratusan, bahkan sebagian lagi masih terus berdatangan dari arah Wekas dan Selo. Di puncak terdapat batu kenteng alias lumpang dengan jumlah 9 buah menurut penglihatan paranormal.
Setelah hampir dua jam berada di Puncak Merbabu, rombongan mahasiswa Jamiah kemudian membentangkan spanduk yang sudah disiapkan dan mengabadikan momen langka ini, Minggu (17/4/2016) pukul 07.35 WIB. Setelah doa bersama, rombongan bergerak menuruni gunung Merbabu lewat jalur menuju Selo, Boyolali. Jalur yang terus-menerus menurun memang memerlukan stamina yang prima. Jalur ini menjadi pilihan yang menarik karena akan melewati padang rumput dan hutan Edelweis, juga bukit-bukit berbunga yang sangat indah dan sedap dipandang. Pemandangan ini sangat bagus sehingga kita akan lupa dengan segala kelelahan, kedinginan dan rasa lapar.
Di sepanjang jalan rombongan juga dapat menyaksikan Gunung Merapi yang kelihatan sangat dekat dengan puncak yang selalu mengeluarkan asap. Kita akan menuruni dan mendaki beberapa gunung kecil yang dilapisi rumput hijau tanpa pepohonan (sabana). Tidak terdapat mata air dan pos peristirahatan di jalur ini. Kabut dan badai sering muncul dengan tiba-tiba, sehingga sangat berbahaya untuk mendirikan tenda. Jalur menuju Selo ini sangat banyak dan kini dilengkapi rambu penunjuk jalan, sehingga sangat bermanfaat bagi para pendaki. Beberapa marka di antaranya: Watu Lumpang, Pos 3 Batu Tulis, Pos Kota/Simpang Macan dan Pos 1 dok Malang.
Untuk turun gunung, rombongan Jamiah kembali dipencar ke dalam beberapa kelompok. Kelompok yang di depan adalah terdiri dari 2 mahasiswa Jamiah : Nasir Ahmad Tahir dan Gunawan, khuddam dan 2 ghair. Disusul di belakang adalah dua orang pembina, Mln. Ridwan Buton dan Mln. Rakeeman R.A.M. Jumaan. Di belakangnya lagi tampak Teguh Mubarak Ahmad dan Fajar Kautsar. Pembina memutuskan turun lebih awal karena akan memastikan keamanan rombongan.
Setelah hampir lima jam, akhirnya semua peserta tiba dengan selamat di Desa Genting, Selo, Boyolali. Rombongan berkumpul di basecamp dekat masjid. Di tempat ini rombongan melepas lelah dan santap siang sambil menunggu mobil jemputan dari Getasan. Hingga dua jam menunggu, akhirnya kendaraan yang sama ketika mengantar ke Wekas saat keberangkatan itu tiba juga. Rombongan kemudian bergegas naik dan mobil melaju menuruni kaki gunung ke arah jalan raya kecamatan Selo. Ternyata, jarak dari kaki gunung ke Selo lumayan jauh. Jalanan di sini pun sangat rusak. Mobil itu tidak menuju ke kota melainkan masuk ke arah Cepogo menuju Candisari, Kec. Ampel. Perjalanan dari kaki Gunung Merbabu ke Getasan ditempuh dalam waktu dua jam. Rute jalan yang berputar dan monoton terasa tidak nyaman. Rute itu seakan selalu terulang: belok kiri, lalu belok kanan begitu seterusnya. Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Rombongan yang ada di bak terbuka segera mengeluarkan matras sebagai penutup kepala. Mereka menghalangi guyuran air yang seolah ditumpahkan dari langit dengan derasnya.
Tidak terasa akhirnya rombongan tiba juga di Getasan menjelang pkl. 17.00 WIB. Mereka disambut dengan wedang jahe panas yang segera menghilangkan dingin dan dahaga. Tuan rumah juga sudah menyiapkan santap siang plus santap malam. Sayur tumpang khas Salatiga dan soto ayam menjadi primadona. Sementara untuk lalapannya, ada Adas alias “si rambut butho” yang biasa terdapat di daerah pegunungan.
Beberapa mahasiswa setelah itu tampak membersihkan diri di rumah-rumah anggota mengingat pipa air di kamar mandi masjid tidak mengalir. Mahasiswa yang akan ditempatkan di Solo dan Tawangmangu lebih dulu bersiap-siap karena akan diantarkan oleh Mubaligh Wilayah ke dua kota tersebut. Termasuk dua orang dosen pembina diantarkan ke Terminal Tingkir , Salatiga untuk melakukan perjalanan kembali ke Bogor dengan bus malam.
Akhirnya, dengan bus malam Raya dua orang pembina kembali ke Bogor pkl. 18.45 WIB. Malam itu mereka berdua melewatkannya dengan istirahat di atas kendaraan. Minggu (18/4/2016) pagi pukul 06.00 WIB, bus tersebut akhirnya tiba di Terminal Baranangsiang, Bogor. Setelah berganti kendaraanakhirnya kedua pembina melanjutkan perjalanan menuju Kampus Mubarak.
Bagian 1 | Bagian 2 | bagian 3
Kontributor : Rakeeman R.A.M. Jumaan
Editor : Talhah Lukman Ahmad