Senin (30/9) Jamaah Muslim Ahmadiyah Indonesia mengadakan International Peace Symposium di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh 826 peserta yang memenuhi Auditorium Utama Harun Nasution. Dengan tema Implementation of Tolerance for Humanity and Harmony, simposium ini diisi oleh enam orang pembicara. Salah satu pembicara adalah Sir Dr. Iftikhar Ayaz, KBE-OBE yang datang dari London. Berikut sedikit kutipan isi pidato keenam pembicara
Pembicara pertama, Amir Nasional Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia, Mln. Abdul Basith, Sy.
Toleransi dan kekerasan tidak datang tiba-tiba, tetapi datang dari sejak dini dengan diawali dari keluarga. Manusia harus kembali ke nature-nya sebagai manusia yang punya fitrah suci, yaitu terlahir hidup sebagai makhluk sosial, bergaul dengan banyak orang yang beragam dari yang hitam, putih, humoris, atau galak semua bisa hidup. Contohnya, lihatlah pada anak kecil yang tetap harmoni dan tak peduli perbedaan.
Manusia punya sifat dasar menolak dan menerima, seperti melempar ke dinding bisa menolak, tetapi saat melempar ke air bisa diterima. Sifat menolak/tampil dan menerima/mengalah ini yang akan muncul menjadi potensi baik dan buruk tergantung bagaimana diarahkannya. Sifat menolak jika diarahkan dengan benar maka dia akan menjadi pribadi yang percaya diri. Sementara, kalau dididik tidak benar menjadi sombong. Sifat menerima kalau dididik dengan baik, dia jadi pribadi yang berkorban, tetapi jika tidak dididik dengan benar maka dia jadi pribadi yang malas, lemah, dan sejenisnya. Namun, keduanya harus ada sebagai potensi yang diberikan Allah swt.
Selengkapnya di Implementasi Toleransi bagi Kemanusiaan dan Harmoni
Pembicara kedua, Prof. Romo Frans Magnez Suseno
Masalah kekerasan dan intoleransi saat ini adalah karena generasi muda kini terasing dari lingkungan. Sebagai contoh, ada delapan ratus orang Jerman ikut ISIS dengan 3 alasan:
- Mereka ingin melawan budaya saat ini yang menghimpit mereka
- Mereka ingin memberontak terhadap generasi tua
- Mereka ingin diakui eksis dan dihargai.
Jadi, banyak yang ikut kelompok radikal itu bukan karena agama, tetapi karena generasi muda semakin tertekan oleh globalisasi budaya dan himpitan permasalahan hidup yang dihadapi generasi muda.
Pembicara ketiga Ulil Abshar Abdalla
Beliau tersanjung diundang dalam acara 1 abad JAI dan kagum dengan Ahmadiyah yang semakin luas dan terbuka bergaul. Itu hikmah dari kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Ulil katakan definisi muslim adalah membaca syahadat dan karena itu Ahmadiyah adalah Islam karena syahadatnya sama. Ahmadiyah juga naik haji shalat dan lain-lain sama dengan islam lainnya dan yang paling mengagumkan dan heran karena Ahmadiyah tidak pernah melawan dan membalas kekerasan dengan kekerasan. Karena itulah 100% Ahmadiyah adalah Islam, sah, dan bagian dari Islam. Yang saya buktikan bukan dari buku-buku Ahmadiyah, tetapi langsung dari bukti-bukti sikap tingkah laku perbuatan para anggota Ahmadiyah.
Selengkapnya di Ahmadiyah dan Khilafah Spiritual
Pembicara keempat, Dr. Ahmad Najib Burhani, Ph.D., Peneliti LIPI
Latar belakang konflik kekerasan akibat paradoks globalisasi dan demokrasi. Manusia semakin merasa tidak bermakna di tengah komunitas global. Hal yang menarik adalah Indonesia termasuk yang langka dan pengecualian dari kondisi tersebut walaupun ada usaha-usaha menjadikan Indonesia sama radikal seperti negara Arab. Hal ini karena adanya kelompok minoritas yang agresif dan kelompok mayoritas moderat Indonesia yang diam. Juga sistem hukum PNPS 65 yang belum dicabut, seakan persetujuan secara diam-diam kelompok mayoritas.
Di Indonesia ada limit freedom, yaitu Undang-Undang yang berlaku dan sosiologi yang berTuhan Esa, kelompok definisi enam agama yang diakui. Jadi, yang di luar itu dianggap penganut agama kelas dua. Karena adanya mimpi harmoni yang berbeda, semua mau dijadikan general dan dalam kasus ini Ahmadiyah banyak dijadikan kambing hitam atau korbannya.
Pembicara kelima Zuhairi Misrawi (Gus Mis)
Kekerasan terjadi karena adanya benturan peradaban dan fundamentalisme di Eropa, Amerika, dan Timur Tengah yang diekspor ke Indonesia serta kebangkitan paham-paham keagamaan secara simbolis seremonial semata, yaitu orang ingin terlihat agamis atau spiritual. Seyogyanya, bukan itu yang harus dimunculkan, tetapi beragama yang damai dengan berdzikir, seperti yang ditampilkan oleh Ahmadiyah. Karena itu, kita saat ini mayoritas Islam Indonesia harus menerima Ahmadiyah. Karena Ahmadiyah-lah yang paling terdepan dalam perjuangan perdamaian dengan jargon Love for All Hatred For None.
Kedua, karena Ahmadiyah lebih besar dari mayoritas Islam Sunni di Indonesia. Ahmadiyah (dengan anggota-red.) 190 juta telah hadir di berbagai negara Eropa, Amerika, Asia, di segenap penjuru dunia ada Ahmadiyah. Kalo saya dan NU cuma paling banter di Jombang dan Madura.
Ketiga, karena kita harus berterima kasih kepada Ahmadiyah karena Ahmadiyah telah jadi repsentasi wajah Islam yang damai di dunia.
Dengan telah hadirnya Imam Mahdi yang dipercayai umat Islam dan yang diyakini oleh Ahmadiyah pada diri Mirza Ghulam Ahmad, saya selalu tahlil untuk Mirza Ghulam Ahmad.
Dan terakhir jika ingin melihat nuansa kerohanian datanglah ke masjid Ahmadiyah. Mereka terdepan dalam tahajud yang sudah seperti wajib bagi mereka.
Pembicara keenam Sir Dr. Iftikhar Ayaz, KBE-OBE, Wakil Huzur aba. dari London
Saat ini kita lihat ke Barat, Timur, Utara, Selatan, semua orang saling bunuh. Lalu di mana harmoni? Seharusnya agama menjadikan harmoni, tetapi masalahnya agama seakan malah jadi masalah. Kita ini satu Tuhan satu guru satu kehidupan. Mari lihatlah hal besar dalam persamaan dan lupakan hal kecil dalam perbedaan untuk harmoni, seperti yang tertera dalam Al-Quran. Manusia harus kembali pada ajaran Al-Qur’an dan petunjuk Rasullah saw. Jangan berpecah-belah dan bersatulah dalam satu payung sang pencipta Allah swt.
Apakah Anda Sunni? Apakah Anda Syi’ah? Apa esensi dari beragama?
Kita juga harus respek terhadap nonmuslim atas nama kemanusiaan di atas perbedaan agama, budaya, negara, dan bahasa. Untuk bersatu dalam satu masyarakat yang bersatu dalam kesejahteraan dan harmoni, kuncinya, kembali pada kesadaran Tuhan yang sama dan hidup di bumi yang sama. Jika Anda ingin sukses, taatlah pada Allah swt dan Rasulullah saw.
Sumber: Yendra Budiandra
Editor: Husna Farah
foto : Mirza A. Basyir
Sumber : http://arhlibrary.com/lebih-dari-800-orang-hadiri-international-peace-symposium-di-uin-syarif-hidayatullah/