Membumikan Cinta Melalui Sastra, Ambon dan Sastra memang cukup erat kaitannya, banyak sekali sastrawan yang lahir di tanah para raja ini.
“Beta tau di sini kebanyakan orang Kristen. Beta mau tanya, kalian sayang orang katolik ka seng (tidak) ?, sayang orang Advent?, sayang orang Yehofa?. sayang orang Islam?, sayang orang Suni?, sayang orang syiah?, sayang orang Ahamdiyah?…….” dengan semangat Opa Rudi Fofid mengawali penampilannya dengan melemparkan sejumlah tanya kepada siswa-siswi SMA 4 Lateri Ambon. Para siswa pun dengan riuh dan penuh semangat menunjukan rasa sayang mereka dengan menjawab “sayaaaang.”
Hari itu Sabtu 14 Februari 2015, hari dimana sebagian besar penduduk dunia merayakan hari kasih sayang atau Valentin’s Day. Entah bagi mereka yang mengerti asal mula atau sejarah perayaan ini atau tidak, mereka larut dalam mengekspresikan cinta kepada orang-orang yang dikasihinya, baik kepada keluarga, sahabat, atau seseorang yang di kasihi lainnya. Bagi sekte agama tertentu seperti Anglikan, Ortodoks, Lutheran dan sekte lain di Kristen, hari itu juga dirayakan dengan peribadatan khusus memperingati kewafatan seorang santo Valentinus.
Pun dengan SMA 4 yang kebanyakan guru dan siswa-siswinya beragama Kristen di pagi saat saya tiba di sekolah itu, mereka sedang beribadah memperingati hari kasih sayang itu. Sebagai seorang muslim, saya boleh jadi tidak percaya dan juga menolak ritual itu, tapi tentunya sebagai muslim yang baik kita harus menghargai keimanan seseorang. Menilik sisi positif dari sebuah toleransi yang terjalin atas serpihan-serpihan iman dan ritual yang berbeda.
Kehadiran saya di sana bukan berarti saya setuju dengan perayaan Valentin’s day itu sendiri, jauh dari itu saya mencoba meraih nilai-nilai kasih dengan datang bersilaturahmi dengan mereka yang benar-benar merayakan. Apalagi melihat realitas Ambon, paska konflik hubungan Islam-Kristen begitu renggang. Itu bisa dilihat dari sekat-sekat, blok-blok yang memisahkan perkampungan Islam dan Kristen. Mereka tak lagi bersama, bahkan untuk sekedar saling tegur sapa, peri keadaannya tidak seindah persaudaraan mereka dahulu. Luka konflik yang mendalam menyisakan sentimen yang kuat diantara keduanya. Yang muslim dibayangi perlakuan orang-orang kristen yang semena-mena, yang kristen pun dihantui keras dan kejinya orang-orang muslim.
Orang-orang Maluku khususnya Ambon sebenarnya sudah lelah dengan situasi ini. Pada dasarnya mereka ingin kembali menjalin hubungan yang harmoni antar sesama. Namun dengan sekatan yang ada, mereka bingung bagaimana memulai semua itu, karena jika terjadi tentunya akan timbul kecurigaan bagi sebagian pihak. Kehadiran saya adalah satu langkah kecil untuk menjalin ta’aruf atau silaturahmi dengan saudara-saudara Kristen. Saya tentunya tidak sendiri, selain saya anak-anak Bengkel sastra yang notabene heterogen keanggotaannya pun ikut hadir dalam perayaan ini.
Saya hadir di tengah-tengah keluarga besar SMA 4 Lateri Ambon atas undangan Opa Rudi Fofid, seorang seniman dan wartawan senior Suara Maluku yang juga begitu konsen dalam isu-isu perdamaian di Maluku. Bagi yang sudah menonton film Cahaya dari Timur mungkin tidak akan asing dengan sosok ini. Ya memang beliau beberapa kali menjadi aktor di film-film Nasional, dan bahkan rupanya beliau pernah bermain sebagai figuran di film Holywood. Tapi untuk anak-anak Ambon beliau lebih dikenal sebagi penyair yang gila, ia, karena setiap kali ia tampil, setiap mata dan indera pendengar seolah digerak dan diatur oleh lantunan bait-bait puisinya. Jika ia tertawa maka sekitarnya tertawa, pun jika ia merengek menangis dan meratap, sulit rasanya menahan untuk tidak mengikuti ekspresinya.
Di sela-sela penampilannya tiba-tiba ia berkata “Kalian tau Ahmadiyah?, rumahnya dibakar, dibunuh, diusir dari kampung-kampungnya, dimusuhi, dicaci-maki dan dihina, diperlakukan semena-mena, jadi boneka penguasa, kalian sayang Ahmadiyah ka seng (tidak)?” tanya opa pada semua peserta yang hadir dalam perayaan hari kasih sayang itu, semua pun serentak menjawab “Sayaaaang.” Lalu opa melanjutkan orasinya “Beta panggil sodara beta dari Ahmadiyah untuk maju ke depan, menemani beta membacakan dua buah puisi.” Serentak saya kaget, lalu orang-orang mulai mencari-cari keberadaan orang Ahmadiyah yang dipanggil Opa ini. Ketika saya mulai berdiri dan berjalan perlahan ke depan lapangan tempat acara itu di helat, setiap pandangan mengikuti gerak langkah saya sampai akhirnya saya duduk menemani Opa Rudi di depan ratusan orang.
Lalu sesampainya di depan, saya menyampaikan salam hormat kepada para tamu undangan, yang di antaranya ada Kepala Dinas Pendidikan Ambon, Kepala Sekolah dan Para Guru, dan juga Tamu Khusus seorang wartawan senior dari Belanda, selain tentunya kepada siswa-siswi SMA 4. Saat saya mulai duduk Opa Rudi kemudian membacakan puisi karya Mas Anick HT yang berjudul “Kubur Kami Hidup-hidup.” Sebuah puisi yang terinspirasi dari para pengungsi Ahmadiyah di Transito.
Melihat Opa membacakan puisi, dengan teriakan dan rintihan yang menyayat, tak pelak suasana yang tadinya rame pecah menyambut opa, berubah hening. Denting piano ikut menghantarkan suasana haru, saya pun tak kuasa menahan air mata yang mulai mengisi sisi-sisi mata saya. Saya melihat ke sekeliling, mencoba mengabadikan momen itu, dan di saat itu juga saya menyaksikan betapa semua orang yang hadir ikut haru mendengar puisi yang dibacakan Opa Rudi ini.
Tepuk tangan penonton lalu menandakan akhir puisi itu dibacakan, lalu saya melihat betapa orang-orang mulai mengusap matanya, pertanda larut dalam haru. Opa menghampiri saya lalu memeluk saya, semua memberikan tepuk tangan. Kemudian Opa memberikan mikrofonnya kepada saya, dan memperkenankan saya menyampaikan sepatah dua patah kata. Saya pun mengutarakan kegembiran saya bisa berada di tengah-tengah mereka, sama-sama merasakan betapa perbedaan tidak menjadi halangan untuk saling mengasihi.
Selain itu, saya pun sampaikan bahwa keberadaan saya di Ambon selain sebagai seorang mubaligh Ahmadiyah, saya juga berharap bisa ikut menjadi pejuang perdamaian di tanah Maluku ini. Layaknya selogan dari Ahmadiyah itu sendiri “Love for All Hatred for None” kami akan senantiasa berusaha untuk menebarkan kasih kepada seluruh umat manusia.
Lalu Opa kembali membacakan satu buah puisi yang bertemakan cinta, saya pun kembali menyaksikan Pak Tua ini berkreasi dengan puisinya. Orang-orang kini mulai larut dengan nada-nada cinta yang lantunkan Opa. Dari setiap pandang mata saya melihat ada harapan yang teramat dalam dengan kedamaian di Ambon, di tanah Maluku. Mereka merindukan Pela Gandong, satu kaidah persaudaraan Islam-Kristen yang melegenda sedari dulu menjaga setiap perbedaan yang ada. Dalam puisi atau sastra lain yang ditampilkan terselip harapan elemen yang universal ini bisa merangkai perbedaan yang ada menjadi suatu harmoni yang saling melengkapi keberadaannya.
Ambon dan Sastra memang cukup erat kaitannya, banyak sekali sastrawan yang lahir di tanah para raja ini, tidak hanya yang tua-tua, nama-nama muda banyak menghiasi kejuaraan sastra tanah air. Banyak juga yang sudah menelorkan karya-karya sastra. Di tanah ini lahir banyak seniman yang cukup populer di tanah air dan juga di manca negara. Saya baru tau kalau banyak penyanyi Jaz lahir di tanah para raja ini. Musisi Jaz Belanda juga ternyata tak bisa lepas keterikatannya dengan Maluku, banyak dari antara mereka yang kecilnya di Maluku atau darah Maluku mengalir dalam tubuh mereka. Tak heran kalau Ambon disebut kota Musik, memang banyak sekali musisi dan sastrawan yang terlahir di Maluku, khususnya di kota Ambon ini.
Ketertarikan masyarakat terhadap musik pun cukup tinggi, baik masyarakat muslim atau kristen, keduanya sama-sama menggilai musik. Jangan heran kalau di setiap penjuru kota sering sekali diadakan pesta dansa. Setiap hajatan atau perayaan besar, mesti ada pesta dansa. Ya seni dan sastra menjadi media yang cukup menjanjikan dalam menuai cinta. Karena tatkala mereka beradu, mereka lupa mereka bertemu dengan siapa, orang mana, atau bahkan agamanya apa.
Dalam perayaan ini juga selain puisi, juga ditampilkan kesinian-kesenian khas Ambon dan Maluku. Kesenian yang lahir di tanah Mauluku, baik yang datang dari perkampungan Islam maupun dari daerah Kristen.
Sastra adalah karunia yang diciptakan Tuhan untuk manusia sukuri dan nikmati. Dari bilah positifnya bisa kita manfaatkan untuk hal yang baik pula tentunya. Tentu ada sisi negatifnya, tapi lelah rasanya kalau kita terus-menerus memperdebatkan sisi-sisi negatif sesuatu hal. Kita hanya sibuk berdiskusi dan berdebat, tanpa sedikit berikhtiar memecah satu problematika.
Setelah Opa membacakan Puisi, acara kemudian dilanjutkan dengan penampilan seni tari, teatrikal, musikalisasi puisi, dan beberapa puisi yang dibawakan oleh anak-anak SMA 4, alumni, komunitas Merah Saga, komunitas Puisi Kopi Wakal, dan juga rekan-rekan komunitas lain yang turut hadir dalam perayaan itu. Yang menarik yang mengisi perayaan ini tidak hanya orang-orang Kristen, beberapa pengisi acara berasal dari sekolah Muslim, seperti dari SMA Tulehu yang notabene siswa-siswinya muslim.
Sastra menyatukan mereka, membuat mereka lupa tentang perbedaan yang kontras dalam keadaan mereka. Hari itu sastra menyatukan mereka, mengajarkan mereka tertawa bersama. Tuhan indah dan menyukai keindahan, rasanya keterangan hadits sesuai dengan momentum kala itu. Keindahan sastra menyatukan keindahan silaturahmi. Acara ini ditutup dengan do’a lintas iman, dengan harapan hari kasah sayang itu menjadi titik awal penyebar luasan kasih di antara seluruh masyarakat maluku, dan keberadaan sastra bisa senantiasa menjaga perbedaan yang ada. Dengan keindahan sastra mari membumikan cinta. (Ridhwan Ibnu Luqman)