Semarang, (12/10). Sejak pagi, masjid Nusrat Jahan sudah disibukkan dengan berbagai persiapan. Hari ini, direncanakan sekitar 40 orang anggota komunitas Gusdurian yang mayoritas adalah mahasiswa UIN Walisongo akan berkunjung dan berdiskusi dalam tema besar ‘Get to Know Ahmadiyah dan Teologi Kedamaian dalam Perspektif Ahmadiyah’.
Kunjungan ini adalah rangkaian kegiatan ‘Semarang Religius Diversity’ yang mereka gagas, setelah sebelumnya rombongan mengunjungi gereja Katedral dan kali ini Jemaat Muslim Ahmadiyah dipilih untuk membuka ruang tabayyun atas beragam persepsi yang muncul di masyarakat tentang organisasi ini.
Peserta mulai memadati ruang masjid dengan rapi. Diawali dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an oleh perwakilan mahasiswi, acara dilanjutkan dengan diskusi padat dan berisi yang disampaikan langsung oleh Maulana Syaefullah selaku Mubaligh Daerah Jateng 3.
Tampilan-tampilan slide show silih berganti memaparkan penjelasan mendalam tentang Ahmadiyah, yang sama sekali tidak menampakkan perbedaan dengan akidah Islam yang dianut oleh orang non-ahmadi. Ahmadiyah juga meyakini rukun Islam yang sama. Mereka tetap mengucapkan dua kalimat syahadat, dan bukan tiga kalimat seperti yang pernah terdengar di luaran. Mereka pun tidak melakukan haji ke Pakistan atau Qadian seperti yang banyak dituduhkan, melainkan ke kota Mekah Al-Mukaromah sebagai satu-satunya tempat berhaji bagi umat muslim.
Pertanyaan pun satu-persatu terlempar dari para peserta diskusi. Keheranan mereka mencuat melihat pemaparan Maulana Syaefullah yang secara tidak langsung memberikan jawaban telak bahwa, Ahmadiyah adalah Islam. Beberapa pertanyaan yang kerap menjadi trigger persekusi di luaran pun terjawab dalam diskusi ini, yaitu tentang ‘Khatamman nabiyyin’, kewafatan nabi Isa, khalifah Ahmadiyah, konsep dan pemilihannya, hingga ke metode tarbiyat ke seluruh pelosok dunia melalui MTA, yang membuat para anggota ahmadi tetap bertahan dalam iman meskipun dipersekusi.
Pesan kedamaian, bukan hal baru bagi Ahmadiyah. Sudah sejak berabad lalu mereka mengampanyekan Islam damai. Berdakwah dalam damai tanpa paksaan. Karena sejatinya, memeluk keyakinan adalah sebuah kenikmatan rohani, bukan jalan yang bisa dengan mudah dipersekusi.
Maulana Syaefullah menjawab langkah dakwah damai dalam enam prinsip yang dinasihatkan oleh khalifah, yaitu: Loyalty, kesetiaan pada bangsa dan negara adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah taala. Freedom, kemerdekaan sebagai individu, bangsa, dan penganut keyakinan beragama. Equality, prinsip persamaan, sebagaimana teladan Rasulullah (saw) yang tidak menyukai fanatisme sempit karena ras atau suku bangsa, karena sebaik-baik manusia di hadapan Allah adalah mereka yang memiliki ketakwaan. Respect, saling menghormati dan menghargai antar bangsa, agama, dan aliran agama. Peace, terciptanya kedamaian di antara bangsa, agama, dan aliran agama. Love for All, Hatred for None, misi untuk mencintai semua orang dan tidak membenci siapapun.
Kampanye kebaikan yang selalu dilakukan, salah satu tujuannya adalah tabayyun, menjawab tuduhan-tuduhan dengan data yang objektif. Dalam diskusi ini pun, disajikan dengan data-data yang objektif yang bersumber tidak hanya dari buku-buku internal Ahmadiyah saja, melainkan juga dari data nasional seperti hasil penelitian dan pengembangan Departemen Agama tahun 2008 yang menyatakan bahwa 99% ahmadiyah sama dengan Islam.
Ada lagi beberapa sumber buku yang dijadikan bahan studi komparasi untuk menjawab beragam persepsi yang muncul di masyarakat. Beberapa buku yang ditulis oleh ulama Nahdhliyin juga banyak yang memberikan jawaban yang sama, seperti jawaban yang tertulis di buku-buku karangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pendiri jemaat Ahmadiyah.
Penjelasan tentang ‘tidak adanya perbedaan’ ini bahkan menyentuh kepada isu pengakuan ‘khataman nabiyyin’, yang sering dijadikan amunisi oleh pihak yang tidak menginginkan kehadiran Ahamdiyah.
Pertanyaan ini datang dari salah seorang mahasiswi, tentang makna ‘khataman nabiyyin’ dalam perspektif Ahmadiyah. Dijelaskan dengan menampilkan berbagai sumber bahwa, pada kenyatannya, Ahmadiyah pun mengakui nabi Muhammad salallaahu alaihi wasallam sebagai khotamul anbiyya. Bagaimana bisa? Bukankah selama ini tersiar kabar bahwa mereka punya nabi ke-26?
Sebuah ‘closing statement’ dari Bapak Abdus-Somad selaku ketua Jemaat Muslim Ahmadiyah Cabang Semarang secara tersirat menyampaikan bahwa masjid Ahmadiyah sangat terbuka bagi siapapun yang ingin beribadah di dalamnya. Begitu pun para Mubaligh dan pengurus yang akan menyambut dengan tangan terbuka siapapun yang ingin mengenal lebih dalam tentang Ahmadiyah. Salam damai. Love for All, Hatred fo None.
Reportase oleh: Rahma Roshadi