Ramadhan tiba, mengantarkan umat Islam pada momen istimewa untuk meningkatkan ketakwaan. Puasa, pilar utama bulan ini, sering disalahpahami sebagai ritual menahan lapar dan haus.
Puasa sejatinya melampaui rasa lapar dan haus. Ia adalah perjalanan spiritual untuk mencapai ketakwaan. Lebih dari sekadar menahan diri, puasa melatih kita untuk menguasai hawa nafsu dan kesenangan duniawi.
Di bulan ini, fokus kita tertuju pada pengendalian diri dan peningkatan disiplin, mengantarkan diri pada kedekatan dengan Allah SWT melalui dzikir dan ibadah yang lebih khusyuk.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ –
‘Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kalian bertakwa. “(Al Baqarah:184)
Khalifatul Masih al-khaamis, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba menggarisbawahi pentingnya puasa dalam Islam sebagai sarana untuk meraih ketakwaan dan keridhaan Tuhan. Puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, namun merupakan perangkat untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam khotbahnya, Khalifatul Masih aba menyoroti bahwa puasa bukanlah praktik unik dalam Islam, tetapi juga ada dalam agama-agama terdahulu seperti puasa pada zaman Nabi Musa dan Nabi Daud. Namun, kendati ada praktik puasa dalam agama lain, Islam menegaskan pentingnya puasa dengan tujuan yang jelas: untuk meningkatkan ketakwaan.
Dalam Islam, puasa adalah ibadah yang disyaratkan oleh Allah untuk memperoleh ketakwaan. Ini bukan sekadar menahan makanan dan minuman, tetapi juga menekankan pentingnya dzikir Ilahi, shalat, dan meninggalkan dosa serta kesalahan. Puasa juga memperkuat hubungan antara individu dengan Allah melalui introspeksi, doa, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Khalifatul Masih menekankan bahwa tujuan sejati puasa adalah untuk memutuskan hubungan dengan keinginan duniawi dan sepenuhnya mempersembahkan diri kepada Tuhan. Hal ini tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga aspek spiritual dan moral. Puasa dalam Islam mengajarkan kedisiplinan, kontrol diri, dan empati terhadap sesama.
Selain itu, Huzur aba menyoroti pentingnya memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai kesempatan untuk meraih ampunan dosa dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah, introspeksi, dan amal saleh. Puasa bukan sekadar praktik keagamaan, tetapi juga merupakan peluang untuk transformasi spiritual yang mendalam.
Dalam kesimpulannya, Khalifatul Masih mengajak umat Islam untuk menjalani puasa dengan penuh kesadaran, ketakwaan, dan kepedulian terhadap sesama.
Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang meningkatkan hubungan spiritual dengan Allah dan menjalani hidup dengan nilai-nilai moral yang tinggi.
Bulan Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Kita perlu merenungkan kualitas ibadah dan akhlak kita, serta mencari cara untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Marilah kita manfaatkan bulan Ramadhan sebaik-baiknya. Berpuasalah dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan, upayakan peningkatan kualitas diri dan akhlak.
Dengan memahami makna dan tujuan hakiki puasa, ibadah ini menjadi sarana untuk meraih ketakwaan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Jadikanlah bulan Ramadhan ini sebagai momen untuk berbenah diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Semoga bulan Ramadhan membawa berkah dan kebaikan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Sumber: Khutbah Jumat Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (aba) pada tanggal 12 Juli 2013.