JAKARTA –Pimpinan Redaksi (Pimred) Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais mengatakan bahwa pemberian label sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpotensi meningkatkan sentimen masyarakat awam.
“Di lapangan, orang awam sering menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman untuk menentukan sesat atau tidaknya sebuah aliran” ungkapnya, saat menjadi narasumber dalam diskusi dan peluncuran Jurnal Ma’arif, Rabu (17/02).
Dalam kegiatan yang dihelat di Aula KH. Ahmad Dahlan PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat tersebut, Rais menganggap MUI memiliki peran penting meningkatkan peluang kemunculan konten-konten kebencian di media sosial.
Dalam diskusi yang mengambil tema “Syiah, Sektarianisme, dan Geopolitik”, Rais mengungkap bahwa menjelang tahun 2014, kampanye anti syiah semakin meningkat melalui media sosial seiring dengan kemunculan kelompok-kelompok intoleran.
Ia juga menambahkan, pada tahun 2012 dan 2013, fatwa MUI Jawa Timur dan kasus kekerasan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura tahun menjadi stimulus pendorong percakapan di dunia maya.
Dalam hasil survey yang dilansir BBC Indonesia beberapa waktu lalu percakapan dunia maya terkait Syiah terus meningkat di Indonesia, termasuk konten kebencian. Setidaknya dari penggunaan tagar #antiSyiah di Twitter. Pada periode 2006-2011, penggunaan tagar tersebut sangat terbatas dengan jumlah belasan namun pada tahun 2012 menembus jumlah ratusan.
Lebih jauh, Rais menjelaskan bahwa pemahaman informasi yang keliru menyebabkan penilaian buruk masyarakat atas aliran Syiah di Indonesia.
“Banyak informasi yang tidak tepat dan merujuk dari sumber yang tidak otentik” terang Rais.
Menanggapi persoalan mengenai MUI, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, menyampaikan koreksi terhadap Jurnal Maarif Institute volume 10 nomor 2 Desember 2015 yang diluncurkan saat itu.
Menurut Yunahar, MUI Pusat tidak pernah melarang Syiah di Indonesia secara resmi.
“MUI Pusat tidak pernah menolak fatwa MUI Jawa Timur, tapi belum mau menjadikan fatwa Jawa Timur menjadi fatwa nasional. Itu yang perlu diluruskan,” imbuhnya.
Yunahar juga menilai bahwa pendapat Rais tidak sepenuhnya sesuai dengan isu yang berkembang di masyarakat.
“Tidak benar bila MUI mengeluarkan fatwa yang kemudian menimbulkan konflik. Contoh Gafatar, konflik dulu itu baru ada fatwa.” ungkap Wakil Ketua MUI Pusat ini.
Turut dalam diskusi, sarjanawan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Hikamawan Saefullah, MA, Dicky Sofjan, PhD dari *Indonesian Consortium for Religious Studies,* dan Ketua Dewan Syuro Ahlul Bait Indonesia, Dr Umar Shahab.
Kontributor : Irfan Gani
Editor : Talhah Lukman Ahmad