Di tengah perkembangan teknologi infoirmasi yang semakin masif, isu-isu diskriminasi dan intoleransi masih selalu ada dalam bayang-bayang kelompok rentan seperti kalangan disabilitas, minoritas agama, gender dan seksualitas. Guna menepis tindakan tersebut, diperlukan peran dari media-media untuk memberi ruang aman dalam pemberitaan isu-isu keberagaman. Namun, menurut pantauan Sejuk tahun 2021 sampai saat ini, diskriminasi, persekusi dan kekerasan terhadap kelompok rentan, termasuk kelompok ahmadiyah kontribusinya masih banyak dipicu oleh media.
Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Alex Junaidi dalam acara refleksi kemerdekaan yang diadakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) pada Rabu (16/8) di Bogor, mengatakan bahwa jumlah media massa di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 40.000, namun yang terdaftar di Dewan Pers, hanya 2000 media.
Menjamurnya media-media digital, tanpa ada status media yang memenuhi standar, mempengaruhi pada produk yang dihasilkan, konten yang ditawarkan hanya mengikuti selera pemesan informasi, tidak menampilkan produk jurnalistik yang profesional.
“70 persen dari berbagai media yang diteliti itu kalau yang ada terkait keberagaman senangnya berita konflik seperti berita ahmadiyah masjidnya di rusak, atau teman-teman transpuan dikejar-kejar Satpol PP” pungkasnya
Media saat ini cenderung saling ‘berlomba-lomba” dalam memberitakan sebuah peristiwa konflik karena peristiwa konflik memang “seksi” bagi insan pers yang layak untuk dijadikan berita, menurutnya peristiwa yang mengandung konflik dianggap memiliki nilai berita yang termasuk tinggi.
Menurut Alex, informasi yang disuguhkan pada akhirnya semata-mata demi mengejar jumlah pengunjung atau mencapai klik sebanyak-banyaknya. Wartawan berebut klik bait supaya mendapatkan iklan. Ia menjelaskan bila selain memberitakan sebenarnya wartawan pun mempunyai tugas dan peran untuk mengedukasi publik.
“wartawan peran dan tugasnya tidak hanya memberitakan, tidak hanya hiburan, seharusnya juga wartawan mengedukasi publik sebagai watchdog, sebagai pengawas tapi itu tidak dilakukan”
Jika mengacu kepada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers maka fungsi yang harus dimainkan media adalah sebagai penyebar informasi, pendidik, hiburan dan kontrol sosial. Karena media mempunyai peran yang signifikan dalam membentuk opini publik karena mempunyai kekuatan mengonstruksi realitas di masyarakat dalam menyampaikan berbagai informasi serta nilai-nilai kepada masyarakat agar tercipta sikap toleransi sehingga tidak timbul konflik. Jika fungsi-fungsi ini tidak dijalankan oleh media online, bisa jadi kehadirannya tidak memberikan dampak positif.
Maka, media massa sebagai pihak yang netral sudah seharusnya memberitakan peristiwa ini dengan prinsip jurnalisme damai. Media massa harusnya mampu mencari, mengkonstruksi, dan menyajikan fakta-fakta di lapangan secara proporsional tanpa ikut “bermain” dalam pusaran konflik tersebut.