Jakarta– Ketua Himpunan Mahasiswa Ahmadiyah atau AMLA tekankan akses keadilan bagi kelompok rentan.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) melalui Departemen Kriminologi menggelar Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif pada 16–17 September 2025 di Auditorium Juwono Sudarsono, Depok.
Kegiatan ini bekerja sama dengan Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) dan menghadirkan akademisi, lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, media, serta komunitas rentan.
Baca juga: Bedah Buku Agama dan Imajinasi di Yogyakarta, Peran Ahmadiyah hingga Dialog antar Agama
Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, menekankan pentingnya kehadiran hukum yang nyata dalam melindungi masyarakat.
“Diskriminasi di Indonesia masih nyata. Hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh sekadar pasal-pasal, tapi harus hadir sebagai instrumen keadilan nyata, terutama bagi mereka yang rentan,” ujarnya.
Ketua AMLA Indonesia sekaligus perwakilan KAIN, Fitria Sumarni, menegaskan regulasi yang ada masih parsial.
Baca juga: Jemaat Ahmadiyah Serang Sukses Gelar Walk Run Bike 2025, Tempuh Jarak 5 Kilometer Lebih
“Konstitusi memang menjamin kesetaraan, namun tanpa kerangka hukum nasional yang komprehensif, korban sulit mengakses keadilan,” jelasnya.
Simposium ini membahas empat tema, mulai dari definisi diskriminasi inklusif, mekanisme pemulihan korban, strategi pencegahan, hingga implementasi legislasi.
Baca juga: Lajnah Imaillah Jateng Gelar Mugab dan Porda Penuh Keceriaan
Sejumlah pakar nasional dan internasional turut hadir, termasuk Claude Cahn dari OHCHR. Ia menekankan soal kewajiban.
“Dengan satu UU saja, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional HAM. Hak yang biasanya abstrak jadi nyata dan bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Simposium ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret menuju Indonesia yang lebih adil dan inklusif. *
Kontributor: Dini Reski
Editor: Talhah Lukman A