Saya sudah mengenal Jemaat Ahmadiyah sejak 50 tahun yang lalu, yaitu masa saya memulai studi saya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar. Seterusnya, sebagai aktivis mahasiswa di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar, pengenalan kami kepada Jemaat Ahmadiyah di Makassar sama dan serupa dengan pengenalan kami kepada ormas-ormas Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Alkhaerat, Darud Dakwah wak Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah dan banyak organisasi keagamaan dan kemahasiswaan lainnya pada masa itu. Yaitu, ormas-ormas Islam itu memiliki kesamaan-kesamaan pokok di samping perbedaan-perbedaannya. Biasa-biasa saja. Sesekali, pada masa itu, saya melihat pemimpin Jemaat Ahmadiyah, yang kami kenal bernama Saleh Nahdi, berkunjung ke kampus kami kuliah, yang pada masa itu di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), karena IAIN belum memiliki kampus sendiri. Tidak ada perhatian khusus, apalagi bereaksi terhadap pemahaman keislaman Ahmadiyah yang dipandang berbeda dengan pemahaman ormas Islam lainnya, perbedaan mana juga terdapat di antara sesama ormas Islam lainnya.
Orang-orang Muslim yang bermazhab Sunni (Sunnah), yang di Indonesia warga Muslimnya pada umumnya bermazhab Sunni, pengertian Islam mereka dasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw. yang sangat populer, yakni ketika Nabi Allah itu didatangi oleh malaikat Jibril dan bertanya: Apakah Islam itu?, Nabi Allah itu menjawab: “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, dan kamu melaksanakan salat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan berhaji bagi yang sanggup berkunjung ke sana (ke Tanah Suci)”. Jawaban Nabi Muhammad tersebut kemudian terkenal sebagai “Rukun Islam yang Lima” atau “Lima Rukun Islam”. Pengakuan dan pelaksanaan terhadap kelima rukun itu, menyebabkan seseorang disebut sebagai Muslim. Tegasnya, dalam paham Sunni, seseorang disebut Muslim jika kelima rukun tersebut diakui dan dianut. Sepanjang pengetahuan saya, kelima rukun sebagai tanda keislaman seseorang, juga dianut dan dilaksanakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Muslim Ahmadi (Ahmadiyah), sama seperti Muslim Sunni (Sunnah), menerima dan melaksanakan kelima rukun Islam tersebut. Di dalam buku Dasar-Dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang diterbitkan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dinyatakan bahwa “Anggota Jemaat Ahmadiyah adalah Islam, kitab sucinya Al-Quran yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah, nabinya Nabi Muhammad Saw berdasar kepada 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman”.
Dengan demikian, adalah keliru pandangan yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah bukan Islam. Dengan kata lain, rukun Islam Muslim Sunni sama dengan rukun Islam Muslim Ahmadi (Ahmadiyah). Saya ingin menambahkan, bahwa kelima rukun Islam tersebut, juga dianut dan dilaksanakan oleh orang-orang Muslim yang bermazhab Syii (Syiah). Jadi, di planet bumi ini, di mana ada tiga peta atau mazhab besar kaum Muslimin, yaitu: Muslim Sunni (Sunnah), Muslim Syii (Syiah), dan Muslim Ahmadi (Ahmadiyah), ketiganya adalah Islam.
Dalam riwayat hadis yang saya singgung di atas, malaikat Jibril juga bertanya kepada Nabi Muhammad saw.: Apakah iman (keimanan) itu? Nabi Muhammad menjawab bahwa iman adalah bahwa kamu beriman (percaya) kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhirat, dan takdir baik dan buruk. Seperti tadi rukun Islam, ulama kemudian merumuskan jawaban Nabi tersebut sebagai “Rukun Iman yang Enam” atau “Enam Rukun Iman”.
Sungguh menjadi penting untuk menjadi perhatian kita bersama, terutama kaum Muslimin dalam ketiga peta atau mazhab besar tadi: Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah, bahwa justeru dalam hal rukun iman, hal yang paling mendasar dalam keberagamaan seseorang, kaum Muslimin tidak persis sama dalam beberapa cabang dari rukun iman tersebut. Dalam sejarah pemikiran Islam, bidang studi yang saya tekuni, dijelaskan bahwa pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi, atau sekitar satu abad setelah wafatnya Nabi Muhammad, di tengah kaum Muslimin lahir kelompok Muslim yang dikenal dengan nama Muktazilah. Muslim Muktazilah menganut lima prinsip keimanan, atau al-Ushul al-Khamsah, yaitu: “Tauhid, Keadilan, Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman Allah pasti terlaksana), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi tidak beriman dan tidak kafir bagi pelaku dosa besar), dan Amar Makruf dan Nahi Munkar”. Itulah Lima Rukun Iman Muslim Muktazilah, yang dalam sejarah pemikiran teologi Islam, sudah dikenal sejak masa yang masih awal dari sejarah Islam. Juga, pada masa yang amat dini itu, Rukun Iman yang Lima dari Muslim Syii (Syiah) sudah dikenal di dalam studi-studi keislaman. Lima Rukun Iman Muslim Syii (Syiah) adalah percaya kepada: “Ketauhidan Allah, Keadilan, Kenabian, Kebangkitan, dan percaya kepada Keimamahan (Imamiah)”.
Jadi, ketiga versi rukun keimanan, di mana yang satu dengan lainnya tidak persis sama tersebut, sebenarnya sudah menjadi pengetahuan di kalangan terpelajar dan terdidik dari kaum Muslimin. Pengetahuan tentang ketiga versi keimanan itu, baru diketahui semakin meluas, ketika zaman kita, sebagai akibat dari kemudahan yang diciptakan oleh ilmu pengetahaun dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan transportasi, terjadi pergerakan manusia lintas negara dan benua, selain tersebarnya buku-buku keislaman di negeri-negeri Islam. Keterbukaan zaman kita sekarang, mencegah kita untuk menyatakan bahwa hanya satu saja dari ketiga mazhab besar Islam itu, adalah Islam, dua yang lainnya bukan Islam. Hal ini dikemukakan di depan Majelis Mahkamah yang mulia ini, di sini, agar biarlah secara berangsur-angsur di negara ini dan segenap warga negaranya, terbangun kesadaran bahwa karena sama persis Rukun Islamnya, maka kaum Sunni, Syiah dan Ahmadiyah, semuanya adalah kaum Muslimin, meskipun dalam rukun keimanan, mereka tidak persis sama! Perbedaan di antara ketiganya adalah perbedaan di dalam memahami kitab suci Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw., yang sama-sama mereka sucikan. Perbedaan itu tumbuh dan wujud dalam proses dan produk sejarah kaum Muslimin. Khususnya, Muslim Ahmadi (Ahmadiyah) sebagai produk sejarah Islam yang baru berusia satu abad lebih. Karena kesadaran historis demikian, pada hemat saya, Prof. M. Quraish Shihab menyatakan, bahwa “Orang yang masih mempertentangkan Sunni-Syiah adalah orang yang lahir terlambat”. Saya ingin menambahkan pernyataan Quraish Shihab itu, dengan menyatakan: “Orang yang masih mempertentangkan Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah seharusnya lahir pada abad-abad yang silam”.
Maka, saya menjadi heran, pada zaman yang sudah terbuka sekarang, di banding lima puluh tahun yang silam ketika saya mengenal Ahmadiyah, di sini, di negara ini, orang-orang Muslim Ahmadiyah mengalami kesulitan dan tindakan kekerasan. Padahal saya tahu, konstitusi negara kita menerangkan dan menegaskan, bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”; bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”; ”bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”; bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,…”; dan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayannya itu”. Bagi saya, posisi negara sangat terang dan jelas, yaitu berdiri tegak di atas konstitusi, menjaganya, menegakkannya, dan melindungi segenap warganya untuk merasa nyaman dan damai berkonstitusi di negeri ini.
Maka, jika orang-orang Muslim Ahmadiyah dinodai, dihina, dirusak dan dibakar masjid mereka sebagai tempat mereka beribadah, saya layak bertanya, di manakah spirit konstitusi kita pada penodaan dan penghinaan rumah ibadah yang demikian? Sekiranya pun saya tidak paham, bahkan tidak tahu, tentang konstitusi Republik Indonesia, saya pasti akan terkesima, tertegun, merasa berdosa dan beristigfar memohon ampun kepada Allah kalau mengetahui ada gereja, sinagog, kuil, dan rumah ibadah dibakar karena kemarahan. Tanpa konstitusi pun, saya sadar bahwa Alquran, kitab suci yang saya anut, mencela dan melarang perbuatan menodai dan merusak rumah ibadah.
Alquran menyatakan:
“…Seandainya Allah tidak menolak/mencegah (keganasan) sebagian manusia atas sebagian yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa”(Alquran, surah 22, ayat 40).
Kini, saya sadar bahwa ayat-ayat konstitusi Republik Indonesia, ternyata satu nafas dan satu spirit dengan ayat Alquran tersebut. Di majelis Mahkamah yang mulia ini, karena itu, saya menyatakan harapan saya bahwa semoga spirit ayat-ayat konstitusi negara kita berjalan lurus dengan semua peraturan, perundang-undangan, kebijakan publik menyangkut agama dan kepercayaan warga negara. Tidak justeru berjarak dan menjauh dari spirit konstitusi. Sebab, saya senantiasa yakin bahwa di bawah naungan konstitusi dan semua turunannya, warga negara akan beribadah dengan aman, khusuk, damai, dan bergembira di rumah ibadah mereka.