Bandung – AMAN Indonesia bekerja sama dengan UN Women mengadakan Lokalatih Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pemajuan Agenda Women, Peace and Security (WPS). Kegiatan ini dimulai dengan seleksi dari 433 pendaftar dan Lajnah Bandung Kulon lolos menjadi salah satu dari 25 orang peserta pada Pelatihan offline di Bandung. Selama 3 hari (19 Mei, 26-27 Mei) peserta di-drill agar lebih terampil menggunakan wawasan WPS dalam menjawab isu sosial dalam kerja perdamaian.
Isu yang diangkat WPS jelas sekali sejalan dengan semboyan Ahmadiyah “Love for All, Hatred for None” yang menjunjung cinta dan kesetaraan bagi semua golongan dalam mewujudkan kehidupan yang adil dan damai. Begitu pun arahan dari pimpinan rohani Jemaat Ahmadiyah seluruh dunia untuk memberikan setidaknya 50% perempuannya karena kemajuan suatu generasi dan pembangunan masyarakat yang damai tersebut sangat tergantung pada peran perempuan
Untuk memenuhi tujuan penciptaan manusia, reformasi perempuan harus dilakukan oleh sesama perempuan. Dimana LI yang meneladani peran ummul mukminin terus mengupayakan hak setara kaum perempuan di masa Rasulullah SAW., memiliki visi dan misi yang sama dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan perdamaian, pencegahan konflik dan kekerasan, perlindungan, pemulihan berkelanjutan yang inklusif gender agar perempuan berdaya dan berdikari. Lajnah menunjukkan kerjanya yang aktif dalam gerak pemberdayaan perempuan di berbagai aspek tarbiyat/pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, serta advokasi hak perempuan dan anak terkait partisipasi kegiatan WPS ini.
Kasus diskriminasi Ahmadiyah di Indonesia kerap menjadi isu hangat pemantik diskusi dalam kegiatan bertemakan hak asasi manusia, kebebasan berkeyakinan dan beragama, kesetaraan, begitu pula dalam lokalatih WPS. Hari pertama pelatihan online, kasus pengungsi Ahmadi di Transito Lombok menjadi pembahasan yang direspon simpati dan ketidaksetujuan pada perlakuan tidak adil oleh salah seorang peserta asal Lombok langsung.
Puncaknya di lokalatih tatap muka, lajnah memperkenalkan diri dan menyampaikan bahwa Ahmadiyah adalah Islam dengan syahadat yang sama dan di tahun 2025 ini JAI genap berusia 100 tahun. Sesi pertama tiap perwakilan organisasi diminta merefleksikan kinerja kelompoknya terhadap keempat pilar WPS.
Nyatanya, kiprah Lajnah selama ini terbukti telah menegakkan pilar WPS, seperti kepekaan terhadap kebutuhan perempuan dalam tiap acara menyediakan children corner dan pembangunan gedung LI yang memperhatikan aspek kenyamanan dan keamanan penyandang disabilitas. Berbagai webinar LI yang mendukung pecegahan dan perlindungan kaum perempuan juga membahas literasi mengenai kekerasan domestik, etika bermedia sosial dalam kajian Islami yang progresif.
Tak dinyana, kerja kemanusiaan Ahmadiyah diapresiasi pemateri, “Teman Ahmadiyah selalu konsisten dalam bakti kemanusiaan seperti donor darah dan paling maju menggerakkan donor mata, meskipun menerima berbagai tindakan intoleransi,” ungkap Ruby.
Hari kedua, kelompok peserta melakukan analisa konflik pada sesi studi kasus yang kembali mengangkat permasalahan terhadap Ahmadiyah yaitu perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang dan pelarangan Jalsah Salanah di Manislor.
“Tiap kali mengadvokasi Ahmadiyah pasti dibenturkan dengan masalah akidah dan SKB 3 Menteri, mengesampingkan hak hidup yang dilanggar,” jelas penaggap yang menekankan kunci regulasi hukum untuk mengurai konflik Ahmadiyah.
Salah seorang peserta muslimah kemudian menguatkan narasi Ahmadiyah yang membawa damai. “Saya pernah mengikuti live in Ahmadiyah di Gondrong, orangnya sangat ramah, kami dilayani sangat baik, makanannya enak, sangat nyaman,” kenangnya. *
Kontributor: Amatul Shafi