“Menurut saya, kontribusi yang cukup besar dari Ahmadiyah dalam gerakan Islam modern adalah merawat ide Khilafah dalam bentuk yang sifatnya non-politis. Ini merupakan sumbangan yang tidak main-main.”
Komentar di atas disampaikan oleh Ulil Abshar Abdala, intelektual muda NU, saat acara “launching” buku “Khilafat Ahmadiyah dan Nation State” di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bertetapan dengan perayaan 111 tahun Khilafah Ahmadiyah.
Salah seorang penulis yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut, Abdul Aziz Faiz, juga menyampaikan bahwa Khilafah Ahmadiyah mencoba menghadirkan wacana yang berbeda dari konsep Khilafah yang disadari publik. Sebab, menurutnya, dalam benak publik ketika berbicara khilafah selalu berkaitan dengan politik.
Semarak perayaan 111 tahun Khilafat Ahmadiyah menjadi pemandangan yang berbeda. Sebab, sebelumnya Pemerintah telah mengambil sikap yang tegas dengan membubarkan salah satu ormas Islam yang tengah memperjuangkan untuk tegaknya Khilafah di bumi nusantara.
Pembubaran ormas yang dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia ini dikarenakan paham-paham yang diajarkan sangat bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, hormat kepada bendera pun dianggap haram.
Apa yang diperjuangkan HTI di Indonesia sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar, sebab banyak di kalangan pemikir besar Islam modern menghindarkan diri dari ide tentang khilafah. Negara-negara Arab, bahkan Pakistan sendiri lebih memilih menganut kepada konsep negara-bangsa ketimbang harus memilih khilafah.
Bagi negara-negara Arab, khilafah dianggap masa lalu yang amat kelam. Pasca kekalahan Turki Usmani dalam Perang Dunia Pertama, negara-negara jajahannya mulai melepaskan diri. Mereka akhirnya bisa menjadi negara yang mandiri tanpa harus bernaung dalam khilafah.
Jadi, sangat masuk akal jika ormas semacam Hizbut Tahrir dibubarkan di negara-negara Arab. Bahkan, tak hanya dibubarkan, para pemimpinnya ditangkapi dan asset-asetnya disita oleh negara. Sebab, khilafah mengingatkan mereka kepada masa lalu yang kelam.
Lalu bagaimana dengan Khilafah Ahmadiyah? Apakah ia akan bertabrakan dengan Pancasila juga?
Kesimpulan yang diberikan Ulil Abshar Abdala juga Abdul Aziz Faiz bahwa Khilafah yang berkaitan dengan gerakan politik takkan pernah bisa terwujud. Ia merupakan gerakan yang utopis. Hanya menjadi wacana yang terus digembar-gemborkan, tapi nihil pencapaian.
Sementara, jenis Khilafah non-politik seperti halnya Khilafah Ahmadiyah, menurut mereka, akan mampu menembus sekat-sekat negara-bangsa.
Ditempat lain, Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU, menyampaikan sambutannya dalam perayaan 111 Khilafah Ahmadiyah di Wilayah DKI Jakarta bahwa Khilafat Ahmadiyah akan terus tersebar, ini sudah menjadi gerakan yang tidak terbendung lagi.
Pria yang akrab disapa Gus Mis ini juga menjelaskan mengapa Khilafah Ahmadiyah mampu tersebar ke 212 negara di dunia dengan jumlah pengikut ratusan juga orang. Karena, katanya, Khilafah Ahmadiyah adalah Khilafah cinta, love for all hatred for none. Ia memisalkan, cinta kepada sesama, cinta kepada musuh, dan cinta kepada orang yang berbeda keyakinan.
111 tahun bukan usia sebentar. Khilafah Ahmadiyah telah melewati rentang waktu yang panjang untuk suatu gerakan yang banyak kaum muslimin menentangnya. Tentu, usia yang panjangnya menunjukkan kemaslahatan dan kemanfaatan Khilafah Ahmadiyah, ketimbang paradigrama yang berkembang tentang ide ini.
Dan benar apa yang dikatakan oleh Ulil bahwa Ahmadiyah telah berhasil menyumbang satu gagasan besar dalam dunia Islam tentang ide Khilafah. Terlepas dari pro dan kontra aspek teologis tentang konsep Khilafah. Tapi, eksistensi Khilafah Ahmadiyah telah mendeklerasikan kebenarannya secara empiris.
Dengan prinsip “love for all hatred for none”, Khilafah Cinta Ahmadiyah takkan mungkin menodai kemurnian nilai-nilai dalam Pancasila. Justru, nilai-nilai luhur tersebut akan semakin dikokohkan penerapannya.
Belum lama ini, beredar pengumuman di grup-grup whatsapp Jemaat Ahmadiyah di Jakarta bahwa sedang dibutuhkan darah bergolongan O untuk seorang pasien yang diketahui ia adalah anggota FPI. Ormas ini telah menorehkan catatan kelam dalam sejarah Ahmadiyah di negeri ini. Tapi, prinsip “love for all hatred for none” inilah yang membuat setiap Ahmadi mampu melupakan pihak-pihak yang terlibat dalam masa-masa kelam dulu.
Aplikasi donor darah buatan Jemaat Ahmadiyah yang bernama “give blood” telah membantu banyak orang yang tengah membutuhkan darah. Hari itu permintaan darah diajukan, hari itu pula para Ahmadi yang ada di kota tersebut akan datang memenuhi kebutuhan darahnya.
Sehingga, mana mungkin Khilafah Cinta Ahmadiyah yang musuhpun dianggap sebagai sahabat mampu untuk melukai bahkan satu titikpun dalam butir-butir luhur Pancasila.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila.
Penulis : Mln. Muhammad Nurdin