Morotai, pulau yang digunakan sebagai basis pertahanan Jepang selama Perang Dunia II ini memiliki berjuta keelokan alam khususnya pesona taman bawah laut. Namun sayang, potret keindahan alamnya tidak sebanding dengan potret kemajuan pendidikan anak-anak Morotai. Masih banyak desa di pelosok Morotai belum tersentuh pendidikan.
27 Agustus 2016, hari pertama kami (saya, suami dan anak lelaki kami yang baru berusia 2 tahun 7 bulan) menginjakkan kaki di Kabupaten Pulau Morotai, pulau terluar di Maluku Utara, bahkan salah satu pulau terluar di Indonesia. Karena karunia Allah Ta’ala sematalah yang telah mengantarkan kami sampai ke belahan Timur Indonesia ini. Kami mendapatkan karunia luar biasa untuk dapat berkhidmat di pulau yang indah ini, pulau yang memiliki keelokan alam bagaikan serpihan surga.
Tiga bulan mengenal dan berinteraksi dengan masyarakat khususnya anak-anak di pulau yang berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Filipina ini, membuat kami mengenal keseharian mereka, pekerjaan, permainan, pergaulan, gaya hidup, dan hobby mereka. Tidak sedikit dari mereka adalah anak-anak para petani kopra, nelayan, dan pedagang.
Pulau yang digunakan sebagai basis pertahanan Jepang selama Perang Dunia II ini memiliki berjuta keelokan alam khususnya pesona taman bawah laut. Namun sayang, potret keindahan alamnya tidak sebanding dengan potret kemajuan pendidikan anak-anak Morotai. Masih banyak desa di pelosok Morotai belum tersentuh pendidikan.
Anak-anak Pulau Morotai dunianya adalah ikan dan alam. Keseharian mereka bermain di pantai dan berenang. Mereka jauh dari toko buku dan perpustakaan. Fasilitas belajar yang mereka peroleh di sekolah pun masih minim sekali. Bahkan ada satu Sekolah Dasar yang berada di daerah transmigrasi, SP 3, bangunan sekolahnya hanya memiliki tiga ruangan kelas, dimana setiap ruangan kelas diisi oleh dua tingkatan kelas, misal ruang pertama untuk siswa/i kelas 1 dan kelas 2, ruang kedua untuk kelas 3 dan 4, dan ruang ketiga untuk kelas 5 dan 6.
Fakta pendidikan yang dialami sahabat-sahabat kecil di Pulau Morotai inilah yang menuntun niat dan langkah kami untuk mendirikan satu gerakan membaca yang kami namakan “MOCIBABU”, Morotai Cinta Baca Buku. kami miliki untuk mendirikan Rumah Baca dapat dikatakan dari ‘nol’. Rumah Baca yang dibuat di rumah kontrakan yang belum ada plafonnya, jendela yang masih terpasang kusen tanpa penutup kaca ataupun triplek, sehingga jika hujan deras tidak jarang biasan air hujan masuk melalui kusen jendela, dinding-dinding yang belum dipoles dengan cat yang rapih, jumlah buku-buku yang masih sangat sedikit untuk sebuah rumah baca, tidak ada kursi dan meja belajar, dan tak ada rak buku yang hanya sekedar untuk meletakkan buku-buku.
Namun, dengan keadaan yang serba sederhana ini, tidak mengundurkan niat dan langkah kami untuk menyediakan fasilitas bagi anak-anak Pulau Morotai mengenal dunia. Seperti salah satu motivasi yang diberikan oleh salah satu dosen UGM untuk kami, “Buku adalah jendela dunia, biarkan anak-anak Morotai mengintipnya sejak awal“. Perlahan-lahan kami mengecat rumah kontrakan, kemudian membuat tempat-tempat buku dari kardus-kardus bekas, dan menyusun buku-buku yang telah ada. Untuk tahap awal ini, buku-buku berasal dari koleksi pribadi kami, dan dari dua orang donasi yang juga sangat mendukung gerakan ini. Mereka adalah seorang penarik bentor dan seorang guru SD. Selain itu, kami merasa beruntung memiliki adik-adik yang tinggal di Medan, Sumatera Utara, yang juga sangat mendukung gerakan ini. Bersama dengan teman-temannya, mereka bersedia mencari dan mengumpulkan donasi buku-buku dari mana saja dan mengirimkannya untuk sahabat-sahabat kecil di Pulau Morotai.
Setelah Rumah Baca MOCIBABU dibuka, anak-anak di sekitar rumah pun satu per satu berdatangan. Ternyata antusias mereka membaca besar sekali. Melihat antusiasnya anak-anak Morotai dengan hobby barunya -membaca-, dan mengingat missi MOCIBABU ‘1000 Buku Untuk Maluku Utara’, maka kami pun tidak hanya diam dengan kegiatan di Rumah Baca. Setiap akhir pekan (libur sekolah) kami berkeliling kampung mencari dimana tempat berkumpulnya anak-anak. Jadilah kegiatan kami ini kami namakan ‘MOCIBABU Around the Village’. Saat ini, di pengujung tahun 2016, alhamdulillah sudah ada beberapa volunteer yang telah mendonasikan buku-bukunya untuk gerakan inspirasi peduli membaca ini. Dan perlahan, tampilan Rumah Baca MOCIBABU semakin apik dengan adanya rak buku minimalis dan sebuah meja kerja yang telah dihibahkan oleh salah seorang PNS Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulau Morotai. Kami berharap gerakan MOCIBABU yang berawal dari tiada menjadi salah satu yang berharga untuk generasi penerus Indonesia yang lebih baik. Dan kami pun mengajak para generasi muda, para orangtua, dan para pendidik, yang peduli akan pendidikan sahabat-sahabat kecil di Pulau Morotai yang ingin menjadi volunteer, ingin mendonasikan buku-bukunya ke gerakan MOCIBABU ini, dengan senang hati akan kami terima
Kontributor : Latifah Seruni
Editor : Talhah Lukman Ahmad