SEJUMLAH anak kisaran usia tiga hingga tujuh tahun terlihat bermain di depan Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Mereka bernyanyi atau sekadar bercanda melepas tawa, sekilas tidak ada beban yang terpancar dari wajah lugu anak-anak Ahmadiyah ini.
Padahal banyak di antara mereka yang tidak bersekolah seperti teman-teman sebaya mereka.
Tak jauh dari mereka ada dua ibu yang tengah mengasuh bayi sambil menjaga dua anak perempuan lainnya, “sedang mengobrol saja melepas penat, di dalam gerah” kata seorang ibu ketika disapa wartawan BBC Indonesia, Sigit Purnomo.
Kondisi penampungan yang mereka tempati – ruangan bersekat dan sempit yang dipisahkan oleh terpal atau kain bekas – memang sangat tidak layak bagi tumbuh kembang anak-anak. Tapi bagi anak-anak ini adalah kampung halaman mereka.
“Mereka tidak tahu kampung halaman yang sebenarnya ada dimana,” kata Syahidin kordinator pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, NTB.
“Sejak mengungsi tujuh tahun lima bulan yang lalu, sudah ada 24 anak yang lahir di tempat penampungan ini,” tambah Syahidin.
“Mereka dicabut dari akarnya. Semua hilang, tinggal bayangan dan cerita saja jika ditanya soal kampung halaman.”
‘Imbas diskriminasi’
Bukan hanya kehilangan sejarah keluarga, anak-anak ini juga terancam kesulitan untuk melanjutkan pendidikan, karena tidak memiliki akta kelahiran sebagai salah satu persyaratan untuk bisa mendaftar ke sekolah.
Menurut Syahidin, anak-anak ini terkena imbas atas perlakuan diskriminasi pemerintah setempat yang dianggap telah menghilangkan hak warga negara bagi jemaah Ahmadiyah.
“Kebanyakan tidak memiliki akta kelahiran karena kami tidak memiliki kartu kependudukan, akibatnya banyak anak yang tidak bisa mendaftar ke sekolah,” kata Syahidin yang mengaku anaknya juga mengalami diskriminasi karena ditolak saat mendaftar masuk Pendidikan Anak Usia Dini, PAUD, setempat.
Syahidin menambahkan dirinya kesulitan mendapatkan dokumen kependudukan karena semua berkas miliknya termasuk buku nikah, hangus terbakar saat sekelompok massa anti Ahmadiyah menyerang kampungnya di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
“Ada juga yang bisa memiliki akta kelahiran karena dibantu oleh keluarga dalam pembuatannya, tetapi saat bersekolah di dalam kelas, anak-anak Ahmadiyah duduknya dipisahkan dengan anak-anak lain.”
Komnas Perempuan dalam sebuah laporan tahunan menyebut perempuan dan anak Ahmadiyah menjadi korban diskriminasi berlapis. Dalam temuannya Komnas Perempuan menyatakan anak-anak Ahmadiyah mengalami pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran terhadap hak anak untuk bebas dari diskriminasi dan hak anak atas pendidikan.
Cari jalan keluar
Dinas Pendidikan dalam sebuah pemberitaan media setempat menyebut akan memberi dispensasi dan menjamin anak-anak Ahmadiyah ini memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Tapi kenyataan di lapangan yang ditemui jemaah bertolak belakang dengan pernyataan tersebut. “Kami masih sulit mendaftarkan anak kami ke sekolah,” kata Nurhidayati yang memiliki dua orang anak.
“Perasaan sedih terutama untuk masa depan anak-anak jika mereka tidak sekolah, belum ada bayangan bagaimana masa depan mereka karena tidak tahu sampai kapan tinggal di sini,” tambah Nurhidayati.
Nurhidayati sendiri mengaku pernah diungsikan ke Wanasigra, Jawa Barat saat masih duduk di bangku SMP dulu agar bisa tetap bersekolah.
Pengurus Pusat Ahmadiyah sebelumnya memiliki kebijakan mengungsikan puluhan anak Ahmadiyah ke sejumlah daerah seperti Wanasigra dan Tasikmalaya Jawa Barat agar mereka bisa tetap bersekolah.
Tetapi kebijakan ini justru dianggap rentan mengalami eksploitasi dan perdagangan anak sehingga banyak anak Ahmadiyah yang menolak atau kembali ke Lombok, NTB.
“Psikologis anak jauh berbeda dibandingkan tinggal sendiri, hal negatif banyak yang mempengaruhi anak-anak. Sekarang sama suami mencari cara bagaimana bisa keluar dengan perlahan dari sini meski tanpa bantuan dari pemerintah. Karena saya mikir masa depan anak-anak,” ujar Nurhidayati.
BBC | Sigit Purnomo | Wartawan BBC di Jakarta