Oleh: Ḥaḍrat Maulānā Jalāl-ud-Dīn Syamsra
Banyak musuh-musuh Islam yang bertanya mengenai hikmah dan manfaat-manfaat puasa seraya berkata, “Apa manfaat yang didapat oleh seorang yang telah berpuasa sepanjang siang dengan menanggung kesakitan-kesakitan yang ditimbulkan rasa lapar dan kesusahan-kesusahan yang ditimbulkan rasa haus?” Ini merupakan hak mereka untuk bertanya tentang hal itu. Di sisi lain, Kita, orang-orang Islam, telah diperintahkan Allah untuk melaksanakan puasa dan Nabi SuciSAW selaku pembawa syariat telah menggolongkannya ke dalam kelima pilar Islam. Karena Sang Pemberi Perintah Yang Mahabijaksana itu tidaklah memerintahkan kita untuk melakukan suatu pekerjaan yang terbukti sia-sia, atas dasar ini, Kita wajib untuk menerangkan kepada mereka hikmah dan faedah-faedah puasa. Kewajiban menerangkan ini tidak hanya terbatas kepada mereka, tetapi juga kepada kaum muslimin yang meyakini kefarduan puasa tetapi jahil akan faedah-faedah dan hikmahnya. Kejahilan ini terjadi sebab, ketika tidak mengenal hikmah dan manfaat-manfaat yang terkandung dalam suatu perintah, manusia akan merasa sungkan dan enggan untuk melaksanakannya.
Karena pesan Syariat ditujukan kepada orang-orang yang memiliki akal, atas dasar ini, setiap muslim nan mukmin wajib untuk memiliki akal dan ilmu tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam perintah-perintah Allah agar dapat mengambil faedah darinya dengan sebenar-benarnya. Allah Taala telah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya, Kami telah menurunkannya dalam bentuk Alquran yang berbahasa Arab agar Kamu menggunakan akal.”(Yusuf:3)
Dalam ayat lain, Dia berfirman:
إِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّأُولِي النُّهٰى
“Sesungguhnya, dalam hal itu, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki pemahaman” (Thaha:55)
Dia berfirman lagi:
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُوْنَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلًا
“Ataukah Engkau menyangka bahwa sebagian besar mereka mendengar dan berakal? Mereka itu bukanlah apa-apa, kecuali bagaikan binatang-binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.”(Al-Furqan:45)
Ḥaḍrat RasūlullāhSAW bersabda:
أَفْضَلُ النَّاسِ أَعْقَلُ النَّاسِ.
“Manusia yang paling mulia adalah dia yang paling berakal.”(Al-Maṭālib Al-‘Āliyyah Bi Zawā’id Al-Masānīd Ats-Tsamāniyyah, Kitāb az-Zuhd Wa ar-Raqā’iq, Bāb Faḍl al-Wara‘ Wa at-Taqwā, no. 3306.)
Beliau bersabda lagi:
إنَّ الْأَحْمَقَ العَابِدَ يُصِيْبُ بِجَهْلِهِ أَعْظَمَ مِنْ فُجُوْرِ الفَاجِرِ، وإِنَّمَا يُقَرَّبُ النَّاسُ مِنْ رَّبِهِم بِالزُّلَفِ عَلٰى قَدرِ عُقُوْلِهِم.
“Sesungguhnya, seorang pandir yang rajin beribadah akan menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada kerugian yang ditimbulkan kedurjanaan seorang yang durjana bersebab kebodohannya. Manusia hanya dapat dekat dengan Tuhan mereka sesuai dengan kadar akal mereka.”(Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Muḥammad Al-Māwardī, Adab ad-Dunyā Wa ad-Dīn (Beirut: Dār Iqra’, 1985 M/1405 H), h. 16.)
Kemudian, bukanlah merupakan suatu yang tersembunyi bahwa perintah puasa tidak hanya dikhususkan bagi Syariat kita, tetapi semua syariat samawi juga memerintahkannya. Oleh karena itu, Kita dapat menjumpai penyebutan perintah puasa dalam kitab-kitab orang Hindu yang mereka yakini turun dari Allah. Demikian juga, penyebutan perintah puasa dapat dijumpai dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Nabi Ezraas pernah bersabda:
“Kemudian, di sana, di tepi sungai Ahawa itu, Aku memaklumkan puasa supaya Kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami.”(Ezra 8:21)
Matius mengatakan dalam Injilnya bahwa Yesusas suatu kali pernah mengeluarkan setan dari seseorang yang menderita penyakit ayan. Melihat hal ini, murid-murid beliau bertanya, “Mengapa Kami tidak dapat mengusir setan itu?” Kemudian, Yesusas menjawab:
“Karena, Kamu kurang percaya. Aku berkata kepadamu, ‘Sesungguhnya, sekiranya Kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, Kamu dapat berkata kepada gunung ini, ‘Pindah dari tempat ini ke sana!’ Lantas, gunung ini akan pindah dan takkan ada yang mustahil bagimu. Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.’”(Matius 17:19-21.)
Dengan demikian, eksistensi puasa dalam kitab-kitab semua kaum di dunia merupakan sebuah dalil yang jelas bahwa Allah pernah memerintahkan mereka untuk berpuasa dan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Allah hanya mengutus nabi-nabi pada wilayah tertentu atau untuk kaum tertentu saja semata-mata terbit dari kejahilan dan kurangnya berpikir dalam ayat-ayat dan sifat-sifat Allah. Orang-orang yang menyuarakan perkataan-perkataan semacam ini tidaklah menghargai Allah dengan pernghargaan yang sebenarnya. Orang-orang Hindu berakidah bahwa Allah tidak pernah sama sekali mengutus seorangpun nabi, kecuali nabi-nabi yang telah diutus kepada mereka di India. Demikian juga, orang-orang Yahudi berakidah bahwa Allah telah mengkhususkan kaum mereka dengan kenabian. Seperti mereka juga, sebagian orang jahil dari orang-orang Islam bahwa tidak ada seorangpun nabi yang datang ke dunia, kecuali berasal dari Palestina, Syam, dan Arab. Mereka tidak berpikir bahwa Allah tidaklah menyebutkan dalam sifat-sifat-Nya sebagai Tuhan Palestina, Tuhan Arab, atau Tuhan India. Sebaliknya, Dia berfirman, “Rabb al-‘Ālamīn.” Yakni, Dialah Tuhan semesta alam. Dengan demikian, sebagaimana Palestina, Syam, dan Arab membutuhkan perbaikan rohani, orang-orang Hindu, ‘Ajam (Ajam artinya ‘bukan orang Arab’), Afrika, dan negeri-negeri lainnya memerlukan pendidikan rohani. Oleh karena itu, Allah Taala berfirman:
وَإِنْ مِّنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ
“Tidak ada satupun umat, kecuali seorang pemberi ingat pernah mendatanginya.”(Fāṭir:25)
Dia berfirman lagi:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُوْلًا
“Kami telah bangkitkan di tentang-tengah setiap umat seorang rasul.”(An-Naḥl:37.)
Sesungguhnya, Allah tidak menelantarkan satupun umat. Oleh karena itu, Dia mengutus kepadanya seorang nabi supaya tidak tersisa bagi mereka sedikitpun alasan yang dapat diajukan kepada Allah setelah diutusnya rasul-rasul itu dan supaya mereka tidak berkata, “Seandainya Engkau mengutus kepada Kami seorang rasul, Kami pasti akan mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum Kami direndahkan dan dihinakan.”
Dengan demikian, eksistensi puasa dalam semua kaum di dunia merupakan sebuah dalil bahwa Allah telah memerintahkan mereka melalui perantaraan nabi-nabi-Nya pada zaman yang berbeda-beda. Alquran Yang Mulia sendiri membenarkan hakikat ini dalam ayat:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Telah diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelummu agar Kamu bertakwa.”(Al-Baqarah:184)
Merupakan kebiasaan manusia bahwa apabila dia dibebankan sendirian untuk melakukan suatu pekerjaan yang berat, dia akan menganggapnya susah. Akan tetapi, jika hukum mengenai perintah itu meliputi semuanya, dia akan merasa mudah untuk melaksanakannya. Melihat hikmah ini, Allah Taala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Telah diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelummu.”
Merupakan keistimewaan Alquran Yang Mulia dibandingkan dengan syariat-syariat yang lain bahwa Alquran selalu menerangkan hukum-hukumnya dengan sempurna beserta hikmah-hikmah dan manfaat-manfaatnya dan Alquran tidak menyerukan suatu amal, kecuali meneguhkan amal itu terlebih dahulu dengan dalil yang pasti dan bukti-bukti yang cemerlang. Kalian tidak akan dapat menjumpai hal ini dalam kitab-kitab yang dimiliki orang-orang terdahulu. Bacalah Taurat dari awal sampai akhir! Demikian juga, bacalan Injil, Zend Avesta, Dasatir, dan kitab-kitab Hindu: Atharwaweda, Yajurweda, Regweda, dan Samaweda! Kalian akan mendapatinya kosong dari dalil-dalil, hikmah-hikmah, dan manfaat-manfaat yang terkandung dalam hukum-hukumnya. Oleh karena itu, semua syariat telah dimeterai dengan Alquran Yang Mulia. Dengan demikian, tidak akan datang seorangpun nabi yang membawa syariat baru setelah MuḥammadSAW selama-lamanya.
Adapun hikmah dan faedah-faedah puasa, Allah Taala menerangkannya dalam ayat:
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Agar Kamu bertakwa.”
Dan:
وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Supaya Kamu menganggungkan Allah atas petunjuk yang telah Dia berikan kepadamu dan supaya Kamu bersyukur.”(Al-Baqarah:186)
Makna takwa adalah penjauhan diri dari segenap maksiat dan dosa serta musibah-musibah dan penyakit-penyakit yang dapat merugikan manusia di dunia dan akhirat, tabattul (Tabattul artinya ‘memutuskan segala hubungan duniawi dan berlari kepada Allah’.) kepada Allah, taqarrub (Taqarrub artinya ‘mendekatkan diri kepada Allah’.) kepada-Nya, dan kenaikan dalam derajat kerohanian. Ketakwaan adalah ketika Engkau mengambil tameng dan perisai untuk melindungi dirimu dari akibat-akibat amal buruk, baik akibat itu bersifat duniawi maupun bersifat ukhrawi.
Bersambung ke Hikmah Puasa Bagian 2 : Puasa Menghasilkan Keteguhan Simpati Antarmanusia