AWAN hitam yang cukup tebal menyelimuti Bandar Udara Changi, Singapura. Kaca jendela pesawat AirAsia tampak basah. Setelah terbang sekitar dua setengah jam dari Makassar, pesawat mendarat dengan baik. Pak Ibnu Sidi Umar, tokoh dan aktifis Ahmadiyah, bersama putranya, Budiman yang kuliah di Singapura, menjemput saya dan isteri di pintu keluar bandara.
Tak lama kemudian diantar oleh Budiman. Mobil melaju menembus hujan yang mengguyur Singapura menuju Hotel “V” di kawasan Lavendar. Di hotel, sudah ada Pak Anis Ahmad dan isteri, orang Ahmadiyah Jakarta, menunggu dan mengurus kamar kami. Bukan hanya kami, tapi puluhan kalau tidak ratusan tamu undangan dari Indonesia juga ditempatkan di hotel tersebut.
Banyak sekali orang-orang bukan-Ahmadiyah dan bukan-Muslim dari Jogyakarta, Jakarta, Makassar, dan kota lain di Indonesia. Juga dari Malaysia, Myanmar, dan negara lainnya, selain Singapura, yang datang sebagai tamu undangan. Sebuah hotel lainnya, tak jauh dari Mesjid Toha Ahmadiyah, juga menampung jemaat Ahmadiyah dan tamu mereka.
Orang-orang itu datang ke Singapura dalam rangka perhelatan akbar “Simposium dan Mulaqat Perdamaian” yang diselenggarakan oleh Ahmadiyya Muslim Community (AMC). Disebut akbar, bukan saja karena ratusan atau ribuan orang yang hadir, tapi terutama karena dihadiri Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih ke-5, Pemimpin umat Muslim Ahmadiyyah sedunia yang berkedudukan di London.
Saya mendapat kehormatan untuk duduk di samping kiri Hadhrat Khalifatul Masih pada acara Mulaqat (Silaturrahmi) makan malam di Hotel Mandarin Oriental di depan para undangan lainnya. Duduk di samping Hadhrat Khalifatul Masih, saya manfaatkan untuk bercakap dengannya lebih dari hati ke hati dari dua orang Muslim. Dengan tulus saya katakan kepada beliau, rasa terima kasihku yang tak terhingga atas undangan dan kehormatan yang diberikan.
Sebelum makan malam dihidangkan, Hadhrat Khalifatul Masih menyampaikan pidato yang menguraikan tentang kebajikan-kebajikan dalam ajaran Islam. Kedamaian sebagai tema simposium adalah dambaan semua manusia. Namun, kenyataannya, kedamaian menjadi sesuatu yang amat mahal pada beberapa negeri muslim.
Dunia Islam
Pada sisi lain, orang-orang Muslim belum mengenal sesama diri mereka, terutama mazhab-mazhab dan aliran-aliran mereka. Ketidaksalingmengenal atau keterasingan sesama Muslim itulah yang menjelaskan, kenapa sesama muslim atau sesama negeri Muslim saling mencerca dan bertengkar. Mereka seperti musuh besar antara yang satu dan yang lainnya.
Kepada Khalifatul Masih saya katakan bahwa peta dunia Islam sekarang ada tiga yakni: dunia Islam Ahmadiyah, Syiah, dan Sunni. Beliau tidak membantah ketiga peta tersebut, namun berkomentar bahwa Muslim Ahmadiyah tidak terpecah-pecah kepada firqah-firqah atau sekte-sekte sebagaimana yang terjadi pada Syiah dan Sunni. Saya mengiyakan komentar beliau.
Sebenarnya perpecahan di kalangan sesama Syiah atau sesama Sunni lebih disebabkan oleh perbedaan di antara mereka dalam aspirasi politik atau haluan negara di mana ummat Syiah atau Sunni hidup sebagai warga negara. Dalam soal agama, perbedaan mendasar antara Muslim Ahmadiyah dan Muslim bukan-Ahmadiyah ialah keyakinan Muslim Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, adalah nabi atau pembaru yang dijanjikan kedatangannya pada akhir zaman berdasarkan naskah-naskah suci.
Perbedaan antara Muslim Syiah dan Muslim bukan-Syiah ialah keyakinan Muslim Syiah bahwa kepemimpinan kaum Muslimin setelah Nabi Muhammad adalah berdasarkan wasiat Nabi yang menunjuk Ali bin Abi Thalib, dan selanjutnya kepemimpinan itu diteruskan oleh anak keturunannya. Keyakinan Syiah ini disebut dengan prinsip Imamiyah.
Sebenarnya tidak otomatis seorang muslim disebut Sunni kalau dia tidak menganut keyakinan Ahmadiyah dan Syiah tersebut. Pada zaman sekarang, terdapat orang-orang Muslim, banyak di antaranya adalah kalangan terdidik-terpelajar, tidak tertarik untuk memetakan kemusliman mereka kepada Ahmadiyah, Syiah, dan Sunni. Bagi generasi ini, sudah cukup kalau mereka berkata bahwa “saya Muslim”.
Ke Indonesia
Saya melihat mata Hadhrat Khalifatul Masih tajam memerhatikan wajahku ketika kubilang kepadanya: “Saya sangat berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama, Allah mengizinkan dan memberi kesempatan kepada Hadhrat Khalifatul Masih untuk berkunjung ke Indonesia, negeri yang sudah mengenal kehadiran Ahmadiyah di Indonesia sejak tahun 1940-an. Saya percaya, kehadiran Yang Mulia Khalifah Ahmadiyah ke Indonesia akan meluaskan pandangan kita semua sebagai umat Allah di bumi-Nya yang luas ini”.
Saya sadar bahwa lawatan Hadhrat Khalifatul Masih kali ini adalah ke negara-negara Persemakmuran. Ahad kemarin, beliau ke Australia. Artinya, besar dugaan bahwa keamanan beliau di dalam pengawasan negara-negara Persemakmuran, khususnya Inggris. Bolehkah Pemimpin Ahmadiyah itu juga mendapat jaminan keamanan di Indonesiaku, negeri di mana kelompok warga yang minoritas belum merasa nyaman ber-Indonesia, bahkan polisi pun menjadi sasaran tembak orang kriminal? Seraya mengangguk-angguk dan dengan tersenyum simpatik itulah respons Hadhrat Khalifatul Masih atas “undangan”ku agar beliau mau ke Indonesia.
Seraya mencicipi hidangan keempat, “Roasted chicken with crispy shallot and curry leaf”, dan setelah membaca daftar empat lagi hidangan yang akan menyusul, Hadhrat Khalifatul Masih meletakkan tangannya di atas pahaku dan berbisik: “Beginilah acara makan malam di hotel, kita harus sabar melewati waktu yang amat panjang untuk menikmati setiap sesi hidangan yang dihidangkan”.
Minuman terus dituangkan ke gelas setiap kali isi gelas berkurang. Setelah hidangan kedelapan (terakhir), yaitu “Chocolate fondant”, sudah kami cicipi, Hadhrat Khalifatul Masih berdiri dari kursinya, isyarat acara makan malam sudah usai. Saya dan segenap undangan ikut berdiri menyambut salam penutup dan perpisahan dari Pemimpin Ahmadiyah itu.
Saya menjabat tangannya dan mendoakan keselamatan perjalanannya ke Australia dan pulang ke London. “Terima kasih!”, katanya berulang-ulang. Pemimpin sebuah kutub dunia Islam itu, Hadhrat Khalifatul Masih akan terbang ke Australia melintasi Indonesia, negeri yang kucintai, meski di situ, ummatnya, orang-orang Muslim Ahmadiyah, dan juga orang-orang Muslim Syiah, belum menghirup udara kemerdekaan beragama yang benar-benar sehat.
Duduk bersama isteriku di atas taksi yang mengantar kami pulang ke hotel, sebuah mimpi boleh dirancang; perhelatan akbar Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah di Indonesia! Semoga Allah mengizinkan! (QM).
Oleh:
M Qasim Mathar
Guru Besar UIN Alauddin, Makassar
Sumber : http://makassar.tribunnews.com/2013/10/01/sebuah-mimpi-dari-singapura.
Gambar ilustrasi dari Alislam.org.