“Ahmadiyah selalu dikaitkan dengan perbedaan yang berujung kekisruhan. Apakah ada masa tenang dalam masyarakat dalam menyikapi perbedaan keyakinan?”
Hal tersebut terlontar dari Saint Peter, Pendeta dari Gereja Kristen Pasundan (GKP), salah seorang peserta Live In di Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kemang, Bogor pada Rabu (19/01/22).
Peserta Live In kali ini adalah 25 orang pegiat toleransi yang tergabung dalam wadah Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), dari berbagai latar belakang profesi yang berbeda. Mereka berasal dari Bandung, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Saat memberikan pengantar dalam diskusi buku “Sumbangsih Ahmadiyah Bagi Negeri”, Ekky, Sekretaris Isyaat PB JAI mengatakan jika Ahmadiyah dibawa masuk oleh Tn. Rahmat Ali, seorang mubaligh yang ditugaskan Hz. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah Ahmadiyah ke 2 pada saat itu, atas permohonan dari para santri Nusantara yang sedang belajar di Qadian, India.
“Ahmadiyah masuk Nusantara pada 1925,” ujar Ekky.
“Tonggak berdirinya Ahmadiyah di Indonesia, ditandai dengan baiat (bergabungnya) 15 orang penduduk Tapaktuan, Aceh pada 25 Desember 1925,” lanjutnya.
Menurut Ekky, ketika di awal mengembangkan Ahmadiyah, para tokoh terdahulu pun berjibaku bersama komponen bangsa yang lain dalam upaya mempertahankan eksistensi kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Khalifah Ahmadiyah ke 2 saat itu, Hz. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, sangat menyokong kelangsungan Republik Indonesia dengan menyerukan semua anggota Ahmadiyah agar terlibat dalam kemerdekaan Republik Indonesia.
“Sebut saja, Sayid Shah Muhammad (Mubaligh dari India), Rd. Moh. Muhidin (Bangsawan Sunda, Tokoh Paguyuban Pasundan), Entoy Moh. Toyib (Tokoh Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia), dan WR Supratman (Pencipta Lagu Indonesia Raya),” ucap Ekky.
Sekarang ini, Ahmadiyah banyak berkiprah melalui pengkhidmatan sosial kemanusiaan. Humanity First adalah sebuah lembaga sayap Ahmadiyah. Lembaga ini telah melakukan kerja-kerja sosial kemanusiaannya, sejak Tsunami di Aceh 2004, gempa bumi di Lombok, dan Palu. Selain itu, ada juga kegiatan donor mata dan donor darah sampai penyediaan air bersih serta pengkhidmatan lain bagi masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Wawan Gunawan, Jakatarub menyatakan bahwa cara berkomunikasi dengan pendekatan budaya, bisa lebih cepat membuat suasana relasi Ahmadiyah dengan masyarakat lebih cepat sembuh dari kisruh. Ini sekaligus bisa menjadi sebuah solusi dalam menyikapi pernyataan berbentuk pertanyaan dari Pendeta Peter.
“Rd. Moh. Muhidin itu seorang tokoh besar berasal dari Sunda. Beliau juga seorang perintis Paguyuban Pasundan. Nasib beliau sama dengan tokoh Sunda lain yakni Otto Iskandardinata. Sama-sama diculik pada era paska Proklamasi yang genting. Serupa juga, jasadnya tidak ditemukan,” kata Wawan.
“Jadi ketokohan Rd. Moh. Muhidin ini harus diberi narasi secara dalam dan kontinyu sebagai jembatan komunikasi Ahmadiyah dengan masyarakat Jawa Barat,” imbuhnya.
Pada kegiatan yang sama, Ridwan Buton, Mubaligh yang juga seorang dosen di Jamiah Ahmadiyah mengatakan jika rukun Islam dan rukun iman yang dianut Ahmadiyah, sama sekali tidak berbeda dengan yang diimani oleh umat Islam yang lain.
“Praktik ibadahnya pun sama,” ujar Ridwan.
“Persamaan utama lainnya adalah seluruh Umat Islam percaya dengan nubuatan Rasulullah Muhammad saw bahwa Al Masih akan datang pada akhir zaman,”lanjutnya.
Kemudian ia menyatakan jika pada titik ini yang pada akhirnya memunculkan perbedaan penafsiran. Ahmadiyah mempercayai Al Masih yang dijanjikan sudah turun dalam wujud Hz. Mirza Ghulam Ahmad (Pendiri Jemaat Ahmadiyah), sedangkan umat yang lain masih menunggu kedatangannya.
Lalu Ridwan memaparkan mengenai kaitan antara Al Masih yang dijanjikan dengan Imam Mahdi. Ia menyatakan bahwa Ahmadiyah percaya jika Al Masih yang dijanjikan dengan Imam Mahdi adalah dua gelar dalam satu wujud.
“Jadi Al Masih yang dijanjikan itu adalah Imam Mahdi juga” ucapnya.
Dosen Jamiah itu pun lantas mengutip sebuah hadis dari Kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (Al-Mushannaf, Juz 8, 192). Hadhrat Ibnu Abi Syaibah adalah Awwalin pengumpul Hadis. Ia juga adalah guru dari Imam Bukhari dan Muslim, yang lahir pada 150 H.
“Al mahdiiya Isa ibnu Maryam, artinya; Al-Mahdi adalah Isa bin Maryam,” imbuhnya.
Berkenaan dengan kepercayaan tentang kedatangan Imam Mahdi di akhir zaman, Wawan, Jakatarub, mengatakan bahwa bagi Syiah, Imam Mahdi sudah turun tapi saat ini masih ghaib dan berada di tempat lain serta akan turun suatu saat nanti. Sementara itu umat Islam NU, masih menunggu kedatangannya. Sedangkan bagi Islam Muhammadiyah, Imam Mahdi itu akan turun bukan berupa sosok (person) melainkan suatu spirit.
“Bagi Ahmadiyah, masalah Imam Mahdi sudah selesai, sempurna dalam wujud pendiri Ahmadiyah,” ucap Wawan.