HARI ini 10 Desember 2013 diperingati diseluruh dunia sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional yang beradab juga mengakui pentingnya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, melalui beragam Konvensi HAM yang telah diratifikasi Indonesia, serta bahkan melalui UUD 1945 sendiri termasuk diantaranya adalah hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Di tataran normatif rasanya Indonesia bahkan dapat menjadi rujukan bagaimana negara harus memastikan tegaknya HAM di wilayah yurisdiksinya sesuai dengan standar internasional yang ada. Namun dalam praktiknya? Semasa pemerintahan Presiden SBY telah berulang kali 10 Desember diperingati namun utamanya dalam hal ini terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, Indonesia seakan jalan di tempat, bila tidak ingin mengatakan mundur ke belakang.
Mengapa hingga sekarang masih ada tempat di Nusa Tenggara Barat dimana sekelompok WNI dibiarkan hidup mengenaskan terisolir hanya karena mereka memiliki keyakinan yang dianggap berbeda dengan yang lain? Mengapa penganut kepercayaan asli daerah, para penghayat, dilarang mendeklarasikan keyakinannya dan “by system” dipaksa untuk mengaku berkeyakinan yang lain jika tidak ingin mendapatkan kesulitan dalam pemenuhan layanan administrasi kependudukan negara? Mengapa bahkan setelah presiden baru-baru ini berkunjung ke Jawa Timur dan memiliki agenda soal penyelesaian masalah penganut Syiah Sampang, terlihat jelas adanya keengganan pemda, dan bahkan menteri tertentu, untuk memulangkan secara selamat warga Syiah di Sampang ke kampung halamannya sendiri tanpa ada perubahan keyakinan dengan cara apapun? Mengapa selama bertahun-tahun ada dua gereja, GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, yang sudah sah secara hukum, dikukuhkan oleh Mahkamah Agung, dan untuk GKI Yasmin ditambah pula dengan rekomendasi wajib Ombudsman RI, namun jemaat dari kedua gereja tersebut tetap terpaksa beribadah secara sembunyi-sembunyi dan beribadah di bawah terik matahari dan siraman hujan di seberang Istana Merdeka Jakarta karena kedua gereja masih digembok secara ilegal oleh kedua kepala daerah tanpa ada koreksi dari Presiden dan malah membiarkan Mendagri dan Menteri Agama tidak mendukung penegakkan putusan Mahkamah Agung.
Banyak pertanyaan gugatan lainnya dapat dengan mudah diajukan pada Presiden SBY yang akan segera mengakhir masa jabatan keduanya. Akankah Presiden SBY turun dari jabatannya tahun depan dengan dikenang sebagai Presiden yang tunduk pada tekanan kelompok intoleran yang memainkan sentimen keagamaan yang bahkan sangat mengancam keutuhan bangsa yang berbhinneka tunggal ika ini? Atau akankah Presiden akan dikenang sebagai Presiden yang meninggalkan warisan besar bagi bangsanya bahkan di akhir masa jabatannya?
Menjadi seorang pemimpin besar yang dikenang dengan baik oleh warga negaranya tidaklah mudah. Dan bahkan, tidak akan pernah dapat diraih oleh Presiden yang cenderung hendak menyenangkan semua pihak, atau bersikap pragmatis pada hitung-hitungan politik praktis jangka pendek. Seorang pemimpin bangsa akan dikenang bila dia mampu menegakkan Konstitusi dan hukum di negaranya at all cost, tanpa kompromi dan berani mengambil tindakan drastis yang penting dengan rujukan UUD negaranya, termasuk untuk soal penegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Presiden SBY telah menyampaikan duka cita untuk kepergian tokoh dunia, Nelson Mandela. Dalam pernyataannya, Presiden SBY pun menyampaikan kekaguman beliau pada almarhum. Tidakkah nama besar almarhum memberikan inspirasi bagi Presiden untuk dapat meninggalkan masa jabatannya dengan meninggalkan warisan besar bagi bangsa yang besar ini? SBY punya kesempatan tersebut, namun hanya bila Presiden, sebagaimana Mandela, menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang mengarahkan warganya, bukan menjadi seseorang yang meski menjabat sebagai presiden namun cenderung mengikuti kemauan arus kelompok yang dianggap mayoritas belaka.
Bila dengan insprirasi Mandela, dan dengan panduan UUD 1945 Presiden SBY menjelma menjadi pemimpin yang sesungguhnya dan berani mengarahkan warga negara Indonesia melalui beragam mekanisme dan tindakan hukum yang ada, dalam koridor HAM yang diakui secara universal, maka kita yakin hal tersebut akan berkontribusi besar pada makin terlindunginya semua WNI dalam segala ragam agama dan keyakinannya.
Namun bila Presiden SBY meneruskan gaya pemerintahannya yang cenderung mengakomodir semua pihak, bahkan pihak yang menggerogoti HAM dan kesatuan bangsa dengan menyebarkan sentimen negatif dan kebencian antar kelompok yang berbeda, Presiden SBY akan dikenang sebagai seorang presiden yang berbeda terlalu jauh kualitasnya dengan seorang pemimpin sejati, tokoh dunia asal Afrika Selatan, yang baru saja pergi dan yang juga dikaguminya itu. Dan lebih jauh, itu berarti, Presiden berkontribusi pada kerentanan Indonesia untuk terpecah belah atas perbedaan agama dan keyakinan.
Jakarta, 10 Desember 2013
Sobat KBB: HKBP Filadelfia, GKI Yasmin, Ahmadiyah, Syiah, para pemeluk kepercayaan/penghayat
Para pendamping: : Setara Institute, LBH Jakarta, Wahid Institute, ANBTI, Elsam, KontraS, SEJUK, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
—
Gambar ilustrasi: Bali-Bisnis.com