Yogyakata – Program Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta bertajuk “Chai-time” menjadi topik riset dua mahasiswa pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Gerald Siregar dan Gerry Nelwan.
Rencananya hasil riset tersebut akan dipresentasikan pada ajang International Conference on Culture and Language (ICCL) di UIN Raden Mas Said Surakarta.
Keduanya mendatangi komplek Masjid Fadhli Umar dan bertemu dengan Mubalig JAI Yogyakarta, Maulana Murtiyono Yusuf Ismail, Rabu (24/8).
Chai-time merupakan salah satu program hospitality yang diusung oleh JAI Yogyakarta. Dimana pihak JAI menerima kedatangan tamu dari berbagai latar belakang, baik dalam rangka saling berdiskusi maupun sharing ide.
“Tujuannya sebagai upaya memajukan hospitality (pelayanan kepada tamu) serta memajukan Khuddam (anak-anak muda Ahmadi) agar mereka terbiasa dengan dialog dan pertemuan dengan saudara-saudara lintas iman, kepercayaan dan berbeda ide. Agar kelak ketika kembali ke kampung halaman masing-masing dapat memiliki paradigma yang lebih luas dan moderat,” ujar Maulana Murtiyono saat diwawancarai.
Sebelumnya, Gerald dan Gerry juga terbilang sering mengikuti kegiatan Chai-time. Selama tiga tahun terakhir ini, mereka telah beberapa kali mengikutinya.
Karena pengalaman itu, keduanya sepakat untuk mengangkat Chai-time menjadi materi yang perlu dipublikasikan dari sisi outsider sehingga hasilnya akan menjadi lebih objektif.
Lebih lanjut, Gerald bertanya dasar pemikiran dibuatnya program tersebut. Maulana Murtiyono menjelaskan, jauh sebelum adanya Chai-time sebenarnya program serupa yang sifatnya untuk membuka ruang perjumpaan sudah ada di JAI. Contohnya, Live In di beberapa kampung atau desa yang penduduknya mayoritas anggota Ahmadiyah, mengajak beberapa sahabat Ahmadiyah ke Jalsah Salanah (pertemuan tahunan), dan sebagainya.
“Namun untuk kultur Jogja yang merupakan kota pelajar ini maka kita perlu mengadakan kegiatan dalam satu wadah yang mempertemukan teman-teman dari berbagai latar belakang untuk saling menginspirasi.”
“Maka setelah didiskusikan dengan anak-anak muda, maka kita sepakat untuk membuat program bernama Chai-time,” tambahnya.
Maulana Murtiyono menjelaskan, nama program itu terinspirasi dari jamuan tamu yang selalu disuguhkan olehnya, yaitu minuman Chai (campuran teh, susu dan rempah-rempah). Minuman khas India Pakistan ini menjadi hal yang dirindukan oleh para tamu.
“Maka jadilah nama Chai-time dengan tagline ‘A Cup of Friendship for Inspiration’,” ungkapnya.
Gerald, salah seorang peneliti mengapresiasi program JAI Yogyakarta tersebut. Dia menilai, Ahmadiyah telah mengawali dan memberikan contoh yang baik untuk memfasilitasi ruang perjumpaan lintas background.
“Dengan Cha-time, Ahmadiyah menunjukan keterbukaannya, meskipun terbilang kelompok yang minoritas. Pada akhirnya tercipta suasana saling memberikan informasi, saling keterbukaan. Dan ketika ada keterbukaan maka tercipta perkenalan,” ungkapnya.
Mahasiswa pascasarjana itu juga menyebutkan bahwa “A Cup of Friendship for Inspiration” meberikan inspirasi kepadanya.
“Kenapa di komunitas saya tidak mencoba melakukan hal sama yang juga merupakan kelompok minoritas,” pungkas Gerald.
Di akhir kesempatan, Mubalig JAI memberikan cindera mata berupa lima buah buku mengenai Ahmadiyah karya pendiri Jemaat Ahmadiyah, para Khalifahnya, dan juga beberapa cendekiawan Ahmadi, sebagai tambahan referensi serta cenderamata.
Kontributor: Muhammad Ghifari