Beberapa tahun terakhir ini, mukbang menjadi konten yang sering dijumpai di media sosial Indonesia. Dimana konten tersebut mempertontonkan seseorang yang makan dalam porsi besar. Padahal, makan dengan jumlah seperti itu bisa saja termasuk sifat rakus dan berlebihan.
Alih-alih makan secukupnya, para creators justru mempertontonkan makan dengan berlebihan di media sosial. Di sisi lain, tak sedikit orang yang masih kesulitan mendapatkan sesuap nasi, bahkan kelaparan.
Fenomena tersebut mengingatkan kepada sebuah hadits yang disampaikan oleh Hadhrat Abu Hurairah ra, “Ada seorang laki-laki yang biasanya banyak makan. Setelah ia masuk Islam, makannya menjadi sedikit. Hal itu diceritakan seseorang kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau bersabda: ‘Orang yang beriman makan untuk satu perut. Orang kafir makan untuk tujuh perut’.”
Selaras dengan itu, Khalifah Keempat Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ra dalam bukunya berjudul “Islam dan Isyu Kontemporer” menulis tentang anjuran makan secara senderhana yang juga dilengkapi dengan firman Allah Ta’ala.
“Wahai anak cucu Adam, ambilah perhiasanmu pada setiap waktu dan tempat sembahyang, dan makanlah serta minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S Al-Araf 7: 32)
Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika menjadi penonton konten tersebut?
Khalifah Kelima Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba pernah bersabda pada kesempatan Khutbah Jalsah Salanah (Pertemuan Tahunan) di Belgia pada 14 September 2018.
Saat itu beliau menekankan untuk menyibukan diri dalam urusan agama dibandingkan duniawi. Menonton konten mukbang seperti itu tentu tidak meberikan faedah. Malah bisa menarik kita untuk melakukan hal yang sama.
“Jangan sampai setiap malam sibuk memikirkan duniawi, sehingga waktu-waktu untuk Allah Ta’ala tidak ada artinya. Tujuan dari dunia haruslah agama. Tempuhlah duniawi yang dapat membawa kebaikan bagi orang lain,” ungkap Hudhur, sapaan untuk Khalifah Jamaah Muslim Ahmadiyah.
Selanjutnya, secara jelas Mubaligh Ahmadiyah, Maulana Musa Saiful Islam juga pernah menanggapi bahwa apapun bentuk kontennya, kita dapat melihat sisi asasnya, apakah membawa manfaat ataukah kemudaratan.
“Untuk memberikan analisa apa ini bermanfaat dan menjadi pahala atau menjadi dosa, cek hati kita, apakah merasa terketuk-ketuk atau tidak. Lalu kita berpikir, jika menonton konten ini apakah demi Allah Ta’ala atau hanya demi kesenangan semata. Sebab, jika sesuatu dilakukan untuk ridho Allah Taala, maka akan mendapat pahala. Misalnya, melihat untuk melakukan komparasi atau studi, hal tersebut tentu dapat bermanfaat. Namun, apabila menonton konten itu hanya sekadar senang-senang maka yang didapat hanya kesenangan sementara dan bahkan bisa menjadi suatu dosa karena menyia-nyiakan waktu.”
Kontributor: Manshurotun Nisa