Topik mengenai hukuman sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia saat ini. Hampir semua media massa baik televisi maupun Internet seolah berlomba dalam memberitakannya. Tentu banyak pro dan kontra yang terjadi di dalamnya.
Lantas seperti apa pandangan Islam terhadap hal ini?
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Karim:
وَ جَزٰٓؤُا سَیِّئَۃٍ سَیِّئَۃٌ مِّثۡلُہَا ۚ فَمَنۡ عَفَا وَ اَصۡلَحَ فَاَجۡرُہٗ عَلَی اللّٰہِ ؕ اِنَّہٗ لَا یُحِبُّ الظّٰلِمِیۡنَ
“Dan ingatlah bahwa pembalasan terhadap keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang aniaya.” (QS. Asy-Syura: 41)
Ayat ini merupakan dasar hukum pidana Islam. Menurut ajaran Islam, tujuan hakiki yang menjadi dasar pemberian hukuman terhadap orang bersalah ialah perbaikan akhlaknya. Jika pengampunan diperkirakan akan memberikan perbaikan akhlak kepadanya, maka sebaiknya ia diberi maaf. Namun ia juga harus dihukum dengan hukuman yang mungkin akan membawanya kepada perbaikan. Akan tetapi, hukuman sama sekali tidak boleh tak seimbang dengan pelanggaran yang telah dilakukan.
Islam tidak menyetujui ajaran yang memerintahkan agar pipi sebelah lainnya diberikan untuk ditampar juga. Juga tidak sepakat dengan doktrin “mata dibayar dengan mata dan gigi dibayar dengan gigi”. Dalam segala keadaan, Islam mengambil jalan tengah. (Baca: Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat, Neratja Press, Edisi ke-5, 2014)
Keterangan di atas sangat jelas menegaskan bahwa ajaran Islam berkenaan hukuman adalah sebagai penengah yang penuh akan kebijaksanaan. Karena Islam sebagai agama yang sempurna senantiasa mengambil jalan tengah dalam segala permasalahan dan keadaan.
Kemudian, bagaimana pandangan Ahmadiyah?
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ayyadahullahu taala binashrihil aziz (atba), Imam atau Khalifah yang kelima pernah dikirimi sebuah surat yang berisi kutipan Pendiri Ahmadiyah, Hadhrat Masih Mau’ud as, dimana beliau menyatakan, “Ada perintah yang jelas dalam Al-Qur’an untuk memotong tangan pencuri dan merajam pezinah.”
Hudhur kelima, sapaan akrab Khalifah, kemudian ditanya bahwa sementara yang pertama (hukum potong tangan) disebutkan dalam Al-Qur’an, akan tetapi tidak ada penyebutan rajam bagi pezina di ayat manapun. Hudhur atba dimintai petunjuk tentang masalah ini.
Beliau kemudian menjawab dalam surat tertanggal 15 Oktober 2018:
“Umumnya ada dua aspek hukuman dalam Islam, hukuman berat dan hukuman yang relatif moderat. Tujuan utama dari hukuman ini adalah untuk mencegah kejahatan dan berfungsi sebagai peringatan bagi orang lain.”
“Oleh karena itu, kita melihat bahwa pada masa Nabi Suci saw dan Khulafa-ur-Rashidin ra, tidak semua jenis pencuri dihukum dengan potong tangan. Hukuman ini, misalnya tidak pernah diterapkan untuk pencurian makanan dan minuman. Akan tetapi, jika seorang pencuri ketika merampas perhiasan seorang wanita melukai tangan atau telinganya atau menyebabkan luka pada bagian tubuhnya sedemikian rupa sehingga ia menjadi cacat, maka pencuri tersebut dihukum sesuai dengan kejahatannya. Ini juga termasuk hukuman potong tangan.”
“Demikian juga, jika perzinahan atau percabulan dilakukan atas kesepakatan bersama (suka sama suka) dan dibuktikan dengan metode kesaksian Islam (didatangkan empat orang saksi, pen), maka pihak yang bersangkutan dijatuhi hukuman seratus cambukan. Namun, dalam kasus pemerkosaan yang sifatnya sangat biadab, atau jika pemerkosa melakukan tindakan keji ini dengan menganiaya anak di bawah umur, maka hukuman untuk orang tersebut tidak bisa hanya seratus cambukan. Pezina atau pemerkosa seperti itu kemudian dapat diberikan hukuman yang ekstrim seperti hukuman mati dan rajam sesuai dengan ajaran yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah (5) ayat 34 dan Surah Al-Ahzab (33) ayat 61-63. Namun, hak untuk menjatuhkan hukuman ini diberikan kepada pemerintah yang berkuasa saat itu. Ajaran ini hanya memberi mereka pilihan secara umum.”
“Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an inilah Hadhrat Masih Mau’ud as juga menyatakan bahwa hukuman yang disebutkan dalam Al-Qur’an untuk pezina atau pemerkosa semacam itu adalah rajam.”
Kontributor: Muhammad Dahlan
Sumber: The Weekly Al-Hakam, 12 Juni 2021