MEDAN – Pegiat Kopi Toleransi Sumatera Utara adakan diskusi yang bertajuk Ngopi Maljum (Ngolah Pikiran di Malam Jumat), Kamis (5/11) malam. Acara itu rutin digelar setiap minggu yang tujuannya sebagai wadah kumpulan para pemuda untuk berdiskusi segala macam hal. Disiarkan melalui channel Youtube “MI Channel”.
Acara dibuka oleh salah satu inisiatornya, Mubalig Muslim Ahmadiyah Daerah Sumatera Utara 1, Maulana Muhammad Idris. Malam itu hadir para pembicara yang berasal dari berbagai macam agama, diantaranya Pastor Emmanuel Sonny Wibisono, O.Carm, seorang rohaniawan Katolik sekaligus Dosen Unika Kota Medan, Bhikku Dhirrapunno perwakilan agama Budha Kota Medan, dan Maulana Nasrun Aminullah, Mubalig Muslim Ahmadiyah Cabang Namorambe – Deli Serdang.
Ketiga pembicara tersebut membicarakan isu terkini tentang persoalan kebebasan berekspresi di negara Prancis dan kaitannya dengan tindakan terorisme.
Dalam pemaparannya, Pastor Sonny menyebutkan hukum kebebasan berekspresi di Prancis menerapkan standar ganda yang juga tak terkendali. Di satu sisi ada orang yang ingin menanamkan kekerasan berupa satire dan provokasi dengan dalih kebebasan. Akan tetapi dengan alasan kebebasan itu pula mereka tidak bisa dihalangi untuk menyatakan ekspresi. Akibatnya menimbulkan konflik antar umat beragama karena ada norma-norma dalam masyarakat yang dilanggar, hal tersebut sama saja dengan kebebasan yang menghasilkan suatu kutukan.
“Dalam statement Emmanuel Macron, saya tidak menemukan bahwa dia anti dengan Islam, tetapi justru dia sedang memerangi kelompok ekstrimis dan radikalis yang sekarang mulai disusupi melalui para imigran di Prancis. Bahkan Emmanuel Macron berencana mendorong dan memfasilitasi agar umat Islam Prancis memiliki ciri khas yang ramah, serta membawa kedamaian,” papar Pastor Sonny.
Dia menambahkan bahwa hubungan antar umat beragama di Prancis saat ini baik-baik saja. Dosen Unika tersebut menanyakan langsung kepada kawannya di negara yang sedang diperbincangkan.
“Saya juga bertanya langsung kepada kawan-kawan saya yang ada di Prancis, mereka mengatakan bahwa hubungan antar umat beragama baik dari Kristen, Islam, Hindu, Budha dan lainnya baik-baik saja. Undang-undang Perancis memberikan jaminan kebebasan menganut agamanya masing-masing. Selama umat beragama itu tidak memaksakan ideologinya kepada pelayanan masyarakat sipil disana,” tambahnya.
Sementara itu Maulana Nasrun mengemukakan fakta-fakta bahwa sebenarnya Prancis maupun negara-negara Eropa lainnya tidak anti terhadap agama Islam. Hal tersebut terbukti dari warga muslim di Prancis yang berjumlah 6 juta orang dari total 70 juta populasi penduduk disana.
“Saya tidak pernah mendengar di negara-negara Eropa terutama di Prancis yang warga muslimnya ditindas, masjidnya dihancurkan. Karena negara memberikan jaminan kebebasan untuk warga menjalankan keyakinannya. Bukti nyata menurut data sampai dengan tahun 2018 ada terdapat 2200 masjid di Prancis,” ujarnya.
Prancis juga merupakan negara dengan penganut muslim terbesar di Eropa, yang diikuti oleh Jerman di peringkat kedua dengan jumlah muslim 4 juta jiwa dan urutan ketiga adalah Inggris dengan 3 juta jiwa.
Mengenai pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang tidak akan menghukum majalah Charlie Hebdo yang memuat karikatur Nabi Muhammad dengan alasan bersikukuh membela kepada undang-undang kebebasan berekspresi, Maulana Nasrun mengemukakan sudut pandang lain bahwa pernyataan Presiden Prancis didasari oleh suasana batin warganya yang baru saja berduka dengan terbunuhnya Samuel Paty.
“Apalagi kurang dari satu setengah tahun lagi Prancis akan mengadakan pemilihan Presiden baru. Tentu saja pernyataan Macron kental dengan nuansa politis untuk mengambil simpati rakyatnya,” ungkapnya.
Selanjutnya Bhikku Dhirrapunno lebih menyoroti kepada empat hal. Pertama adalah setiap manusia perlu menghilangkan sifat ‘moha’ (kebodohan), kaitannya dengan kebebasan berekspresi harus juga disertai aturan dan moralitas. Kedua, peran media juga begitu besar dalam memperkeruh suasana, banyak orang fokus kepada permasalahan sesudah kejadian tetapi melupakan sumber media yang tidak bertanggungjawab yang jadi pangkal utamanya. Hal ketiga, orang mudah merespon secara negatif sumber berita yang belum tentu kebenarannya.
“Dan hal keempat, saya berpesan untuk tidak mudah percaya begitu saja apa yang kita dengar dan apa yang kita lihat walaupun itu dari pemuka agama, tetapi kita harus merenungkan terlebih dahulu apakah itu bersesuaian dengan hati nurani kita atau tidak,” tegasnya.
Selaras dengan penjelasan Bhikku tersebut, Maulana Nasrun mengutip pernyataan dari DR. Mahmud Syaltout, Dosen Bidang Politik Prancis Universitas Indonesia. DR. Mahmud mengatakan bahwa ketika majalah Charlie Hebdo pertama kali memuat karikatur Nabi Muhammad, sebetulnya tidak ada reaksi dari publik Prancis karena mereka menganggap biasa saja. Warga Prancis sudah paham betul bahwa majalah tersebut hanya mencari sensasi. Reaksi baru muncul sekitar 3 pekan kemudian karena ada yang “menggorengnya”.
Kejadiannya dimulai ketika guru sejarah bernama Samuel Paty sedang mengajar tentang kebebasan berekspresi di salah satu sekolah di Prancis. Dia menunjukkan karikatur nabi dari majalah Charlie Hebdo kepada para muridnya. Mereka tidak bereaksi karena sejak awal pun Samuel Paty membebaskan para muridnya untuk bersikap untuk marah, keluar kelas atau sekedar berpaling. Isu itu kemudian berkembang di kalangan orang tua murid yang seolah-olah Samuel Paty sedang memprovokasi dan menghina Nabi Muhammad. Bahkan itu juga merupakan olahan dari orang tua murid yang anaknya justru tidak masuk sekolah ketika Samuel Paty mengajar tentang kebebasan berekspresi tersebut.
“Nah, celakanya video pernyataan yang diunggah oleh orang tua murid tadi kemudian diviralkan dan ditambah narasi oleh seorang Imam garis keras sebuah Masjid di pinggiran kota Paris. Inilah sebenarnya yang memantik antusias seorang remaja pengangguran, imigran dari Checna untuk bertindak keji menggorok leher Samuel Paty,” tambah Maulana Nasrun.
Acara yang berjalan lebih dari dua jam itu semakin menarik ketika beberapa peserta diskusi memberikan pertanyaan. Mereka juga mengapresiasi acara Ngopi Maljum tersebut dan berharap acara serupa terus berkelanjutan.
Ngopi Maljum minggu ini diikuti sebanyak 29 peserta zoom dari berbagai kalangan, sebagian lagi banyak yang menyaksikan via live streaming youtube. Untuk para pembaca yang penasaran ingin menyaksikan video lengkap jalannya acara bisa melalui link berikut: https://youtu.be/vtAQjBqqZm8.
Editor: Nu’man Ahmad