BOGOR – Komunitas Love for All Id menyelenggarakan acara Talkshow Publik yang bertemakan “Peran Agama dan Budaya Membangun Peradaban di Era Kemerdekaan”, kamis (20/8). Talkshow tersebut disiarkan langsung melalui akun youtube “Love for All TV”.
Tujuan acara ini adalah agar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa kecepatan globalisasi, teknologi informasi, digitalisasi yang menghadirkan juga disrupsi informasi telah menghadirkan tantangan-tantangan baru bagi perwujudan cita-cita dan nilai keindonesiaan. Perubahan zaman ini menciptakan budaya baru yang menuntut umat Islam untuk secepat mungkin meresponnya supaya fungsi agama di tengah-tengah kehidupan umat Islam selalu relevan dan selalu memberikan solusi konkrit terhadap persoalan yang dihadapi dalam budaya yang berbeda-beda.
Acara yang dipandu oleh Maulana Hafizurrahman Ahmadin tersebut menghadirkan narasumber yang berasal dari cendekiawan, akademisi dan budayawan. Mereka akan membawakan sub-tema yang berbeda-beda, diantaranya adalah Professor Al-Makin, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang membahas tentang “Beragama di Era Revolusi Industry 4.0”, Doktor Ngatawi Al-Zastrouw, seorang Budayawan, menjelaskan “Peran & Tantangan Kebudayaan Indonesia di Era Globalisasi Digital”, Doktor Catur Wahyudi, Sosiolog dan Dosen Universitas Merdeka Malang, mengupas tentang “Agama pondasi untuk Membangun Dialog Peradaban dan Perdamaian Indonesia”, serta Maulana Basuki Ahmad, Cendikiawan Muslim Ahmadiyah, membahas “Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban Umat Islam”.
Professor Al Makin menjelaskan bagaimana peradaban manusia di era kemajuan digital ini malah membuatnya seakan semakin mundur dari nilai-nilai kemajuan.
“Ternyata dunia open source atau internet ini tidak menjadikan kita manusia yang lapang, tidak menjadikan manusia yang ikhlas, tidak menjadikan manusia itu yang hatinya lebar, tidak menjadikan kita itu manusia yang pandangnya jauh, tetapi sebaliknya kita menjadi sempit, menjadi terkungkung, atau dalam bahasa Indonesia seperti katak dalam tempurung,” kata Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Dia juga menambahkan, perlu adanya cara baru dalam berdakwah. Dimana itu tidak menyinggung orang lain.
“Dakwah kita yang diperlukan saat ini adalah dakwah empati, dakwah simpati, dan dakwah memahami orang lain sebagaimana kita memahami diri sendiri,” pungkasnya.
Ngatawi Al-Zastrouw menyampaikan peta kebudayaan nusantara saat ini yang tertekan dari dua sisi yang bertentangan. Masalah tersebut merupakan akibat dari keterbukaan sistem informasi dan interaksi yang membuat arus informasi, komunikasi, dan interaksi semakin massif.
“Peta kebudayaan kita sekarang ini sedang terjepit dari dua arah. Dari arah kiri kita terjebit oleh yang namanya liberalisme, jadi liberalisme ini menawarkan apa saja, memperbolehkan apa saja, dan bahkan mengabaikan moral, etik, dan lain sebagainya. (Sedangkan) dari kanan kita didesak oleh budaya yang saya menyebutnya adalah budaya puritanisme dan simbolisme agama. Ini kebalikannya yang kiri. Kalau yang kiri apa saja boleh, kalau yang kanan ini apa saja tidak boleh,” kata pria yang pernah menjadi ajudan pribadi Gus Dur tersebut.
Selanjutnya dia menanggapi fenomena yang hari ini mungkin saja menjadi dilema di kalangan umat Muslim mengenai batasan apa saja yang harusnya ditegakan antara Agama dan Budaya.
“Agama dan Kebudayaan adalah dua hal yang berbeda tapi saya memahami bahwa kebudayaan adalah kerangka, wadah, atau alat untuk mengaktualkan ajaran agama. Yang tidak berubah dalam agama adalah ajarannya, prinsip-prinsip dasarnya seperti tentang tauhid tidak boleh berubah. (Sedangkan) yang boleh berubah itu adalah kebudayaannya. Jadi pesan-pesan agama ini kan masuk dan disampaikan melalui cara, melalui ekspresi, itulah yang disebut kebudayaan,” ujarnya.
Kemudian Catur Wahyudi menjelaskan tantangan-tantangan terberat yang sedang kita hadapi. Hal tersebut menjadi penyebab munculnya kekerasan atas nama agama.
“Kita menghadapi ada potensi komunitas atau masyarakat kita yang justru ingin menjadi ekslusif, yang tadi disebut “goalisasi” ini. Nah, fenomena-fenomena yang muncul seperti inilah yang kemudian (menjadi) tantangan yang cukup signifikan. Orang menjadi kehilangan orientasi terhadap nilai-nilai sosial dan pada akhirnya orang asyik pada nilainya sendiri,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengemukan dua krisis yang sedang merebak di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
“Kita mengalami krisis yang saya sebut dua hal, yaitu krisi kejujuran dan krisis kepercayaan. Nah, ini kemudian potensi yang muncul sehingga potensi konflik dimana-mana, baik di kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, maupun politik. Itu mengalami degradasi yang cukup signifikan,” ungkap Catur.
Narasumber lain, Maulana Basuki Ahmad, menekankan kunci kemajuan peradaban dalam umat Muslim adalah tujuan diciptakan manusia itu sendiri. Hal tersebut akan selaras dalam menghadapi segala kemajuan yang serba cepat.
“Menghadapi percepatan globalisasi, dunia digital, dan dunia internet ini, memang luar biasa. Umat Islam sebenarnya harus back to basic dari tujuan penciptaan umat manusia itu sendiri. Menghadapi tantangan apapun jika kita berpegang pada tujuan kita berada di muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, sehingga segala macam situasi yang berubah, dia akan berpegang kepada tujuan hidup di dunia ini yang telah ditetapkan Allah Ta’ala,” tegasnya.
Berdasarkan pantaun dari tim warta-ahmadiyah.org, jumlah partisipan yang terlibat dalam diskusi tersebut menembus angka ribuan. Hal ini terlihat dari jumlah penonton saat berlangsungnya siaran live talkshow tersebut.
Love for All Id adalah sebuah komunitas dan platform media sosial yang konsen pada isu Agama, Kemanusiaan dan Kebangsaan untuk membangun Indonesia yang lebih damai, toleran dan bersatu untuk kemajuan bangsa. Hal tersebut akan tercapai melalui keterlibatan semua komponen bangsa dalam bidang sosial kemanusiaan dan gerakan literasi. Itulah yang mendorong terbentuknya komunitas Love for All Id.
Kontributor: Arsalanullah Ahmad Arasy
Editor: Mubarak Mushlikhuddin