Seminar dan Dialog Kebangsaan dengan Tema National State dan Khilafah di Indonesia, itulah tema yang diusung. Acara ini diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Studi Agama-Agama, Fak. Ushuluddin-UIN Sunan Gunung Djati Bandung (5/9/19).
Pembicara pertama Dr. Kunto Sofianto, memaparkan sejarah perjalanan bangsa-bangsa yang bermukim di Nusantara, pergaulan bangsa itu dengan bangsa Cina, kedatangan bangsa Eropa yang berlanjut dengan penjajahan sampai era kemerdekaan Indonesia. Fenomena ancaman bagi bangsa Indonesia saat ini adalah adanya ideologi Khilafah yang mengancam falsafah bangsa yaitu Pancasila.
Dosen Unpad itu, selanjutnya memaparkan pengamatannya tentang Mengapa Khilafah Ahmadiyah bisa diterima di 213 negara dengan pengikut sekitar 200 juta. Dijelaskan, dalam praktek keberagamaannya Ahmadiyaht lagi bicara surga-neraka, haram-halal melainkan lebih dari kontribusi bagi kemanusiaan serta mendorong perdamaian dunia.
Sebagai contoh adalah kiprah Humanity First yaitu komunitas bentukan Ahmadiyah untuk membantu masyarakat yang terkena bencana alam di seluruh dunia. Lantas, dijelaskan kiprah Ahmadiyah yang membangun rumah sakit, sekolah, infra struktur di negara-negara Afrika.
Pembicara kedua, Pa Ekky menjelaskan tentang Kebangsaan Indonesia adalah suatu yang dinamis. Setiap generasi menghadapi masalah sendiri dan tidak bisa menghindar melainkan harus dicari solusinya. Ditambahkan oleh Sekretaris Isyaat PB-JAI itu, masalah kebangsaan Indonesia saat ini adalah meningkatnya Intoleransi dan Radikalisme yang mengancam keutuhan NKRI. Menyikapi hal ini, harus diperkuat pemahaman falsafah Pancasila dan rasa kebangsaan Indonesia.
Mengurut waktu ke belakang, dipaparkan kontribusi para tokoh Ahmadiyah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak bisa lepas karena adanya seruan Khalifah II Jemaat Ahmadiyah, Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra, yang menyerukan pada anggota Ahmadiyah di seluruh dunia, agar betpuasa Senin-Kamis, berdoa serta menulis artikel di koran setempat tentang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Menyinggung masalah Khilafah, dijelaskan, Khilafah Ahmadiyah jauh dari pusaran politik praktik. Menghindari menjadi pemegang kekuasaan politik. Tidak berkonfrontasi dengan sistem politik di mana para Ahmadi berada. Khalifah Ahmadiyah adalah Khalifah ruhani atau spiritual. Inilah salah satu penjelasan kenapa Ahmadiyah bisa diterima di ratusan negara.
Di Indonesia, pada tahun 1989, JAI mencantumkan Pancasila sebagai Asas Organisasi. Sampai sekarang tetap tercantum. Berbeda dengan Ormas lain yang pernah mencantumkan Asas Pancasila, tetapi pada masa Orde Reformasi, asas Pancasila ramai-ramai ditanggalkan. Dijelaskan juga bagaimana Ahmadiyah beradaptasi di masyarakat, dari perdebatan Teologi menjadi gerakan phylantropi yang mengusung kebaikan bagi masyarakat. Antara lain melalui Humanity First, Gerakan Donor Mata, Donor Mata, Clean the City, pendirian Klinik dan sekolah.
Pembicara tetakhir, Dr. Ilin, MAg yang lebih bahyak memaparkan teori Peran Agama dalam perdamaian di masyarakat. Dikutip teori Hanskung (Sosiolog Swedia) tentang syarat perdamaian bisa tegak jika memiliki syarat; adanya Etika dari tokoh dan penganut Agama serta adanya Dialog diantara mereka. Ditambahkan, seminar ini sebagai bentuk dialog yang harus sering dilaksanakan.
Pada acara tanya-jawab, terdapat 6 mahasiswa yang menanyakan hal, bagaimana memberi edukasi sikap toleransi, Khilafat Ahmadiyah yang non politik, persekusi terhadap Ahmadi di daerah, radikalisme, cara Ahmadiyah menyikapi stigma negatif dan pertentangan di masyarakat.
Sebelum ditutup, Pa Ekky menantang peserta yang hafal Pancasila. Ada seorang mahasiswa baru yang maju dan menyebutkan Pancasila dengan benar. Para peserta seminar memberi applaus. Kemudian Pa Ekky memberi hadiah buku Nation State dan Khilafah Ahmadiyah.
Acara yang dihadiri 230 peserta ini, ditutup dengan foto bersama.