Sambungan dari Hikmah Puasa Bagian 1
Hikmah pertama yang terkandung dalam puasa adalah bahwa puasa menghasilkan keteguhan simpati antarmanusia. Rinciannya adalah sebagai berikut. Orang-orang kaya yang biasa memakan makanan yang enak dan hidup dengan keberlimpahan dan keberlebih-lebihan tidak pernah merasakan kesakitan orang-orang fakir dan miskin dan apa yang ditanggung anak-anak yatim berupa suara yang timbul di dalam perut karena kelaparan, penyakit-penyakit yang timbul karena kelaparan, dan ketidakadaan makanan yang terjadi berulang kali, karena mereka tidak pernah menyicipi rasa lapar. Ketika mereka berpuasa sebulan penuh, mereka akan menjadi arif akan parahnya rasa lapar itu dan kesakitan-kesakitan yang ditimbulkannya. Dengan demikian, terisilah hati mereka dengan empati dan kasih-sayang sehingga mereka akan dengan mudah memberikan infak bagi seorang yatim yang tak memiliki makanan dan seorang miskin yang tergeletak di atas tanah. Amal mereka ini akan menjadi sebab majunya kaum dan terjaganya simpati di tengah-tengah mereka.
Kedua, Islam dengan sesungguh-sungguhnya tidak menginginkan manusia untuk menjadi pemalas-pemalas yang tidak terbiasa memikul beban-beban dan menanggung kesukaran-kesukaran. Bahkan, Islam menginginkan mereka untuk bersiap-sedia menanggung setiap kesulitan dalam keadaan mendesak. Oleh karena itu, melalui perantaraan puasa pada bulan Ramadan tiap tahunnya, kaum muslimin akan menjadi sigap untuk menanggung setiap musibah dan kesulitan dalam keadaan mendesak. Orang-orang yang mengamalkan hukum ini, mereka tidak mungkin binasa sebagai akibat dari kemalasan dan kelalaian.
Hikmah kedua adalah bahwa seorang yang berpuasa terjaga dari kehancuran yang terkadang harus dia hadapi. Rinciannya adalah sebagai berikut. Manusia terkadang merasa susah karena lapar dalam berbagai keadaan, apalagi dalam safar dan peperangan. Mungkin saja dia tidak mendapati sedikitpun makanan dan minuman sampai dua atau tiga hari. Jika dia tidak terbiasa berpuasa dan bersabar dalam menanggung kenyerian dan kesulitan yang ditimbulkan rasa lapar, dia tidak mungkin dapat hidup sehari saja, apalagi dapat memerangi musuh-musuhnya. Akan tetapi, seseorang yang terbiasa berpuasa sebulan penuh tiap tahunnya, kelemahan tidak akan dapat menelanjanginya dan kehinaan tidak akan dapat menyergapnya pada saat seperti itu. Bahkan, dia akan menahan kesulitan-kesulitan itu dengan sangat mudah. Dengan jalan ini, puasa menjadi sebab keselamatannya dari kebinasaan dan menjadi perantara untuk membela kehormatan negara dan kaumnya layaknya para pahlawan.
Hikmah ketiga adalah bahwa seorang yang berpuasa, melalui perantaraan puasanya, dapat menjauhkan diri dari kebejatan dan dosa karena kesalahan atau dosa mengarahkan jiwa untuk condong kepada kelezatan-kelezatan materialis dan membuat kekuatan syahwat menang atas kekuatan akal. Manusia, apabila sudah terbiasa mengerjakan sesuatu, dia akan menjadi susah untuk meninggalkannya. Akan tetapi, jika kekuatan kehendaknya mengungguli kekuatan-kekuatannya yang lain, dia dapat meninggalkal apa yang ingin dia tinggalkan. Dengan demikian, seseorang yang berpuasa, ketika menjauhkan diri dari semua kelezatan yang mend orong dan menggodanya untuk mengerajakan hal-hal yang buruk itu dan menekan dirinya dari ladang-ladang syahwat sesuai dengan perintah Allah, kekuatan kehendaknya akan menjadi kuat dan kekuatan akalnya akan mengalahkan semua kekuatannya yang lain, sehingga akan mudah baginya setelah berlalunya bulan Ramadan untuk melawan rayuan-rayuan yang muncul dalam jiwa untuk mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan. Oleh karena itu, apabila seseorang yang terbiasa meminum khamar menahan diri dari meminumnya sebulan penuh, akan mudah baginya untuk tidak kembali lagi kepadanya selama-lamanya. Jika dia berkata bahwa dia tidak mampu meninggalkannya, perkataan itu semata-mata merupakan kedustaan dan kebohongan, karena dia sendiri telah membuktikan dengan meninggalkan kebiasaan itu sebulan penuh bahwa dia memiliki kemungkinan untuk meninggalkannya.
Ringkasnya, puasa melindungi manusia dari pengerjaan kebejatan-kebejatan, dosa-dosa, dan apa yang merugikannya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Ḥaḍrat RasūlullāhSAW bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ.
“Puasa adalah tameng.”[Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb aṣ-Ṣaum, Bāb Faḍl aṣ-Ṣaum, no. 1894]
Yakni, puasa adalah perisai dan penghalang dari neraka yang merupakan natijah dari pengerjaan kebejatan-kebejatan dan dosa-dosa.
Hikmah keempat adalah bahwa keberlangsungan hidup manusia terletak pada makan dan minum dan keberlangsungan regenerasi manusia terletak pada hubungan suami-istri. Akan tetapi, seseorang yang berpuasa menahan diri dari semua hal ini: tidak makan, tidak minum, tidak bergaul dengan istrinya dalam keadaan berpuasa. Ketika seseorang yang berpuasa menahan diri dari hal-hal yang pada asalnya halal baginya saat tidak berpuasa itu sesuai dengan perintah Allah, akan mudah baginya melalui latihan ini sebulan penuh untuk meninggalkan semua hal yang haram sepanjang tahun. Oleh karena itu, Allah Taala menyambung firman-Nya setelah menjelaskan hukum puasa:
وَلَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Janganlah saling memakan hartamu dengan jalan yang batil dan janganlah pula serahkan harta itu kepada hakim sebagai suapan supaya Kamu dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan cara berbuat dosa, padahal Kamu mengetahuinya.”[Surah Al-Baqarah ayat 189]
Hikmah yang terkandung dalam penjelasan Allah tentang hal ini setelah Dia memperbincangkan puasa adalah untuk mengarahkan perhatian orang mukmin yang telah berhasil meninggalkan makanan yang pada aslinya halal di bawah perintah Allah ketika berpuasa bahwa dia semestinya lebih mampu menjauhkan diri dari memakan harta manusia dengan jalan yang batil. Demikian juga, seseorang yang telah berhasil menahan diri dari hubungan suami-istri yang pada dasarnya halal baginya, dia semestinya lebih mampu menjauhkan diri dari hubungan gelap yang diharamkan atasnya. Dengan demikian, puasa adalah sebaik-baik obat untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan dan untuk menghalangi jiwa dari pelampiasan syahwat yang tidak pada tempatnya.
Hikmah kelima adalah, karena seseorang yang berpuasa bangun di akhir malam untuk sahur, dia akan mendapat kesempatan untuk melakukan salat, ibadah, dan doa. Dengan demikian, dia akan semakin dekat dengan Allah. Kedua, karena dia meninggalkan istirahat dan menanggung rasa berat dengan bangunnya untuk salat malam itu, rahmat Allah akan tercurah kepadanya dengan jenis yang khas. Dengan demikian, dia akan senantiasa mendapat taufik untuk mengerjakan amal-amal saleh dan untuk naik ke atas derajat kerohanian yang lebih tinggi lagi.
Hikmah keenam adalah bahwa seseorang yang berpuasa, karena dia tercegah dari makan dan minum sepanjang siang dan hanya membutuhkan hal-hal yang bersifat kebendaan dengan kadar yang sedikit, dia akan mendapat waktu yang lebih luas dibandingkan dengan hari-hari yang lain untuk berzikir kepada Allah. Kepada hal inilah Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya:
وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدَاكُم
“Supaya Kamu menganggungkan Allah atas petunjuk yang telah Dia berikan kepadamu.”[Surah Al-Baqarah ayat 186]
Hikmah ketujuh adalah bahwa seseorang yang berpuasa akan bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat dan pemberian-pemberian-Nya dengan suatu yang bentuk yang tidak akan dapat dilakukan jika tidak berpuasa. Karena, merupakan kebiasaan manusia bahwa dia tidak akan menyadari keagungan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya sampai dia kehilangan nikmat itu. Oleh karena itu, Kalian mendapati banyak orang yang tidak berhati-hati sepanjang umur mereka bahwa mata mereka merupakan sebuah nikmat dari Allah. Akan tetapi, ketika salah seorang dari antara mereka kehilangan matanya, barulah dia akan mengetahui bahwa mata merupakan sebuah nikmat yang besar. Demikian juga, ketika seseorang yang berpuasa merasakan dalam dirinya kesulitan yang ditimbulkan rasa lapar, dia akan bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat dan berbagai jenis makanan yang telah Dia karuniakan kepadanya. Dengan demikian, dia akan berusaha untuk mengisi kehidupannya dengan hal-hal yang bermanfaat dan amal-amal saleh dan tidak akan melewatnya dengan sendau-gurau dan permainan belaka. Kepada hikmah inilah Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya:
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan supaya Kamu bersyukur.”
Hikmah kedelapan adalah, karena tidak makan dan minum dan banyak berzikir kepada Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya, seseorang yang berpuasa akan mendapat kejauhan dari semua sifat hewani, baik yang jinak maupun yang buas, dan kedekatan dengan sifat-sifat malaikat. Karena wujud yang tidak perlu makan dan minum pada hakikatnya hanyalah Allah, atas dasar ini, ketika seseorang yang berpuasa mencegah dirinya dari penggunaan benda-benda yang bertentangan dengan puasanya itu sesuai dengan perintah-Nya, wajiblah bagi Allah untuk membalasnya atas puasanya itu dengan sebaik-baik balasan. Dengan demikian, puasa merupakan sebuah makanan rohani yang disimpan manusia untuk akhiratnya. Tersebut dalam sebuah hadis qudsi bahwa Allah berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّيْ امْرُؤٌ صَائِمٌ.
“Segala amal seorang anak Ādamas adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya atas puasanya itu. Puasa merupakan sebuah tameng. Salah seorang dari antara kalian janganlah melontarkan kata-kata asusila dan jangan pula bertengkar saat berpuasa. Jika ada seseorang yang memaki atau memeranginya, hendaknya dia mengatakan, ‘Aku adalah seseorang yang tengah berpuasa.’”[Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb aṣ-Ṣaum, Bāb Hal Yaqūlu Innī Ṣā’imun Idzā Syutima, no. 1904]
Adapun orang yang tidak meninggalkan kedustaan dan dosa-dosa yang lain, puasanya sejatinya bukanlah puasa sebagaimana Ḥaḍrat NabiSAW bersabda:
مَنْ لَّمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَّدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Siapa yang tidak meninggalkan kebiasaan berkata bohong dan beramal dengannya, Allah tidak memiliki sedikitpun kebutuhan dalam meninggalkan makanan dan minumannya.”[Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb aṣ-Ṣaum, Bāb Man Lam Yada‘ Qaul az-Zūr Wa al-‘Amal Bihi Fī aṣ-Ṣaum, no. 1903]
Hikmah kesembilan adalah bahwa puasa menggaransikan kesehatan raga dan jiwa. Para dokter telah mengakui bahwa sedikitnya makan dan minum dapat berfaedah terhadap kesehatan badan. Orang-orang sufi dan wali-wali Allah berkata bahwa puasa dapat menerangi dan mencahayai hati dan akan bertambah dengannya kekuatan kasyaf serta akan tersingkap bagi orang-orang yang berpuasa hakikat-hakikat dari berbagai benda, terlebih lagi makrifat-makrifat Alquran. Kesaksian semua orang-orang yang benar, saleh, lagi baik yang telah mendapat keberkatan rohani dan kedekatan dengan Allah ini dan hakikat-hakikat dan makrifat-makrifat puasa yang tersingkapkan kepada mereka tidak mungkin dapat ditolak oleh seorang yang berakal tanpa bukti yang jelas. Dengan demikian, puasa merupakan sebab pencahayaan dan pensucian hati.
Hikmah kesepuluh adalah bahwa puasa merupakan tanda penampakan kecintaan Allah. Sebagaimana seorang pecinta yang jujur dan pengasyik yang telah larut dalam kecintaan kepada kekasihnya meninggalkan semua kelezatan kehidupan dan semua kesenangan, meninggalkan makan dan minum dalam jalan menuju kekasihnya, serta tidak memikirkan apapun selain pertemuan dengannya, seperti ini pulalah keadaan cinta dan asyik kepada Allah yang tampak dalam diri seseorang yang berpuasa. Selanjutnya, seorang pengasyik hakiki, setelah menanggung beban-beban yang berat, dia akan bersimpuh di depan pintu rumah sang kekasih ketika telah sampai kepadanya dan menampakkan segenap sifat khusyū‘ [Khusyū‘ artinya ‘kesungguhan’.] dan khuḍū‘ [Khuḍū‘ artinya ‘perendahan hati’.] serta menanggung kesakitan-kesakitan yang ditimbulkan rasa lapar dan haus kemudian tidak beranjak darinya hingga sang kekasih keluar dan memberinya kehidupan dengan senyuman-senyumannya yang cemerlang. Demikian juga, seseorang yang berpuasa, setelah menanggung kesulitan-kesulitan puasa selama 20 hari, dia akan beriktikaf di masjid pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadan dan mengharaman bagi dirinya hubungan suami-istri dengan istrinya secara mutlak sebagaimana Allah Taala berfirman:
وَلا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْتُمْ عاكِفُوْنَ فِي الْمَساجِدِ
“Janganlah bergaul dengan mereka selagi Kamu tengah beriktikaf di dalam masjid.”[Al-Baqarah ayat 188]
Karena, seorang pengasyik yang telah larut dalam kecintaan kepada kekasihnya tidak akan sempat memikirkan hal-hal semacam ini. Kemudian, seseorang yang berpuasa akan merebahkan diri, berteriak dengan keras, menjerit dengan penuh kesedihan, dan menangis di hadapan Allah seraya meletakkan kedua sisinya di atas tanah siang dan malam dengan permintaan agar Allah terejawantah baginya. Lantas, terejawantahlah Allah bagi sebagian hamba terdekat-Nya. Lailat al-Qadar yang manusia dalam hadis diperintahkan untuk menggapainya pada 10 hari terakhir dari bulan Ramaḍān merupakan isyarat kepada manifestasi ilahi ini. Dengan demikian, puasa merupakan perantara bagi penampakan kecintaan dan keasyikan Allah.
Bersambung ke Hikmah Puasa Bagian 3 – Tamat