Jakarta – Setara Institute meluncurkan hasil riset terkait Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 di Ballroom Hotel Ashley Jakarta Pusat. IKT 2021 merupakan laporan kelima Setara Institute yang menjadi salah satu upaya dalam rangka mendorong toleransi sebagai isu yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan kota.
Harapannya, pemerintah kota mampu melakukan tindakan aktif seperti penghapusan kebijakan diskriminatif atau pemberian izin pendirian tempat ibadah kelompok keagamaan minoritas maupun tindakan pasif untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang tidak kondusif atau restriktif atas terwujudnya toleransi dalam ruang-ruang interaksi baik negara dengan warga maupun antar warga.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menyatakan bahwa melalui pendekatan yang dilakukan dengan cara mencatat hal-hal positif membuat IKN mendapatkan respon yang baik dari kota-kota di Indonesia.
Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat berhasil menjadi kota paling toleran 2021 dengan nilai IKT 6,483 versi Setara Institute. Hal itu berdasarkan penilaian IKT terhadap 94 dari total 98 kota di Indonesia.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Setara Institute yang telah menyelenggarakan acara ini,” kata Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie saat menerima penghargaan dari Setara Institute di Jakarta pada Rabu (30/3/2022).
Kemudian, dengan tegas ia berkata, “Para kepala daerah tentu harus menjaga keharmonisan di dalam masyarakatnya.”
Berdasarkan penilaian Setara Institute, salah satu alasan Kota Singkawang berhasil menjadi kota paling toleran adalah karena membuat terobosan kebijakan Peraturan Wali Kota (Perwali) Singkawang Nomor 129 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Toleransi Masyarakat. Perwali ini menjadi pedoman bagi Kota Singkawang dalam mengawasi, mencegah, dan menindak setiap tindakan intoleransi yang dapat mengganggu ketentraman serta ketertiban umum warga setempat.
Hal tersebut sejalan dengan IKT 2018 yang merekomendasikan pemerintah kota perlu mengembangkan dan menumbuhkan toleransi di sekitarnya dengan memastikan heterogenitas demografi penduduk menjadi arena hidup berdampingan secara damai, merumuskan kebijakan berdasarkan perlakuan yang setara, dan menghapus kebijakan diskriminatif di wilayahnya.
Berkaitan dengan IKT 2021, Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menyampaikan bila penyusunan hasil IKT 2021 telah melalui serangkaian proses riset selama satu tahun dengan melibatkan 12 peneliti di Jakarta dan jejaring-jejaring di kota-kota tersebut yang juga melakukan proses asesmen lapangan.
Setara Institute pun mengumumkan sembilan kota lain yang termasuk ke dalam sepuluh besar kota yang memiliki nilai toleransi tertinggi di Indonesia pada 2021. Berikut urutan lengkap nama-nama 10 kota paling toleran di Indonesia versi Setara Institute: Singkawang (6.483), Manado (6.400), Salatiga (6.367), Kupang (6.337), Tomohon (6.133), Magelang (6.020), Ambon (5.900), Bekasi (5.830), Surakarta (5.783), dan Kediri (5.733)
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan bila penilaian IKT 2021 menetapkan empat variabel dengan delapan indikator sebagai alat ukur, yaitu:
1. Variabel regulasi pemerintah kota dengan dua indikator, yakni rencana pembangunan dalam bentuk rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan produk hukum pendukung lainnya serta kebijakan diskriminatif.
2. Variabel tindakan pemerintah dengan dua indikator, yaitu pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan tindakan nyata terkait dengan peristiwa.
3. Variabel regulasi sosial dengan dua indikator, yakni peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil terkait dengan peristiwa intoleransi.
4. Variabel keempat adalah demografi agama dengan dua indikator, yaitu heterogenitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.
Terkait Kota Depok di Jawa Barat yang menempati urutan paling bawah dalam hasil riset IKT 2021, Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menyatakan bahwa Depok memperoleh nilai rendah pada dua indikator yang bobotnya tinggi, yaitu adanya produk-produk hukum yang diskriminatif di Kota Depok dan perilaku wali kota yang justru tidak mencerminkan nilai toleransi.
“Atas dasar perintah wali kota, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba sebuah masjid misalnya disegel. Inikan problem,” ucap Ismail
“Bagaimana dalam 20 tahun berjalan, Depok mengalami satu proses politik penyeragaman yang sangat serius atas nama agama dan moralitas,” imbuhnya.
Ismail Hasani mengungkapkan jika dari empat variabel yang ada, elemen masyarakat sipil di Kota Depok yang mendorong promosi toleransi menambah nilai cukup baik, tetapi tidak cukup untuk mengurangi nilai buruk dalam hal produk hukum daerah dan kepemimpinan politik. Sehingga, Kota Depok dinilai sangat didominasi oleh salah satu agama dalam berbagai ruang publik, bahkan hingga sektor properti.
“Itu bagian dari proses segregasi yang dipicu oleh kepemimpinan politik di tingkat lokal,” ujar Ismail.
Sementara itu, Jubir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana mengatakan bahwa 10 kota peraih nilai tertinggi IKT versi Setara Institute tersebut layak untuk menyandangnya. Hal itu dikarenakan selama 2021 tidak ada kasus intoleransi yang viral di kota-kota tersebut.
Namun, menurut Yendra, ujian sesungguhnya adalah bagaimana pemerintah kota yang menjadi pemenang tersebut berani untuk memberi ruang yang sama pada kelompok-kelompok yang sering termarjinalkan, seperti Ahmadiyah, Syiah, penghayat kepercayaan untuk dapat berkolaborasi dengan pemerintah dan semua kelompok masyarakat dalam semua program pemerintah di daerah tersebut sebagaimana yang biasa diberikan kepada kelompok arus utama.
“Sebab itulah ujian sesungguhnya toleransi dan moderasi dalam kehidupan di masyarakat, bersikap adil untuk semua elemen bangsa,” kata Yendra.
“Para kepala daerah di 10 kota pemenang Indeks Kota Toleran 2021 harus terus mempertahankan agar tidak ada peraturan dan sikap masyarakatnya yang memberi ruang juga kesempatan untuk tumbuhnya sikap intoleran, diskriminasi dan pemaksaan pada kelompok yang berbeda,” pungkasnya.