Tasikmalaya – Seluruh civitas akademika SMA Plus Al-Wahid berkomitmen menolak perundungan atau bullying dalam bentuk apapun. Hal itu ditegaskan melalui Deklarasi Program Roots yang digelar pagi tadi, Senin (28/11).
Deklarasi tersebut merupakan komitmen kuat SMA Plus Al-Wahid yang pada tahun pelajaran ini mendapat kepercayaan sebagai Sekolah Penggerak dalam menyikapi problematika maraknya tindakan perundungan di kalangan pelajar.
Dalam acara itu, seluruh guru dan siswa bersama-sama membubuhkan tanda tangan di sebuah banner, yang menjadi simbol komitmen mereka dalam memutus mata rantai praktik perundungan atau bullying.
“Penandatanganan pada banner deklarasi merupakan simbolisasi dari komitmen pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik dalam pencegahan praktik bullying ini,” ungkap Wakil Kepala Sekolah SMA Plus Al-Wahid Bidang Kesiswaan, Dodi Kurniawan, Senin (28/11).
Selain menggelar Deklarasi Program Roots, terdapat beberapa langkah konkrit lain sebagai bentuk keseriusan SMA Plus Al-Wahid dalam mencegah perundungan. Diantaranya menunjuk fasilitator dari antara guru, memilih sejumlah siswa sebagai agen perubahan, serta mengadakan kampanye terkait hal itu.
“Kepala Sekolah menunjuk dua orang guru yang secara khusus berperan sebagai fasilitator program Roots. Kemudian, sekolah melalui bidang Kesiswaan memilih 30 peserta didik dari tiga jenjang kelas untuk bertindak sebagai Agen Perubahan (Agent of Change). Ketiga puluh siswa tersebut berperan sebagai influencer di kalangan siswa dalam mendeteksi dan mencegah praktik perundungan.”
“Selain itu membuat kampanye anti bullying melalui poster, banner dan bentuk aksi lainnya sebagai bentuk penentangan terhadap praktik bullying di Al-Wahid,” lanjutnya.
Dengan adanya berbagai program itu, diharapkan para siswa dapat menyadari dan secara bersama-sama mencabut praktik perundungan dari akarnya.
“Program Roots mengandung implikasi bahwa sebagaimana perundungan memiliki akar dari kebiasaan yang tumbuh di sebuah lingkungan, termasuk sekolah tentunya, maka penanganannya juga harusnya berangkat dari akar. Hakikatnya gerakan anti perundungan ini merupakan gerakan uprooting (pencerabutan) akar-akar perundungan di lingkungan sekolah oleh para siswa sendiri,” jelas Guru Bahasa Arab itu.
Praktik perundungan laksana gunung es di dunia pendidikan. Tentu saja itu merupakan sebuah ironi, mengingat idealnya sekolah merupakan kawasan yang bebas dari perundungan. Namun faktanya berkebalikan.
Sebagaimana dilansir laman UNICEF berbahasa Indonesia, Global School Health Survey (GSHS) melaporkan bahwa pada tahun 2015, di Indonesia saja, lebih dari 21% anak-anak usia 13-15 tahun atau sama dengan 18 juta anak melaporkan mengalami perundungan dalam setiap bulannya. Urgensi inilah yang mendorong Pemerintah Indonesia, akademisi, serta praktisi pendidikan dan perlindungan anak untuk melaksanakan program pencegahan perundungan berbasis sekolah yang telah dikembangkan oleh UNICEF Indonesia sejak 2017 lalu.
Kontributor: Mubarak