JAKARTA – Peneliti Sosiolog dari FISIP Universitas, Dr. Catur Wahyudi, MA menjadi saksi ahli sidang Mahkamah Konstitusi Dalam lanjutan sidang perkara no : 56 di Mahkamah Konstitusi, Judical Review Penafsiran Bersyarat atas UU No.1/PNPS tahun 1965 (agar UU tersebut tidak ditafsirkan untuk menghalangi hak beribadah dan menjadi dasar peraturan yang melarang ibadah warga negara), Selasa (28/11).
Saksi ahli memaparkan kondisi warga negara yang tergabung dalam komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia pasca reformasi semakin mengalami tekanan yang semakin kuat dan perlakuan hukum yang kian tak pasti, baik secara individu, warga negara maupun secara institusi.
“Terbitnya SKB 3 Menteri membuat tekanan dari sejumlah warga masyarakat dan berbagai organisasi massa Islam yang tergolong ‘radikal’ semakin kuat”, ujarnya
Dr. Catur Wahyudi, MA menambahkan, era reformasi yang terjadi di Indonesia, menjadi era perubahan politik ke dalam ranah demokrasi dengan arus utama pada isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang makin kuat.
“Oleh karenanya, era ini sejatinya awalnya memberi ruang yang cukup longgar bagi JAI dan anggota-anggotanya untuk mengabdi kepada masyarakat”, ungkapnya.
Ia menyampaikan, sewaktu pengungsi dari Timor-Timur pasca referendum, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia sebagai organisasi Pemuda Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Perempuan Ahmadiyah yang tegabung dalam organisasi Lajnah Imailah turut mengirimkan tim untuk terjun mengabdi kepada masyarakat.
“Mereka mengabdi kepada masyarakat dan membangun pemberdayaan perempuan dan selalu terbuka berinteraksi dengan masyarakat dan tokoh seperti Menteri Negara Pemberdayaan Wanita pada era Presiden Gus Dur tahun 2000”, tandasnya.
Pada era Presiden Gus Dur jugalah Khalifah Ahmadiyah ke IV Hadhrat Mirza Tahir Ahmad datang berkunjung ke Indonesia.
“Ia disambut dengan adanya dukungan eksplisit dari Abdurahman Wahid, Presiden Indonesia saat itu”, tuturnya.
Akan tetapi, ditengah arus besar demokrasi dan Hak Asasi manusia diagungkan di Negeri ini, nyatanya tekanan yang dialami JAI tak kunjung surut.
“Ancaman demi ancaman terus saja terjadi, dari perusakan tempat ibadah, kekerasan fisik, hingga pembunuhan”, jelasnya.