Bogor— Di tengah era materialisme yang semakin kuat, Madrasah Tahfidzul Quran Ahmadiyah mengambil langkah signifikan dengan mendorong siswa dan alumninya untuk menjadikan hafalan Al-Qur’an sebagai bentuk jihad terbesar.
Hal ini dibahas dalam acara yang digelar di Auditorium Jamiah Ahmadiyah, Kampus Mubarak, Bogor, pada 19 Agustus 2024, dihadiri oleh sekitar 58 peserta.
Di antaranya terdapat 19 siswa Tahfidzul Quran dan 23 alumni Madrasah Tahfidzul Quran, termasuk 11 alumni yang kini melanjutkan pendidikan sebagai mubaligh di Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia.
Tujuan utama acara ini adalah untuk merancang dua dedikasi besar dari alumni Madrasah Tahfidzul Quran sebagai bagian dari perayaan 100 tahun Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Dedikasi pertama adalah mengumpulkan para alumni untuk menjadi Ahlul Al-Qur’an, peran penting yang semakin relevan di era di mana informasi sering kali tidak akurat dan menyesatkan.
Dedikasi kedua terkait langsung dengan jihad spiritual, yaitu penunjukan para alumni sebagai imam shalat tarawih dengan target membaca satu juz setiap hari selama bulan Ramadhan, sesuai dengan harapan Amir Nasional.
Kepala Madrasah Tahfidzul Quran, Mln. Usama Ibn Hasan, menekankan bahwa peran ini bukan hanya tugas, tetapi juga kehormatan besar.
“Bagi mereka yang telah ditunjuk menjadi imam shalat tarawih, hal ini merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri dalam mewujudkan keinginan Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah,” ujar Mln. Usama.
Hafalan Al-Qur’an di Era Materialisme
Mln. Usama Ibn Hasan juga menyoroti pentingnya teknologi dalam mendukung jihad ini. Ia mengasumsikan bahwa pengembangan aplikasi Al-Qur’an oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia akan membantu mempermudah akses dan memperdalam pemahaman terhadap Al-Qur’an.
“Dengan aplikasi ini, setiap orang diharapkan dapat dengan mudah mencari kata kunci dalam Al-Qur’an, yang pada gilirannya akan mempermudah mereka dalam memperdalam pengetahuan tentang kitab suci ini,” tambah Mln. Usama.
Dalam konteks jihad, Sekretaris Ta’limul Quran PB JAI, Ustadz Dendi Ahmad Daud menjelaskan bahwa menghafal Al-Qur’an harus dipahami sebagai bentuk jihad yang signifikan, bahkan lebih besar daripada jihad dalam pertempuran fisik.
Ia berharap, melalui hafalan dan pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur’an, para alumni dapat menjadi contoh nyata dari jihad terbesar: melawan hawa nafsu dan godaan duniawi.
“Al-Qur’an adalah bentuk jihad yang besar, berperang adalah bentuk jihad kecil, dan jihad paling besar adalah melawan nafsu diri sendiri,” ungkap Ustadz Dendi.
Pernyataan ini menyoroti bahwa hafalan Al-Qur’an bukan hanya soal memori, tetapi juga tentang mengendalikan diri dan menjaga kesucian jiwa di tengah godaan duniawi yang semakin kuat.
Dengan dedikasi ini, Madrasah Tahfidzul Quran Ahmadiyah tidak hanya menyiapkan para siswa dan alumninya sebagai penjaga tradisi, tetapi juga sebagai pejuang spiritual di era yang semakin materialistik.