Lukman Hakim Saifuddin mengaku ditawari menjadi menteri. Tapi baru di masa bakti yang tersisa empat bulan ini ia bersedia dilantik menjadi Menteri Agama.
Majalah Detik 23-29 juni 2014
Rachman Haryanto/detikcom
DI sisa waktu yang sempit, ia bertekad membenahi manajemen haji. Lebih luwes berbicara soal pluralitas dan toleransi antarumat beragama.
::halaman 32
SEJAK awal terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu, Lukman Hakim Saifuddin mengaku ditawari menjadi menteri. Tapi justru baru di masa bakti yang tersisa empat bulan ini ia bersedia dilantik menjadi Menteri Agama. Lukman menggantikan koleganya di Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali, yang mengundurkan diri karena ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Jabatan Menteri Agama menjadi istimewa bagi pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962, ini. Sebab, ayahnya, K.H. Saifuddin Zuhri, menempati pos yang sama pada 1962-1967.
“Saya kayak mimpi saja ketika tiba-tiba harus menjadi Menteri Agama. Saya merasa ada panggilan tersendiri,” kata Lukman kepada majalah detik di kantor Kementerian Agama, 18 Juni lalu.
Lukman memaparkan beberapa persoalan yang dibahasnya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi soal perbaikan manajemen penyelenggaraan haji. Wawasan alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor ini soal isu pluralitas dan toleransi antarumat beragama juga terasa lebih luwes.
Dia, misalnya, tak serta-merta menyalahkan kehadiran kaum Ahmadiyah. Apalagi hendak memaksa mereka kembali bersyahadat seperti banyak didengungkan sebelumnya.
Seperti apa persisnya pandangan Lukman soal perbaikan manajemen haji dan toleransi? Simak petikan perbincangannya berikut ini.
Sehari setelah dilantik, Anda mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada apa?
Penyelenggaraan haji ini menjadi fokus kami dalam empat bulan ke depan, sehingga saya sangat berkepentingan mendatangi KPK untuk
::halaman 33
mengetahui apa saja hasil-hasil pemantauan lembaga itu, sekaligus apa saja rekomendasi-rekomendasinya. Pada saat yang sama, saya juga menyampaikan hasil temuan dan masukan-masukan dari kalangan internal kepada KPK. Ada sejumlah masalah yang perlu mendapatkan kesamaan cara pandang, sehingga tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Apa persoalan krusial dalam penyelenggaraan haji yang berpotensi menimbulkan masalah hukum?
Misalnya soal sisa kuota (jemaah) pemberangkatan. Ini selalu menjadi masalah karena, faktanya, sisa kuota itu sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Hal itu bisa terjadi karena ada jemaah haji yang telah ditetapkan untuk berangkat pada tahun tertentu, namun, karena satu dan lain hal, berhalangan. Misalnya meninggal, sakit, atau salah satu pasangannya, istri atau suami, tak bisa berangkat secara bersamaan pada saat itu, sehingga mereka membatalkan diri. Akhirnya terjadilah kekosongan.
Lantas, siapa yang mengisi kekosongan itu? Ya, tentu, sesuai dengan sistem urut kacang,
mereka yang berada pada urutan teratas dalam daftar tunggu. Masalahnya, ternyata tidak
semua orang yang masuk dalam urutan atas itu semua siap. Ada berbagai alasan, karena
::halaman 34
kesiapan mental, dana, kesehatan, dan sebagainya. Akhirnya, terjadilah sisa kuota.
Ini yang kemudian dinilai menjadi potensi penyimpangan?
Ya. Karena keterbatasan waktu dan berdasarkan pengalaman menteri-menteri terdahulu, itu digunakan untuk memenuhi permintaan berbagai kalangan. Mulai instansi pemerintah, lembaga negara, ormas keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat, termasuk dari teman-teman kalangan pers. Semua
merasa perlu diprioritaskan. La, apa enggak bikin pusing itu? Karena asas manfaat, mengingat sewa pemondokan, transportasi, dan lainnya sudah dibayar, maka digunakan untuk itu. Tapi mereka bayar ongkos sendiri, bukan dari dana haji. Cuma tidak ikut antre saja. Inilah yang dinilai tidak adil.
Secara legal-formal, pemanfaatan sisa kuota itu diizinkan?
Dalam hal ini tidak ada aturan yang tegas. Dalam ketentuan, harus dikembalikan pada daerah yang mendapat kuota tersebut untuk
::halaman 35
digunakan secara maksimal dengan diberikan kepada urutan berikutnya, berdasarkan urut kacang. Hanya, dalam kenyataannya, pemanfaatan itu tidak bisa dilakukan secara maksimal karena berbagai alasan tadi. Itulah antara lain yang saya konsultasikan kepada KPK, sehingga, ke depan, kalau di kemudian hari ada masalah, saya tidak dipermasalahkan.
Menurut Anda sendiri, sebaiknya bagaimana?
Ya, kalau saya mau mencari safe, demi keselamatan saya, ya sisa kuota berapa pun adanya itu dikembalikan saja. Tetapi, yang saya minta, jangan sampai nanti (oleh KPK) saya justru dianggap
inefisiensi. Tidak bisa menyerap secara maksimal, padahal tempat pemondokan, transportasi, dan
konsumsi di Mekah dan Madinah itu sudah disewa, dibayar. La, kalau kemudian tidak terisi, itu
kan inefisiensi. Masalah lagi, kan?
Sehari setelah dilantik menjadi Menteri Agama, Lukman menyambangi gedung KPK, 10 Juni. (lamhot aritonang/detikcom)
Jadi, pemanfaatan sisa kuota itu memang tidak ada landasan hukumnya?
Tidak ada aturan yang secara eksplisit memperbolehkan seperti itu. Tapi ini merupakan kebijakan yang ditempuh oleh peme-
::halaman 36
rintah, yang di kemudian hari dipermasalahkan KPK.
Apa solusi alternatif yang dihasilkan bersama KPK?
Belum ada solusi yang benar-benar mujarab.
Soal sewa pemondokan, transportasi, dan konsumsi tak bisa direnegosiasi bila ada sisa kuota?
Persoalannya, masalah ini kan bukan G to G, tetapi dengan pihak pemilik atau broker-broker. Tetapi broker itu kan berlisensi, kredibel. Dan yang menjadi masalah kan dalam sewa itu satu paket. Misalnya kita sewa satu kompleks pemondokan yang isinya 25 bangunan. Nah, ketika yang kita butuhkan ternyata hanya 20 bangunan, yang 5 bangunan itu juga harus dibayar. Tidak bisa tidak. Ini yang kemudian dinilai merugikan negara.
Ini yang sedang kami cari persamaan persepsi (dengan KPK). Karena, di lapangan, kenyataannya, tentu ada deviasi-deviasi, tinggal berapa besar deviasi itu bisa ditoleransi. Bukan berarti kita membenarkan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang… bukan, bukan itu.
Selain teknis penyelenggaraan haji yang berpotensi diselewengkan, bagaimana soal pengelolaan dana?
Kami saat ini tengah mendorong lahirnya undang-undang yang memungkinkan
::halaman 37
berdirinya lembaga independen semacam BLU (Badan Layanan Umum), yang khusus mengelola dana haji. Mereka yang duduk di dalam lembaga itu tidak harus pegawai negeri sipil atau dari lingkungan kementerian ini saja. Mereka bisa berasal dari luar atau bahkan kalangan swasta. Syaratnya ber-
integritas, berkualitas, dan profesional. Jadi, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji
tak lagi mengelola dana. Kami juga minta agar ada verifikasi yang intensif terhadap kondisi pemondokan di Mekah. Jangan sampai ada yang berusia tua. Begitu juga sarana transportasi, seperti bus dan katering.
Beberapa kalangan menduga kedatangan Anda ke KPK sebagai bagian dari upaya menyelamatkan SDA?
Ha-ha-ha…, sama sekali tidak benar. Bagaimana mau menyelamatkan Pak SDA? Kita hormati saja proses hukum. KPK tidak bisa diintervensi, apalagi yang mengintervensi saya.
Anda merasa ada distorsi kepercayaan masyarakat terhadap kementerian ini?
::halaman 38
Oh, iya, iya, saya menyadari betul hal itu. Beberapa kasus yang terjadi belakangan memang menjadikan tingkat kepercayaan publik terhadap Kementerian Agama berada pada titik yang cukup rendah. Bahkan mungkin terendah dalam sejarah kementerian ini. Karena itulah menjadi tanggung jawab saya untuk mengembalikan kepercayaan itu. Karena itu, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menjadi pertaruhan bagi kami, apakah bisa memenuhi harapan masyarakat atau, kalau tidak bisa, masyarakat bisa mengerti apa duduk masalahnya.
Pekerjaan besar Anda yang lain adalah isu pluralitas terkait keyakinan. Bagaimana Anda melihat?
Ini persoalan klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Jangan pernah punya pretensi, persoalan seperti itu akan hilang atau berhenti. Mengapa? Karena ini persoalan keyakinan yang ada dalam diri masing-masing orang. Sedangkan keyakinan atau agama itu mempunyai misi dakwah, menyebarluaskan ajaran. Karena itu, gesekan-gesekan pun akan terjadi. Saya mengajak semua agama, terutama
::halaman 39
tokoh-tokoh agama, untuk menyebarkan agamanya sesuai dengan esensi dari agamanya. Tujuan agama itu kan memanusiakan manusia, perdamaian, keselamatan. Seharusnya itu yang dikedepankan.
Jadi, soal toleransi?
Iya, toleransi itu kan kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain. Jangan bicara toleransi bila ternyata tidak memahami atau mengerti apa kebutuhan dan keberadaan orang lain. Jangan bicara toleransi kalau hanya banyak menuntut orang lain mengerti dan memahami dirinya. Seharusnya juga proaktif, dirinyalah yang proaktif mengerti dan memahami orang lain yang berbeda dengan dirinya. Terlebih, faktanya, Indonesia itu majemuk, plural.
Beberapa waktu lalu ada pernyataan
::halaman 40
agar Ahmadiyah tidak memakai embel-embel Islam hingga mereka bersyahadat kembali. Menurut Anda?
Begini, dalam hal itu, prosesnya, yang mainstream atau yang arus besar harus memiliki kesediaan untuk mengayomi yang belum besar. Sebab, mereka itulah yang perlu dirangkul dan diajak untuk mengedepankan titik-titik persamaannya. Tetapi kita juga harus memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya perbedaan itu sunatullah, sesuatu yang given. Memang dari sananya Tuhan itu menciptakan perbedaan-perbedaan itu. Jadi, kesadaran seperti itu yang harus dibangun.
Artinya, eksistensi aliran dan keyakinan yang berbeda, seperti Ahmadiyah dan Syiah, juga diakui?
Ya, saya pikir harus ada kesadaran memahami itu, karena yang dituntut dari kita adalah mengajak (memahami keyakinan kita). Soal hasilnya, itu bukan urusan kita lagi, tapi urusan pribadi masing-masing dengan Yang Ada di Sana (Tuhan).■
ARIF ARIANTO
Nama: Lukman Hakim Saifuddin
Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta,25 November 1962
Istri: Trisna Willy
Anak: Naufal Zilal Kemal, Zahira Humaira, Sabilla Salsabilla
Pendidikan:
- Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 1983
- Sarjana (S-1) Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta, 1990
Organisasi:
- Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, 1985-1988
- Sekretaris Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, 1988-1999
- Wakil Ketua Umum PPP, 2009 sampai sekarang
Karier:
- Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014
- Anggota DPR RI Periode 2004-2009
- Anggota DPR RI Periode 1999-2004
- Anggota DPR RI Periode 1997-1999
- Project Manager Helen Keller International, Jakarta, 1995-1997
Karya:
Buku Riwayat Hidup dan Perjuangan PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI Ulama Pejuang Kemerdekaan, 2013. Disusun bersama Ali Zawawi, Zubairi Hasan, dan Sahlul Fuad.