JAKARTA – Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Jamaah Islam Ahmadiyah Indonesia atau dikenal dengan Ahmadiyya Muslim Students Associatiion (AMSA) Bekasi dan DKI Jakarta, hadir pada acara Youth Interfaith Forum yang berlangsung di Hotel Ibis, Kamis (17/12). Acara yang digagas oleh Search For Common Ground (SFCG) ini dihadiiri tujuh puluh pemuda dari latar belakang agama, keyakinan, dan daerah yang berbeda. Selain AMSA Bekasi dan DKI, hadir pula FORPELA, PMII, GMKAI, Gusdurian, dan Aktifis Ponpes Asshidiqiyah. (baca juga: Youth Interfaith Camp 2015: Serang Masjid Ahmadiyah, Minta Maaf di Forum Perdamaian)
Jose de Souse de Vicent selaku Country Director SFCG menyemangati para pemuda untuk tetap aktif membangun kesadaran akan pentingnya perdamaian. Sementara itu Alamsyah M. Djafar dari Wahid Institute memaparkan bagaimana pemuda turut andil dalam kasus-kasus intoleran yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Dalam pemaparan materinya, Alamsyah M. Dja’far dari Wahid Institute mengungkapkan keterlibatan anak-anak muda dalam beragam aksi Intoleran di Indonesia. Mengacu pada penelitan Wahid Institute, sepanjang tahun 2014 dengan responden 300 siswa SMA di Jabodetabek, sebanyak 46 diantaranya setuju membalas orang yang membakar dan menutup tempat ibadah mereka. (baca juga: The Wahid Institute: Pelanggaran intoleransi di Indonesia masih tinggi)
Alamsyah juga menyebut hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKiP) pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa sebanyak 52,3% siswa sekolah umum di Jabodetabek mendukung ideologi dan aksi kekerasan kelompok tertentu dalam penyegelan dan perusakan rumah ibadah.
“Ini bentuk lemahnya penyampaian pesan toleransi di dunia pendidikan dan ketidakprofesionalan guru dan pejabat sekolah,” ujarnya dihadapan peserta Youth Interfaith Forum.
Di tempat yang sama, Savic Alieha, Direktur NU Online, menyampaikan potensi media sosial dalam langkah penguatan penyelesaian konflik agama di Indonesia. Dalam kasus GKI Yasmin misalnya, dia mencontohkan bagaimana Twitter begitu efektif menyebarkan informasi. Dalam kasus GKI Yasmin yang terjadi beberapa bulan lalu, ia memotret pentolan-pentolan “preman” yang menyerang GKI Yasmin dan mengunggahnya. Hasilnya foto tersebut tersebar ke ratusan ribu pengguna Twitter. (baca juga: Muslim Television Ahmadiyya : Mendefinisikan Kembali Arti Penyiaran Religi)
“Bayangkan kalau saya harus mencetak foto, memberikan caption dan membagikannya untuk dua ratus ribu orang? Tentunya tidak efektif,” sambungnya.
Menurutnya tantangan penggiat toleransi dalam penggunaan platform (website, blog, dan media sosial) ini terletak pada menulis dan pembuatan konten yang masih kurang sehingga kalah dengan para pelaku intoleran.
Forum ini bertujuan untuk mewujdkan perdamaian dunia dan menyuarakan pesan damai guna membendung intoleransi yang marak terjadi. Anggita Paramaseti sebagai Project Officer Search For Common Ground menekankan para pemuda semestinya juga sebagai motor penggerak dialog lintas iman.
Selain pemaparan materi dari narasumber ada pula sesi berbagi pengalaman dari komunitas peace leader dari Bekasi, Madura dan Jember yang selama ini giat mengkampanyekan pesan perdamaian di beberapa daerah. Youth Interfaith Forum ditutup dengan deklarasi bersama dengan membuat komitmen perdamaian.
Kontributor: Husna Arifa/Fariz
Editor: Talhah Lukman Ahmad