DALAM kunjungannya ke Singapura, Ḥaḍrat Mirzā Masrūr Aḥmad atba., Khalīfah V Aḥmadiyyah menyampaikan pidato perdamaian pada Peace Symposium Singapore 2013 yang diselenggarakan oleh Ahmadiyya Muslim Community Singapore. Pada kesempatan itu, sejumlah tokoh-tokoh masyarakat dari negara-negara ASEAN hadir dan menyampaikan kesan dan pesan setelah mengikuti rangkaian acara mulai dari simposium, khoṭbah jumat siaran langsung MTA, dan pertemuan mulaqat dengan Yang Mulia Ḥuḍūr atba.. Di bawah ini [adalah] sebagian kesan dan pesan tamu-tamu VVIP yang berasal dari Indonesia, sebagai berikut:
1. Prof. DR. M. Qasim Mathar (Direktur Pasca Sarjana UIN Makassar)
MENDAPAT kehormatan duduk di samping Khalīfah V Aḥmadiyyah di acara Resepsi Makan Malam di Singapura 26 Sep 2013, beberapa hal berikut saya bilang kepada beliau:
“First of all, I would like to express my highest gratitude on the invitation of this dinner party, organized by the Ahmadiyya Muslim Community in Singapore. I fail to hide my joyfulness being here, at this important and respected dinner party.
“May Allah bestow His blessing on you and your precious as well as continous activities. I sincerely hope that the presence of Ahmadiyah will be beneficially manifested by greater outcome to wider population in the world.
“With Allah’s willing, I hope in the near future, the Honoroble Hadhrat Khalifatul Masih Mirza Masroor Ahmad will have the opportunity to visit Indonesia, a country that has recognized the presence of Aḥmadiyyah since 1940s (nineteen forties). I believe that the presence of Aḥmadiyyah in Indonesia will expand our insight and perspective, as God’s people in this vast earth.
“We need to put more effort and help each other in education field. By providing adequate education, better young moslem generation will flourish, those who wisely well accept that the different school, thought, and stream are the inherent and nature of moslem’s body. As Prophet Muhammad said: moslem is similar to a building, its parts support each other.
“Finally, I pray May Allah always be the Caliph’s shield, grant the Caliph and all of us with His protection. Again, I am very grateful of the Aḥmadiyyah consideration on me.”
Selain itu, kami juga berbincang sedikit tentang keluarga masing-masing. Saya punya 9 orang anak, sedang Khalīfah punya 2 orang. Dan, bagaimana anak-anak itu sekarang, masih kuliah, sudah berkeluarga, dan kerja di mana. Tentu senang mendengar beliau juga berkomentar tentang 8 tahap hidangan makan malam kita malam itu.
“Too much time. Kita harus patuh dengan waktu lama untuk makan malam di hotel…,” kata beliau.
Khalīfah juga bercerita pendek, setelah saya tanya, tentang bagaimana beliau di rumah, “Selesai salat subuh, beliau berolahraga dengan mengayuh sepeda sport di rumah beliau, istirahat-minum, tidur sekitar sejam, bangun, membersihkan diri dan sarapan, lalu bekerja sesuai agenda yang sudah disiapkan.”
Beliau juga bilang, setelah saya tanya berapa umat Aḥmadiyyah di dunia, “More than 150 million,” kata Khalīfah. Akhirnya, saya berdoa bagi keselamatan perjalanan beliau, khusus ke Australia pada hari Ahad ini. Beliau berdiri dan kami ikut berdiri, acara makan malam selesai. Demikian.
2. K.H. Imam Azis (Ketua PBNU Jakarta)
“Salam. Kepemimpinan Khalīfah Jemaat Aḥmadiyyah sangat efektif untuk mewujudkan masyarakat Islam yang kuat, baik dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, tanpa harus terlibat dalam politik. Oleh karena itu, gagasan Ḥaḍrat Mirzā Masrūr Aḥmad untuk sebuat tatanan sosial ekonomi dunia yang adil bukan suatu hal yang mustahil. Gema dan imbauan masyarakat yang adil disertai cinta dan kedamaian, dapat diciptakan tanpa hiruk-pikuk polemik politik. Saya sungguh terkesan dan mempunyai konsern yang sama dengan cita-cita jemaat Aḥmadiyyah.
3. Drs. Pitoyo (CEO Koran “Tribun Jabar” Bandung)
“Saya merasa kagum dengan Khalīfah Mirzā Masrūr Aḥmad, ekspresi wajahnya tenang dan senyum, memberi kedamaian bagi siapa saja yang bertemu, termasuk saya. Saya baru menyadari betapa perlunya seorang pemimpin yang selalu menyuarakan perdamaian dan mendengarkan suara hati jemaahnya dari satu negara ke negara lain. Islam akan menjadi rahmat bagi semua orang. Secara pribadi saya bangga dan bersyukur bisa bertemu dengan Khalīfah dan bisa mengajukan 3 pertanyaan yang selalu menarik perhatian saya yakni:
a) Mengapa Yang Mulia Mirzā Ghulām Aḥmad mengaku sebagai Nabi bukan Mujadid?
b) Apa yang menyebabkan Yang Mulia Mirzā Ghulām Aḥmad merasa dirinya menjadi Imam Mahdi?
c) Mengapa Aḥmadiyyah melarang ‘Jihad’ pada umatnya?
“Ketiganya dijawab dengan lengkap oleh Khalīfah.
“Jawaban dan foto-foto Khalīfah akan menjadi bahan disertasi saya di fakultas ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, dengan judul, «Konstruksi Makna Nabi Baru dan Wafatnya Isa Almasih; Jemaat Aḥmadiyyah pada Umat Islam di Kota Bandung, tahun 2008—2013».
“Di tengah Jemaat Ahmadiyah di Singapura kemarin selama 3 hari, saya bertanya dalam hati kenapa di Indonesia demikian keras umat Islam yang lain menyikapi Ahmadiyah, padahal saya dengar sendiri tidak ada syahadat dengan tambahan kalimat yang lain, sebagaimana ditudingkan Menteri Agama. Saya begitu yakin dengan motto yang diambil dari Al-Qur’ān, ‘Love for All, Hatred for None.’ Jamaah Aḥmadiyyah menjadi potret Islam yang damai di dunia.”
4. Firman Sebastian Priatno (Protestan; Pegiat Komunitas Lintas Iman “Jakatarub” Bandung)
“Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan menghadiri simposium Ahmadiyya di Singapore, merupakan suatu kehormatan untuk dapat ikut serta dan menyaksikan langsung bahkan berjumpa dengan His Holiness.
“Saya sangat terkesan dengan pesan yang dipaparkan oleh His Holiness sebagai figur religius yang disegani di dunia, terutama dengan semangatnya dalam meluruskan kembali pandangan dunia mengenai citra Islam sebagai agama yang damai.
“Sebagai seorang non Muslim (Nasrani) dan penggiat keberagaman/pluralisme, saya sangat terkejut ketika menemukan kesamaan isi pesan His Holiness yang mewakili seluruh gerakan Ahmadiyya ini, dengan isi pesan yang saya dapatkan di ruang lingkup institusi keagamaan saya (WCC/World Council of Churches); bahwa, institusi keagamaan harus memfokuskan aktivitas ke arah Social Justice and Peace sebagai intisari spiritualitas; yang senantiasa mengingatkan kita semua bahwa Yang Empunya seluruh kekayaan alam di dunia ini hanyalah Allāh semata, kita (umat-Nya) hanya diberi kepercayaan untuk mengelolanya dalam rangka menghasilkan kemakmuran bagi sesama, bukan untuk dikuasai segelintir orang yang malah mengakibatkan kesenjangan bahkan merenggut ruang hidup bersama.
“Tema ‘Love for All, Hatred for None” dari Ahmadiyya dan isi pesan His Holiness tersebut sangat relevan dan selaras dengan tema ‘God of Life, Lead us to Justice and Peace’ dari World Council of Churches. Sangat penting dan saya berharap ada kerjasama antara kedua institusi tersebut yang dapat termanifestasi nyata, sebagai bukti bahwa kita bisa bersinergi dalam perbedaan sekaligus sebagai ajakan terhadap semua umat masing-masing yang tergabung ke dalamnya untuk memfokuskan energi mereka bukan pada privatisasi keselamatan, namun pada tujuan2 yang mencipta ruang untuk perdamaian dan keadilan.
5. Ahmad Najib Burhani, Ph.D. (Pegiat di Maarif Institute Jakarta)
“Sejak saya mulai menulis disertasi di University of California, Santa Barbara (UCSB) tentang Aḥmadiyyah pada awal tahun 2011 yang lalu, saya selalu berharap untuk bisa bertemu dengan dengan Khalīfah Aḥmadiyyah, Mirzā Masrūr Aḥmad. Harapan itu baru terwujud beberapa minggu setelah saya menyelesaikan disertasi dan secara resmi menjadi Doktor dalam kajian agama.
“Saya sangat bersyukur diundang hadir ke Peace Symposium, ṣalāt jumat bersama Ḥuḍūr, dan berdialog langsung dengan Ḥuḍūr di Singapura.
“Ada tiga kegiatan utama yang saya ikut dengan penuh perhatian selama berada di Singapura, yaitu:
1. Peace Symposium pada hari Kamis (26/9),
2. Mendengarkan secara langsung khoṭbah jumat yang disampaikan Ḥuḍūr dan ṣalāt jumat yang diimami Ḥuḍūr pada hari Jumat (27/9); dan,
3. Mulaqat atau bertemu langsung dan berdialog dengan Ḥuḍūr pada hari Sabtu (28/9).
“Meski saya bukan seorang Ahmadi, namun saya bisa merasakan kharisma dari Ḥaḍrat Mirzā Masrūr Aḥmad. Kharisma itulah yang saya lihat mampu menyatukan pengikut Aḥmadiyyah di seluruh dunia, memperkokoh keberadaan Aḥmadiyyah sebagai organisasi keagamaan di dalam Islam, dan membangun ketaatan beragama yang luar biasa bagi pengikut gerakan ini.
“Jika dibandingkan antara kharisma Ḥuḍūr dengan kharisma ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang paling khōs sekalipun, maka kharisma Ḥuḍūr akan terlihat jauh lebih tinggi.
“Hal lain yang cukup mengesankan saya adalah upaya Aḥmadiyyah untuk menunjukkan keindahan Islam, keberagamaan yang penuh disiplin, dan pengorbanan materi demi agama. Tentang keindahan dan kedamaian Islam ini, misalnya, ditekankan berkali-kali oleh Khalīfah dalam khoṭbah jumat dan mulaqat.
“Meski Aḥmadiyyah mendapat tekanan dan serangan di mana-mana, mereka diminta tetap menunjukkan semangat ‘Love for All and Hatred for None’. Slogan ini pun bisa ditemukan hampir di seluruh tempat pada acara simposium ini. Kecintaan orang-orang Aḥmadiyyah kepada Khalīfah dan semangat mereka berkorban demi agama ditunjukkan dengan berbondong-bondongnya mereka ke Singapura untuk menghadiri acara ini. Sementara kedisiplinan ditunjukkan dalam acara-acara dan dalam mengatur seluruh peserta yang hadir di simposium ini.
“Terakhir, kesediaan Khalīfah untuk berdialog dengan kami adalah cukup memuaskan dan membahagiakan. Meski tak semua pertanyaan saya menemukan jawaban seperti yang saya harapkan, seperti mengenai family life dari Ḥuḍūr, namun secara umum apa yang ditanyakan oleh peserta yang hadir mendapat jawaban yang jelas.
“Meski beberapa pertanyaan cukup sensitif, Ḥuḍūr bersedia memberikan jawaban dengan dingin. Pertanyaan yang cukup sensitif itu di antaranya adalah tentang sistem khilafah di Aḥmadiyyah, reformasi keagamaan di gerakan ini, dan kema’shuman (infallible) Khalīfah.
“Secara singkat, Ḥuḍūr menegaskan bahwa sistem khilafah itu berbeda dari demokrasi karena khilafah hanya untuk urusan agama. Tentang reformasi keagamaan di Ahmadiyah, Ḥuḍūr mengatakan bahwa apa yang diajarkan oleh Aḥmadiyyah adalah ajaran dari Allāh dan Rasūlu′l-Lāh saw.; dan karena itu, visi ini tak perlu di reformasi.
“Ḥuḍūr menegaskan bahwa jika Aḥmadiyyah itu harus berubah, maka itu menunjukkan bahwa ‘We fear more to people than to Allāh.’
“Tentang kema’shuman Khalīfah, Ḥuḍūr menggarisbawahi bahwa ma’shum itu hanya berlaku untuk Nabi, bukan orang lain.”
6. Dr. Mohammad Sodik (Dosen UIN Yogyakarta)
“Selamat atas suksesnya simposium perdamaian di tengah-tengah suburnya rasa permusuhan. Jemaat menunjukkan eksistensinya sebagai pioneer ‘agama cinta’, cinta Allāh, rasūlu′l-Lāh, sesama manusia, dan kehidupan semesta.”
7. Irwan Masduki (Pimpinan Pondok Pesantren di Jogjakarta)
“Saya sekarang mengerti benar tentang Aḥmadiyyah, setelah mendengar langsung pidato dan khoṭbah Khalīfah. Bagaimana Aḥmadiyyah meletakkan Al-Qur’ān, kedudukan nabi Muḥammad saw., ḥadīṡ, dan sunnah. Ini semua menjawab tuduhan yang tidak benar tentang kenabian Mirzā Ghulām Aḥmad dan Tadzkirah. Saya sudah merasakan suasana hati pembaiatan yang didahului dengan dua kalimat syahadat Islam dan pertobatan serta janji setia kepada Almasīḥ, maka Aḥmadiyyah memang benar-benar Islam.”
8. K.H. Abdul Muhaimin (ICRP & Pimpinan Pesantren di Kotagede, Yogyakarta)
“Yang paling menarik tentang visi perdamaian ‘Love for all, Hatred for None’ yang kadang hilang di ruang publik, ini perlu dikumandangkan. Perbedaan bukan saja perlu toleransi tetapi perlu pengakuan dan apresiasi. Mestinya dengan visi Khalīfah, Ḥuḍūr speech yang inspiratif diteruskan di mana-mana.”
9. Julius Felicianus (Galang Press Yogyakarta)
“Selamat pagi, Pak Uud (Ahmad Saifudin M). Hari ini, berita mancanegara di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Jogja, halaman 17, memuat acara Peace Symposium Singapore. Terima kasih telah diberi kesempatan untuk terlibat langsung dan bertemu dengan Khalīfah. Dari berita di Harian KR yang memuat foto saya dan pak bupati Wonosobo telah banyak sekali respon yang positif dan membahagiakan yang ditujukan kepada saya dari banyak teman dan kolega. Sekali lagi, terima kasih.”
10. Kunto Sofianto, Ph.D. (Dosen Unpad Bandung)
“Ḥuḍūr memancarkan wajah yang tulus dan menerima semua umat. Saya harap orang Indonesia yang anti Aḥmadiyyah bisa bertemu langsung dengan Ḥuḍūr agar terbuka hatinya, mendengarkan keterangan Ḥuḍūr. Dan lebih dari itu, hanya Khalīfah Aḥmadiyyah yang membawa Islam ke arah perdamaian.”
11. Asep Rizal Asyari (Banser NU Tasikmalaya)
“Kesempatan yang luar biasa yang bisa saya dapat lewat persahabatan dunia untuk kedamaian. Ini bukti bahwa kebersamaan itu indah. Islam itu damai dan raḥmatan li′l-‘ālamīn. Pesan ini harus tersampaikan kepada publik Indonesia agar pemahaman terhadap agama Islam tidak salah. Kerukunan dan keragaman menjadi sesuatu yang mutlak dilaksanakan.”
12. K.H. Saeful Abdulah (Pengurus Muhammadiyah Jawa Barat, Bandung)
“Saya sangat berbahagia bisa bertemu dan bersalaman dengan Khalīfah. Ini adalah sesuatu yang direncanakan Allāh swt.. Semoga Aḥmadiyyah berkembang dengan sikap sabar dan ikhlas, seperti yang ditunjukkan Khalīfah yang luar biasa hebat.”
13. Yunita (Katolik; Pegiat Komunitas Lintas Iman “Jakatarub” Bandung)
“Saya sangat terkesan pada acara ini. Setelah mendengar pidato Ḥuḍūr, saya menjadi mengerti bahwa Islam sangat mengutamakan kemanusiaan, keadilan dan kedamaian. Dunia saat ini membutuhkan lebih banyak tokoh agama yang menyerukan perdamaian dan mendorong umatnya untuk membela kemanusiaan, sebagaimana yang disampaikan Ḥuḍūr.”
14. Wahyu Iryana (Dosen UIN Bandung)
“Dari pidato Khalīfah, saya bisa menangkap bahwa nilai kedamaian adalah hal yang utama untuk memupuk kebersamaan, mewujudkan persatuan umat untuk membangun dan saling mendukung satu sama lain.”
15. Fauz Noor (Lapeksdam NU Tasikmalaya)
“Puji syukur saya bisa berjumpa dengan Khalīfah Aḥmadiyyah. Kharisma beliau sangat luar biasa. Kehangatan dan ketulusan beliau dalam membangun persahabatan antar sesama umat manusia, ini yang harus diteladani. Saya sangat patut mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara dari Aḥmadiyyah. Semoga persaudaraan kita tetap terjaga. Semoga Jemaat Aḥmadiyyah bisa kembali tenang menjalankan keyakinan mereka, tiada lagi kekerasan dan kenistaan. Āmīn.”
16. Dr. Muhamad Sulhan (Dosen UIN Bandung)
“Saya sangat senang dan berterimakasih atas undangan panitia untuk bertemu dengan Khalīfah Jemaat Ahmadiyah. Saya setuju dengan pandangan perlunya memperhatikan kondisi krisis dunia saat ini yang dipenuhi dengan kekerasan, dan juga perlunya membangun pilar Islam di tengah maraknya kasus-kasus intoleransi. Kemudian, keharusan memahami perdamaian serta kehidupan saling menghargai sebagaimana yang diajarkan dalam ajaran Islam.
“Yang juga menjadi catatan penting saya adalah kebutuhan pendidikan bagi anak-anak tanpa membedakan latar belakang suku dan agama; juga keharusan negara berkembang bisa menikmati kemajuan kemajuan ilimu pengetahuan dan teknologi.”
17. Muhammad Isnur (LBH Jakarta)
“Pidato yang disampaikan Khalīfah begitu mengena dan tepat sasaran, khususnya yang terkait dengan isyu perdamaian dan konflik yang berasal dari ketidakadilan dan keserakahan penguasaan sumber alam.
“Khoṭbah Khalīfah tentang pentingnya menghargai agama Kristen/Katolik yang juga menggunakan istilah ‘Allāh’, pentingnya bersatu dan bersabar, menjadi lambang kemajuan serta penguat bagi Jemaat.
“Kesabaran dan keterbukaan dalam menjawab setiap pertanyaan, semakin menunjukkan keteduhan dan kesejukan.
“Kemudian kesigapan dan kedisiplinan panitia, pengurus, dan anggota Jemaat, mencerminkan adanya ukhuwah, solidaritas, dan persaudaraan yang kuat, ikhlas serta juga memperlihatkan Jemaat sebagai organisasi yang rapi dan solid.”
18. Abdul Rozak (Ketua GP Ansor Kota Bandung)
“Saya baru tahu kalau pembaiatan itu, anggota Jemaat sangat khidmat mengikutinya. Kalimat syahadatnya juga sama dengan umat Islam yang lain. Saya mendengar dan melihat langsung syahadat orang-orang Aḥmadiyyah, hal ini menepis isu di luar tentang syahadat Aḥmadiyyah katanya berbeda dengan syahadat umat Islam lainnya.”
19. Ahmad Syafei Mufid (Litbang Departemen Agama FKUB Jakarta)
“Saya sangat terkesan dengan Jemaat Aḥmadiyyah yang sangat memuliakan para tamunya, menghargai perbedaan dan pengorbanannya yang tinggi untuk sebuah keyakinan.
“Khalīfah Aḥmadiyyah sangat sederhana dalam bertutur kata, tidak terdengar keluhan maupun kebencian terhadap orang lain atau kelompok lain yang memusuhi Aḥmadiyyah sekali pun. Terima kasih saya telah menjadi bagian yang memberi testimoni ini.”
20. Zuly Qodir (Aktifis Perdamaian Antar Agama dan Rekonsiliasi; Muhammadiyah)
“Pertemuan dalam internasional, Symposium Islam and Peace merupakan upaya yang harus didukung oleh semua pihak; sebab, Islam pada hakekatnya adalah perdamaian. Islam bukanlah agama yang mentolerir kekerasan dan ketidakadilan maupun diskriminasi atas kelompok tertentu seperti Aḥmadiyyah. Sungguh merupakan upaya yang sangat mulia dan perlu disambut oleh khalayak tanpa memandang darimana datangnya. Manfaatnya akan jauh lebih banyak ketimbang madharatnya mengkampanyekan perdamaian dalam Islam ketimbang kekerasan. Sebuah pertemuan yang mendamaikan.”
Ditambahkan “Mantap, setuju banget diadakan [Peace Symposium] di Jogja atau Manado, saya udah kirim komentar kemaren. Saya tambahin sekarang:
1. “Pertemuan yang menarik dan memberikan penjelasan bahwa Aḥmadiyyah tetap bekerja sekalipun dalam lindasan diskriminasi negara dan sebagian warga negara sipil di beberapa Negara.
2. “Cara yang dilakukan Aḥmadiyyah patut dicontoh organisasi lain atau kelompok lain, yang menghadirkan kedamaian pada publik, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Karya nyata Aḥmadiyyah patut kita acungi jempol.
3. “Memberikan rasa aman adalah hal yang bisa dan harusnya dilakukan oleh negara dan warga masyarakat utuk semua kelompok keagamaan termasuk Aḥmadiyyah.
“Salam kami.”
21. Joane Elga Sarapung (Direktur DIAN Interfidei, lembaga interfaith dialogue)
“Pak Saifudin yang baik. Pertama-tama, saya menyampaikan terima kasih atas undangan kepada Interfidei untuk mengikuti simposium itu. Paling tidak bisa melihat dari dekat, pimpinan Jemaat Ahmadiyah Internasional dan mendengar pemikiran beliau tentang beberapa hal yang disampaikan dalam pidatonya.
“Terima kasih banyak atas semua pelayanan yang luar biasa. Pengalaman berada selama beberapa jam dengan umat Aḥmadiyyah dari beberapa negara, memperkaya pengetahuan dan pemahaman saya tentang Jemaat Aḥmadiyyah internasional dan secara khusus Indonesia. Jumat pagi akan saya share (secara resmi) kepada teman-teman dalam rapat.
“Kedua, bagi saya, pertemuan di Singapura itu, bila sampai ke ‘telinga’ para pejabat negara RI, mudah-mudahan dianggap sebagai kritik positif dan konstruktif, bukan sebagai tampilan ‘cari gara-gara’. Mengapa? Harusnya pertemuan semacam ini bisa diadakan di Indonesia [lagi] seperti yang terjadi pada tahun 2001 (?)—atau saya kelirukah?
“Saya sama sekali tidak melihat ‘kesesatan’, atau ‘bukan Islam yang benar’, bahkan tidak merasa aneh ketika berada bersama dengan dan berada di tengah-tengah umat muslim-Aḥmadiyyah. Tetapi, mengapa di negara kita menganggap dan memperlakukan, bukan saja tidak konstitusional tetapi juga tidak manusiawi. Dan paling parah, karena negara mengikuti tuntutan dari kelompok kecil orang yang sok beragama dan memakai kekerasan untuk mengekspresikan ‘kesombongan beragama’ mereka itu?
“Anyway, mungkin kali berikut, kita coba adakan di Yogya (atau, atas permbicaraan Pak Kyai Husein dan saya, kita coba adakan di Manado atau di Bali deh. He he.
“Ketiga, dalam kaitan dengan hal ini, saya sangat terkesan dengan ‘remarks’ dari pidato yang mewakili pemerintah Singapura dan mantan Dubes Singapore di beberapa negara Islam (yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk Indonesia). Bagi saya, harusnya begitulah negara harus bersikap: jelas, tegas, berani. Sebenarnya kalau ada transkrip juga dari remarks mereka akan sangat baik.
“Keempat, terkait dengan itu, terus terang sejak dari Yogya, berharap sekali untuk mendengar, apa kata ‘beliau’ tentang kenyataan tantangan yang dihadapi Jemaat Ahmadiyah di beberapa negara termasuk di Indonesia. Tetapi, boleh jadi itu merupakan—lagi-lagi ‘cara’ Jemaat Aḥmadiyyah. Sengaja tidak disampaikan atau disampaikan secara internal saja, di mesjid selama ṣalāt Jumat atau hanya di kalangan para petinggi Ahmadiyah di tiga negara.
“Mengapa saya penasaran? Ini terkait dengan pertanyaan saya selalu, yang juga pernah saya sampaikan dalam sambutan acara di Perpustakaan Arif Rahman Hakim tahun lalu, ‘Mengapa Jemaat Ahmadiyah hanya “diam” terhadap apa yang diperlakukan kepada mereka?’
“Begitulah! Tapi, tidak apa-apa. Namanya harapan, kadang-kadang, tidak terkabul juga toh? He he he.
“Kelima, karena saya tidak ikut di hari Jumat. Saya berharap teman-teman dari Indonesia (yang non-Aḥmadiyyah, kata mas Zuly, sudah dibaiat? He he, bergurau!) jadi bertemu Beliau dan sempat ngobrol. Sekali lagi, terima kasih banyak atas undangan kepada Interfidei dan saya senang bisa hadir sekali pun hanya untuk hari pertama. Tolong kalau ada transkrip dari dua remarks itu, sekaligus ada bahasa Indonesianya, dikirim ya.
“Sampaikan salam hangat untuk semua Ibu/Bapak dan anak-anak muda yang sudah ikut bersibuk-sibuk membantu dan melayani saya/kami semua. Semoga semuanya menjadi berkat bagi orang banyak. Kita tetap berjalan bersama-sama dan saling menguatkan.”[]
Disusun oleh : Mahmud Mubarik dan Ahmad Saifudin Mutaqi