perlindungan hak-hak kaum minoritas pemeluk agama ini, menjadi poin pembeda antara Jokowi dan Prabowo, antara Poros Demokrasi dan Poros Fasisme-Religius.
MASIH menurut Setara Institute, dari insiden-insiden gangguan terhadap rumah-rumah peribadatan pada 2010, bisa dikategorikan atas tiga kelompok utama, yakni Kristen, Ahmadiyah, dan agama-agama atau kelompok-kelompok penganut kepercayaan lainnya yang dianggap menyimpang. Terdapat sekitar 59 rumah peribadatan pada tahun 2010 yang mengalami beragam bentuk gangguan seperti: penyerangan (attack), penyegelan (sealing), penolakan (rejection), atau larangan (prohibition). Dari 59 rumah peribadatan yang mengalami gangguan tersebut, 43 adalah milik kalangan Kristen, 9 milik pengikut Ahmadiyah, 2 milik kalangan muslim, 2 milik kelompok LDII, 2 lainnya milik pengikut Budha dan 1 sisanya milik Wahabi.
—
22 Mei 2014; oleh Coen Husain Pontoh (tinggal di New York, AS); Harian Indoprogress
SALAH satu isu panas dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014 ini, adalah kontroversi mengenai keterlibatan calon presiden yang diusung koalisi poros Gerindra, Prabowo Subianto dalam sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Namun demikian, tulisan ini tidak akan membahas kasus keterlibatan Prabowo itu, melainkan keterlibatan sejumlah partai politik pendukung koalisinya dalam kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
«Untuk pembahasan yang jernih mengenai kasus keterlibatan Prabowo Subianto dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, silakan baca artikel Usman Hamid, “Wither Human Rights?”, diunduh pada Rabu, 21 Mei 2014; lihat juga Gerry van Klinken, “Prabowo and human rights“, diunduh pada Rabu, 21 Mei 2014».
Dengan membahas rekam jejak partai politik pendukung koalisi PRAHARA (Prabowo-Hatta Rajasa), maka kita sedikit meluaskan diskusi mengenai pelanggaran HAM ini, tidak saja berkaitan dengan kasus penculikan para aktivis demokrasi 1998 atau kerusuhan Mei 1998 yang bernuansa etnis, tapi juga kasus kekerasan terhadap kalangan minoritas pemeluk agama di Indonesia.
Dan dalam hal ini, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memiliki rekam jejak yang buruk.
Hasil riset dari lembaga Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian, misalnya, menunjukkan bahwa PKS merupakan partai yang paling tidak konsisten dan tidak berkomitmen dalam mendukung kebebasan beragama di Indonesia.
«Wahyu Sabda Kuncahyo, ‘Setara Institute Aniaya PKS’, http://politik.rmol.co/read/2014/04/01/149450/Setara-Institute-Aniaya-PKS-, diunduh pada Rabu, 21 Mei 2014».
Peta Kekerasan Sektarian
Pasca tumbangnya rezim kediktatoran militer orde baru, kekerasan terhadap kelompok minoritas bernuansa agama meningkat tajam di Indonesia.
Setara Institute melaporkan, terdapat 216 kasus serangan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama pada tahun 2010, yang kemudian meningkat menjadi 244 kasus pada 2011, dan kembali meningkat menjadi 264 pada 2012.
Lembaga Wahid Institute juga melaporkan bahwa terdapat 92 kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan 184 insiden intoleransi beragama pada 2011, meningkat dari 64 kasus kekerasan dan 134 insiden intoleransi pada 2010.
Kemudian menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), terdapat 430 gereja yang dipaksa tutup antara Januari 2005 hingga Desember 2010.
«Human Rights Watch, In Religion’s Name Abuses against Religious Minorities in Indonesia, 2013, p. 2 & 5.»
Masih menurut Setara Institute, dari insiden-insiden gangguan terhadap rumah-rumah peribadatan pada 2010, bisa dikategorikan atas tiga kelompok utama, yakni Kristen, Ahmadiyah, dan agama-agama atau kelompok-kelompok penganut kepercayaan lainnya yang dianggap menyimpang.
Terdapat sekitar 59 rumah peribadatan pada tahun 2010 yang mengalami beragam bentuk gangguan seperti: penyerangan (attack), penyegelan (sealing), penolakan (rejection), atau larangan (prohibition).
Dari 59 rumah peribadatan yang mengalami gangguan tersebut, 43 adalah milik kalangan Kristen, 9 milik pengikut Ahmadiyah, 2 milik kalangan muslim, 2 milik kelompok LDII, 2 lainnya milik pengikut Budha dan 1 sisanya milik Wahabi (lihat Bagan 1).
«Setara Institute for Democracy and Peace, ‘Report on Freedom of Religion and Belief in 2010’, http://www.setara-institute.org/en/content/report-freedom-religion-and-belief-2010-0, diunduh pada 21 Mei 2014».
Menariknya, Setara Institute juga melaporkan bahwa ada lima provinsi yang menyumbang angka paling tinggi dalam kasus gangguan kebebasan beragama ini, yakni provinsi Jawa Barat (91 kejadian), Jawa Timur (28 kejadian), Jakarta (16 kejadian), Sumatra Utara (15 kejadian, dan Jawa Tengah (10 kejadian). (Lihat Bagan 2).
«Setara Institute for Democracy and Peace, ‘Report on Freedom of Religion and Belief in 2010’, http://www.setara-institute.org/en/content/report-freedom-religion-and-belief-2010-0, diunduh pada 21 Mei 2014».
Mendukung Kekerasan Sektarian
Pada 2004, bupati Pandeglang Dimyati Natakusuma dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), melalui SK Bupati Dimyati Natakusuma No. 09 Tahun 2004, mengeluarkan peraturan tentang seragam sekolah SD,SMP, SMU.
Natakusuma menyatakan tujuan surat keputusaan (SK) ini untuk meminimalisasi pergaulan bebas para siswa.
Caranya, murid laki-laki dipisah dengan murid perempuan.
«Imam Shofwan, Syariat Islam: Mimpi Buruk Kaum Minoritas, http://indoprogress.com/2012/05/syariat-islam-mimpi-buruk-kaum-minoritas/, diunduh pada 21 Mei 2014».
Tetapi menurut Imam Shofwan, tampaknya SK Bupati itu barulah awal dari apa yang disebutnya ‘syariatisasi dari bawah.’
Inilah kata Shofwan: ‘Awal mulanya adalah soal tata cara berpakaian untuk selanjutnya mempersoalkan masalah aqidah/keyakinan.
Para pembela syariah di Pandeglang tak hanya mengusik soal pemisahan laki-laki dan perempuan di sekolah.
Mereka juga mengusik kehidupan kelompok Ahmadiyah yang minoritas di sana: tujuh tahun setelah perda tersebut.’
Puncaknya adalah ketika pada 16 Februari 2011, terjadi penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di desa Cigelis, kecamatan Cikeusik, kabupaten Pandeglang, Banten.
Serangan itu memakan korban dari pihak Ahmadiyah, yaitu 6 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka.
Pelaku penyerangan kemudian ditangkap dan divonis dengan sangat ringan oleh Pengadilan Negeri Serang, Banten.
«Arfi Bambani Amri, Penyerang Ahmadiyah Cikeusik divonis 3 Bulan, http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/236593-penyerang-ahmadiyah-cikeusik-divonis-3-bulanl, diunduh pada 21 Mei 2014».
Lalu, bagaimana tanggapan pihak PPP dan PKS terhadap kasus kekerasan berlandaskan sentimen agama ini?
Dalam kasus Cikeusik, misalnya, Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP yang juga menjabat menteri agama RI, bukannya mengutuk pelaku tindakan kekerasan brutal tersebut, ia malah menyalahkan korban, yakni pengikut Ahmadiyah.
Itu sebabnya, menurut Suryadharma, tindakan paling baik untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di seluruh Indonesia adalah dengan memaksa pengikut Ahmadiyah untuk meninggalkan ajarannya yang mengatasnamakan Islam dan menggantinya menjadi aliran kepercayaan saja.
‘Bubarkan Ahmadiyah, karena telah mengacak-acak Islam,’ kata Suryadharma dalam orasi politiknya di gedung Istora Senayan, Minggu (29/3).’
«Eko Ari Wibowo, Ketua Umum PPP Kampanye Serukan Bubarkan Ahmadiyah, http://www.tempo.co/read/news/2009/03/29/146167091/Ketua-Umum-PPP-Kampanye-Serukan-Bubarkan-Ahmadiyah, diunduh pada 21 mei 2014».
Sikap menyalahkan korban ini, kembali dilakukan Suryadharma ketika menghadapi kasus penyerangan penganut Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Sebagai solusi untuk menghindari terjadinya kembali kekerasan terhadap pengikut Syiah tersebut, dan agar mereka bisa kembali pulang ke kampung halamannya, maka Suryadharma menganjurkan agar mereka segera bertobat.
‘…Kita sepakat agar mereka “dicerahkan” dulu baru pulang. Kita dahulukan “pencerahan” dulu, tidak mesti langsung 100 persen. Di pengungsian (Syiah) kan ada 69 keluarga, mungkin ada dua keluarga sudah “dicerahkan” lalu pulang. Nanti ada 10 lagi yang “dicerahkan”, mereka juga pulang. Syukur-syukur bisa sekaligus. Intinya lebih cepat lebih baik. Syukur-syukur sebelum Lebaran.’
«‘Wawancara Menteri Agama soal Syiah di Sampang’, http://www.tempo.co/read/news/2013/07/27/173500167/Wawancara-Menteri-Agama-soal-Syiah-di-Sampang, diunduh pada 21 Mei 2014. Dalam pernyataannya kemudian, Suryadharma mengatakan bahwa berdasarkan literatur yang ia baca, Syiah tidak termasuk kelompok dalam Islam. Pernyataan ini kemudian diralatnya setelah mendapatkan protes keras dari para Penganut Syiah lainnya. Lihat ‘Menag Ralat Menyebut Syiah di Luar Islam’, http://nasional.inilah.com/read/detail/1823873/menag-ralat-menyebut-syiah-di-luar-islam#.U30_ZC8Wdgo, diunduh pada 21 mei 2014».
Tindakan diskriminatif ini juga dilakukan oleh Ahmad Heryawan gubernur Jawa Barat, anggota MUI sekaligus politisi PKS, yang mengeluarkan dekrit pada 2 Maret 2011, yang isinya adalah melarang ‘seluruh aktivitas dakwah Ahmadiyah di wilayahnya.’
Akibatnya, pengikut Ahmadiyah kerapkali menghadapi intimidasi dan tindak kekerasan oleh kelompok-kelompok Islamis. «Human Rights Watch, In Religion’s Name Abuses against Religious Minorities in Indonesia, 2013, p. 64».
Celakanya, sudah menyalahkan korban kekerasan minoritas, Suryadharma dan Heryawan, malah memuji-muji organisasi-organisasi Islamis yang aktif terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan tersebut.
Suryadharma, misalnya, tanpa peduli datang membuka Musyawarah Nasional (Munas) III Front Pembela Islam di Asrama Haji Bekasi, Agustus 2013.
Dalam acara itu, mengabaikan seluruh fakta-fakta kekerasan yang sering dilakukan FPI, Suryadharma malah memuji organisasi pimpinan Rizieq Shihab itu:‘Nasionalisme FPI tidak diragukan lagi. FPI merupakan organisasi Islam pecinta Pancasila, nasionalisme, dan negara Indonesia. FPI bukan musuh Pancasila.’
«Ini Pesan Menteri Agama untuk FPI: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/13/08/23/mryuhl-ini-pesan-menteri-agama-untuk-fpi, diunduh pada 21 mei 2014».
Entah mau meniru langkah-langkah Suryadharma, Ahmad Heryawan dalam pertarungan memenangkan kursi gubernur Jawa Barat untuk kedua kalinya pada Februari 2013, menandatangani kesepakatan kerjasama dengan FPI untuk ‘meluncurkan Peraturan Gubernur yang bernuansa Syari’at Islam serta mengoptimalkan Pergub tentang pelarangan Ahmadiyah.’
«‘Aher-FPI tanda tangani kesepakatan,’ http://indonesia.faithfreedom.org/forum/aher-fpi-tanda-tangani-kesepakatan-t51201/?sid=a5c5330da4bf60c1ad620d07c6800ec1#p902169, diunduh pada 21 Mei 2014».
Langkah terbaru yang dilakukan Heryawan sebagai pejabat publik adalah mendukung penuh deklarasi Aliansi Nasional Anti-Syiah yang dilakukan oleh sejumlah organisasi Islamis di Bandung, pada April 2014.
«‘Ulama Gelar Deklarasi Anti-Syiah di Bandung,’ http://www.tempo.co/read/news/2014/04/20/058571895/Ulama-Gelar-Deklarasi-Anti-Syiah-di-Bandung, diunduh pada 21 Mei 2014. Pemrakarsa deklarasi ini antara lain FUI, FUUI, MIUMI, dan LPPI. Forum Umat Islam (FUI) yang diketuai Muhammad Al Khaththath, adalah aliansi dari berbagai organisasi Islamis, termasuk di antaranya adalah PKS dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang kini juga ikut bergabung dalam poros Prahara. Lihat ‘Radical Islamic Groups Gain Strength on the Sly: Setara,’ http://www.setara-institute.org/en/content/radical-islamic-groups-gain-strength-sly-setara, diunduh pada 21 mei 2014.»
Heryawan memang tidak hadir dalam pertemuan tersebut, namun ia mengirimkan utusan yang menyampaikan bahwa Pemprov Jabar mendukung upaya kaum Muslim dalam membersihkan aliran sesat.
«Hadir juga dalam acara tersebut Wakil Walikota, Mang Oded, yang juga berasal dari PKS.‘Deklarasi Anti-Syiah: Siapa yang Menebar Kebencian?’ http://liputanislam.com/liputan/deklarasi-anti-syiah-siapa-yang-menebar-kebencian/, diunduh pada 21 Mei 2014.»
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, maka saya berkesimpulan bahwa kita kini sedang berhadapan dengan ancaman ‘Fasisme Relijius’ yang berkumpul di poros capres dan cawapres PRAHARA saat ini.
Ada dua alasan mengatakan ini poros ‘fasisme-relijius:’
Pertama, jika kita menilik pada gerakan kelompok Islamis selama ini maka ciri utamanya adalah anti-semit (rasis), mempropagandakan histeria nasionalisme, xenofobik, anti toleransi, anti-liberal, tidak segan-segan menggunakan alat-alat kekerasan untuk mewujudkan ambisi politiknya, anti-sosialis, anti-rasionalisme, dan mengagung-agungkan kejayaan masa lalu sebagai solusi terhadap krisis sosial yang sedang berlangsung.
«Coen Husain Pontoh, Fasisme Relijius, http://indoprogress.blogspot.com/2010/10/fasisme-religius.html, diunduh pada 21 Mei 2014.»
Selain itu, jika kita melihat basis sosial dari gerakan ini, maka para aktivis lingkaran intinya berasal dari kalangan menengah terdidik dan pengangguran perkotaan.
Kedua, Partai Gerindra sendiri memang memiliki program kerja untuk memurnikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam agama.
Bagi Gerindra, ‘Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.’
«‘Isi Manifesto Gerindra yang Dianggap Bermasalah,’ http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/02/269574800/p-Isi-Manifesto-Gerindra-yang-Dianggap-Bermasalah, diunduh pada 21 Mei 2014.»
Bisa dibayangkan betapa buruknya keadaan kehidupan kaum minoritas pemeluk agama jika poros ini berkuasa kelak.
Dan lebih dari itu, dengan mengatasnamakan pemurnian agama maka negara kemudian berhak campur tangan dalam urusan paling pribadi kehidupan warga negaranya, dimana tujuan utamanya adalah untuk mengontrol dan mendisiplinkan kehidupan sosial yang ada.
Melalui kontrol dan disiplin sosial itu maka penguasa leluasa menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi-politiknya yang menindas. Inilah fasisme yang semurninya.
Lalu apa yang harus dilakukan?
PERTAMA, kita mesti menyadari bahwa pilpres 2014 ini bukan hanya soal pergantian generasi kepemimpinan semata, tapi lebih dari itu sebuah pertaruhan mengenai wajah dan kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia ke depan.
Itulah pertaruhan untuk menjaga momentum demokrasi yang belum sempurna ini atau terperosok ke dalam kubangan fasisme-relijius.
Bersikap netral atas nama rasa marah, kecewa atau berdasarkan ideologi dan keyakinan politik apapun, jelas bukan pilihan yang tepat.
Jika karena netralitas itu kemudian poros PRAHARA yang menang, maka Anda harus bertanggung jawab atas keberlanjutan penindasan-penindasan terhadap kalangan minoritas beragama yang sudah berlangsung selama ini.
Anda tidak bisa berkilah, dengan mengatakan ‘salah sendiri kenapa rakyat mencoblos PRAHARA.’
Atas dasar itulah, maka saya memutuskan untuk mendukung pasangan capres/cawapres Jokowi-JK, sebagai representasi dari – meminjam istilah Prof. Marcus Meitzner – kubu status-quo demokrasi.
KEDUA, sebagai imbalan dari dukungan tersebut, saya menuntut agar Jokowi harus bertindak melampaui seorang politisi biasa, seperti citra yang melekat pada mayoritas politisi Indonesia saat ini.
Jokowi harus mentransformasikan dirinya menjadi seorang negarawan, dimana ia harus berpikir dan bertindak sebagai pembela dan penjamin hak-hak kaum minoritas yang tertindas selama ini.
Tentu saja Jokowi sudah menunjukkan dalam praktek kebijakannya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang tetap mempertahankan keputusannya untuk membela Lurah Susan, tetapi kini ia harus mengangkat komitmen dan keberpihakannya itu ke level yang lebih tinggi.
Komitmen pada perlindungan hak-hak kaum minoritas pemeluk agama ini, yang akan menjadi poin pembeda yang sangat jelas antara Jokowi dan Prabowo, antara Poros Demokrasi dan Poros Fasisme-Religius.
Bagaimana dengan Anda?***