JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Gerindra dinilai terlalu jauh masuk dalam ranah agama terkait pandangan partai itu agar negara menjamin kemurnian ajaran agama. Sebagai partai nasionalis, Gerindra seharusnya tidak perlu memasukkan hal itu dalam platform politiknya. Hal tersebut dikatakan dosen Universitas Paramadina, Novriantoni Kahar, di Jakarta, Selasa (22/4/2014).
“Sebagai partai nasionalis, Gerindra sedang pretending to be religious, yang tidak ada bedanya sama PKS (Partai Keadilan Sejahtera), sekalipun tidak memuat hal itu dalam platform politiknya. Jadi, ini bisa dibilang offside,” ujarnya.
Novri menduga pandangan tersebut merupakan upaya Gerindra untuk mendapatkan keuntungan secara elektoral. Gerindra, kata dia, mengira hal itu bisa mendapatkan simpati segmen terbesar dari masyarakat.
“Padahal, ini bukan persoalan mayoritas atau minoritas. Partai Gerindra seharusnya cermat dan hati-hati dalam memilih kata dalam platform politiknya,” katanya.
Berikut ini pandangan Partai Gerindra soal agama seperti yang termuat dalam Manifesto Partai Gerindra: “Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.”
Manifesto Gerindra itu juga sempat menuai kontroversi di media sosial. Kontroversi ini bermula saat salah satu follower, @DYDIMUS_IFFAT, bertanya di akun Twitter resmi Gerindra @Gerindra.
“@Gerindra Min, apa yang dimaksud dengan “kewajiban negara untuk menjaga kemurnian agama” sebagaimana yang tertuang dalam manifesto partai?”
Admin Gerindra kemudian menjawab, “@DYDIMUS_IFFAT Jangan lagi ada aliran-aliran atau ajaran yang keluar dari konteks keagamaan tersebut. Pemerintah harus mampu menjaga itu.”
“@Gerindra Min, bagaimana dengan Ahmadiyah, Syiah, Mormon, Saksi Yehuwa, dll? Apakah mereka akan dirangkul atau disisihkan? #MohonDijawab,” tanya pemilik akun @DYDIMUS_IFFAT lagi.
“@DYDIMUS_IFFAT Bung, seluruh WNI harus dilindungi. Jika mereka berada di jalan yang salah, kita buat lembaga untuk membuat mereka jera,” jawab admin Gerindra.
Kata “jera” itu yang memicu kontroversi di media sosial. Pernyataan itu kemudian disebar di media sosial. Tak sedikit publik yang mengaitkan pernyataan itu dengan masa lalu bakal capres Gerindra Prabowo Subianto terkait peristiwa penculikan pada 1998.
Belakangan, admin Gerindra memberikan penjelasan, “Di kamus besar Bahasa Indonesia bisa dicek, tidak ada perlakuan jera dengan cara kasar, tetapi dengan cara yang tepat dan benar.”
“Jera itu tidak dengan memperlakukan secara kasar, tetapi membuat untuk tidak mengulanginya lagi dengan cara yang tepat,” lanjut admin Gerindra.
Penulis: Rahmat Fiansyah; editor: Sandro Gatra