HINGGA saat ini masa ada sekitar 30 keluarga Ahmadiyah yang hidup di pengungsian di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Sejak tujuh tahun silam, jemaah Ahmadiyah mengungsi dari desa mereka di Ketapang, Lombok Barat setelah sebelumnya mengalami intimidasi dan kekerasan yang berujung pada pengusiran paksa.
Sejak saat itu hidup mereka terombang-ambing dalam ketidakpastian hidup dalam banyak hambatan sosial dan ekonomi.
Di Wisma Transito sehari-hari mereka hidup di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain bekas spanduk, kardus atau karung sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain.
Di petak yang sempit dan pengap itu mereka berbagi tidur, memasak dan melakukan aktifitas keluarga lainnya di ruang yang sama penuh dengan keterbatasan.
“Kami berada di lingkungan istilah kami Pakumis, padat kumuh dan miskin, karena tujuh tahun mengungsi tinggal di barak-barak dengan ruangan ukuran 3×3 meter bahkan 2×3 meter disekat kain bekas, karung dan kain sisa spanduk” kata Nashirudin Ahmadi, seorang mubaligh Ahmadiyah.
Selama tinggal di penampungan, kebutuhan hidup mereka sempat ditopang sembako bantuan pemerintah daerah, tetapi sejak 2007 tidak ada lagi bantuan yang mengalir.
Agar tetap bertahan hidup, mereka kerja serabutan, menjadi kuli, mengasong, atau tukang ojek dijalani demi sesuap nasi.
Padahal saat hidup di kampung dulu mereka terhitung berkecukupan, memiliki tanah dan rumah serta pekerjaan tetap.
“Banyak yang sudah menjual tanah mereka di kampung untuk menutupi biaya hidup disini,” kata Nashirudin.
Sejarah Ahmadiyah
- Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad bergelar sebagai Mujaddid, al-Masih, dan al-Mahdi.
- Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah dipimpin Shadr Anjuman Ahmadiyah. Kemudian diganti Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Bashiruddin adalah anak Mirza Ghulam Ahmad. Pada masa kepemimpinan inilah Ahmadiyah pecah.
- Bashiruddin berpendapat bahwa al-Masih al-Mau’ud itu betul-betul nabi. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya, hukumnya kafir, dan keluar dari Islam. Menurut Bashiruddin, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir.
- Jemaah yang menentang Bashiruddin, lalu keluar, dan membentuk Ahmadiyah Anjuman Isya’ati atau dikenal dengan Ahmadiyah Lahore, karena berpusat di Lahore, Pakistan. Ahmadiyah Lahore tetap bersikukuh Mirza hanyalah pembaru Islam di abad itu.
- Di Indonesia, Ahmadiyah dibawa oleh tiga pemuda dari Sumatera Thawalib yakni suatu pesantren di Padangpanjang, Sumatera Barat.
- Mereka adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan.
- Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam.
- Para pengikut Bashiruddin, dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Berpusat di Parung, Bogor.
- Sementara Ahmadiyah Lahore, bermarkas di Yogyakarta, dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
‘Unsur politis’
Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah naik drastis pasca rezim Suharto, dan semakin meningkat di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono setelah mengeluarkan SKB 2008 yang dianggap anti Ahmadiyah.
Derita jemaah Ahmadiyah dimulai sekitar tahun 1999, saat itu Ahmadiyah Lombok kali pertama diserang oleh orang-orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Mesjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar.
Satu orang meninggal dalam insiden yang berujung pada pengusiran paksa semua orang Ahmadiyah di Bayan. Pada 2001, giliran Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur yang menjadi sasaran serangan, mereka juga dipaksa pergi dari kampungnya.
Sejak saat itu berkali-kali jemaah Ahmadiyah berpindah tempat mencari penghidupan ke sekitar Lombok dan Sumbawa. Sejumlah kepala keluarga sempat membeli tanah dan membangun rumah di daerah Ketapang, tapi rumah mereka kembali menjadi sasaran amuk massa.
Tinggal di penampungan juga tidak berarti lepas dari beban. Menurut Nashirudin, sejumlah jemaah Ahmadiyah “mengalami stres dan bahkan gila” selama tinggal di penampungan.
Meski belakangan teror fisik berkurang tetapi mereka mengaku masih mengalami intimidasi yang justru datang dari tokoh agama setempat.
“Masih ada teror yang kami jumpai terutama dari siaran ceramah yang sering kali mendiskreditkan kami, padahal yang mereka sampaikan itu salah sehingga mempengaruhi warga sekitar,” kata Syahidin seorang pengungsi Ahmadiyah di Transito.
“Ucapan Ahmadiyah itu sesat, nabinya bukan Muhammad yang saya sayangkan ini diucapkan oleh tokoh agama di sini,” ujar Syahidin.
“Kami salah apa, sampai harus seperti ini, hanya karena meyakini suatu keyakinan yang ini benar menurut Allah,” tambah Nashiruddin.
“Karena keyakinan kami ada kelompok yang tidak suka dan tidak paham dengan kami, melakukan anarkis dan pengusiran, akhirnya kami ada di sini.”
Nashiruddin menambahkan adanya unsur politis yang memperkuat pengusiran terhadap mereka.
“Ahmadiyah di NTB itu ada sejak tahun 1960-an… Tahun 70-an berkembang pesat .. Mulai terjadi letusan tahun 1998 dan paling besar 2002, artinya selama 30 tahun tidak ada masalah apa-apa, bahkan di Lombok Timur konsentrasi terbesar kami saat itu sangat kondusif.”
“Kami semua bersaudara, banyak paman, bibi kami yang Nahdatul Ulama atau Nahdatul Wathan … Semakin menjadi masalah setelah keluarnya SKB Menteri yang justru mempertajam konflik.”
Nashirudin menyayangkan kesalahpahaman terhadap ajaran Ahmadiyah, “karena salah paham tentang ajaran Ahmadiyah, akar rumput menjadi bergejolak akibat isu yang tidak benar soal Ahmadiyah.”
Ahmadiyah menafsirkan setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah nabi yang tak membawa syariat baru.
Majelis Ulama Indonesia menyatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam terutama Islam radikal yang tak sependapat dengan akidah Ahmadiyah itu yang akhirnya menganggap Ahmadiyah sesat.
Relokasi dan realistis
“Saya tidak ingin menetap selamanya di sini tanpa ada kepastian atas masa depan kami,” demikian jawaban Syahidin saat ditanya BBC sampai kapan mereka akan tinggal di penampungan.
“Kami seperti menumpang di negeri sendiri, padahal kami warga asli di sini.”
Syahidin sendiri pernah keluar dari penampungan Wisma Transito, bersama keluarganya dia pindah ke satu daerah, tetapi “harus kembali karena lagi-lagi diusir oleh warga setelah tahu kami jemaat Ahmadiyah.”
Pemerintah Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sejak 2010 silam berencana akan menempatkan para penganut ajaran Ahmadiyah ke salah satu pulau di Kecamatan Sekotong. Pemkab Lombok Barat disebut telah menyediakan anggaran sebesar Rp710 juta untuk relokasi ini.
Tetapi nyatanya hingga sekarang rencana tersebut belum terlaksana. Nashirudin mengatakan : “Kami sangat terbuka dan positif atas wacana ditempatkan satu pulau. Tapi itu hanya opini di surat kabar, ketika audiensi dengan kami beda lagi.”
“Kami bahkan membentuk tim untuk mensurvei pulau yang dimaksud, tapi ternyata penduduk disana hanya dua kepala keluarga dan mereka tidak tahu adanya rencana tersebut.. Istilahnya adalah ini seperti makanan yang belum matang tapi sudah disajikan,” ujar Nashirudin.
Para pengungsi Ahmadiyah mengaku tidak tahu sampai kapan mereka akan tinggal di Wisma Transito.
“Kami iri dengan saudara kami Syiah di Sampang, Madura yang kabarnya akan dibangunkan pemukiman oleh Kementerian Perumahan Rakyat padahal mereka baru setahun kurang mengungsi dibandingkan kami yang sudah tujuh tahun, mengapa kami tidak disentuh… Kenapa kami dibuat susah, masalah KTP saja kami sampai sekarang belum ada,” kata Nashirudin.
Tujuh tahun terlantar di penampungan, para pengungsi Ahmadiyah kini mengaku realistis atas sejumlah tuntutan mereka. “Harapan kami dulu banyak, menuntut kerugian sampai sekian miliar, penegakan hukum sampai jaminan sosial.”
“Sekarang keinginan kami mengerucut pada keinginan adanya jaminan keamanan dan kebebasan. Kapan dan dimanapun kami tinggal tanpa ada intervensi dan intimnidasi dari siapapun, jaminan dari pemangku jabatan maupun kepolisian,” kata Nashirudin seraya menambahkan bahwa tanpa diminta pun mereka akan tetap keluar dari penampungan, “daripada hidup terlantar.”
Tetapi tanpa ada jaminan keamanan Nashirudin mengaku pesimistis “Kami seperti di dalam penjara, seperti tahanan kota.”
—
Sigit Purnomo | Wartawan BBC di Jakarta
BBC; 3 Agustus 2013 – 09:45 WIB; akses: 21 April 2014 – 14:25 WIB